Artikel Kesehatan Mental Menurut Islam (Lanjutan)
A. Pengertian Kesehatan Mental
Istilah
Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal
dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna
dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis
atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti
mental yang sehat atau kesehatan mental.
Kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik
berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial)
(Mujib dan Mudzakir, 2001, 2003). Zakiah Daradjat (1985:10-14) mendefinisikan kesehatan mental dengan
beberapa pengertian:
- Terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
- Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
- Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan pada diri dan orang lain; serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
- Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Seseorang
dapat dikatakan sehat tidak cukup hanya dilihat dari segi fisik, psikologis, dan sosial saja, tetapi juga perlu dilihat dari segi spiritual atau agama. Inilah kemudian yang
disebut Dadang Hawari sebagai empat dimensi sehat itu, yaitu:
bio-psiko-sosial-spiritual. Jadi seseorang yang sehat mentalnya tidak cukup
hanya terbatas pada pengertian terhindarnya dia dari gangguan dan penyakit jiwa
baik neurosis maupun psikosis, melainkan patut pula dilihat sejauhmana
seseorang itu mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya,
mampu mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi problema hidup
termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada, serta sanggup
mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan.
Mental yang
sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres)
orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari
tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto
Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental
adalah memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang
dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility)
Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic,
proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor
yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
Atkinson menentukan kesehatan mental
dengan kondisi normalitas kejiwaan, yaitu kondisi kesejahteraan emosional
kejiwaan seseorang. Pengertian ini diasumsikan bahwa pada prinsipnya manusia
itu dilahirkan dalam kondisi sehat. Atkinson lebih lanjut menyebutkan enam indikator normalitas kejiwaan
seseorang.
Pertama, persepsi realita yang efisien. Individu
cukup realistik dalam menilai kemampuannya dan dalam menginterpretasi terhadap
dunia sekitarnya. Ia tidak terus menerus berpikir negatif terhadap orang lain,
serta tidak berkelebihan dalam memuja diri sendiri.
Kedua, mengenali diri sendiri. Individu
yang dapat menyesuaikan diri adalah individu yang memiliki kesadaran akan motif
dan perasaannya sendiri, meskipun tak seorang pun yang benar-benar menyadari
perilaku dan perasaannya sendiri.
Ketiga, kemampuan untuk mengendalikan
perilaku secara sadar. Individu yang normal memiliki kepercayaan yang kuat akan
kemampuannya, sehingga ia mampu mengendalikannya. Kondisi seperti itu tidak
berarti menunjukkan bahwa individu tersebut bebas dari segala tindakan impulsif
dan primitif, melainkan jika ia melakukannya maka ia menyadari dan berusaha
menekan dorongan seksual dan agresifnya.
Keempat, harga diri dan penerimaan.
Penyesuaian diri seseorang sangat ditentukan oleh penilaian terhadap harga diri
sendiri dan merasa diterima oleh orang di sekitarnya. Ia merasa nyaman bersama
orang lain dan mampu beradaptasi atau mereaksi secara spontan dalam segala
situasi sosial.
Kelima, kemampuan untuk membentuk ikatan
kasih. Individu yang normal dapat membentuk jalinan kasih yang erat serta mampu
memuaskan orang lain. Ia peka terhadap perasaan orang lain dan tidak menuntut
yang berlebihan kepada orang lain. Sebaliknya, individu yang abnormal terlalu mengurusi
perlindungan diri sendiri (self-centered).
Keenam,
produktivitas. Individu yang baik adalah individu yang menyadari kemampuannya
dan dapat diarahkan pada aktivitas produktif.
B. Pola-pola Wawasan Kesehatan Jiwa
Musthafa Fahmi, sebagaimana yang
dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud, menemukan dua pola dalam mendefinisikan
kesehatan mental: pertama, pola negatif (salabiy),
bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola
positif (ijabiy), bahwa kesehatan
mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya.
Pola yang kedua ini lebih umum dan lebih luas dibanding dengan pola pertama.
Hanna Djumhana Bastaman lebih luas
menyebut empat pola yang ada dalam kesehatan mental, yaitu pola simtomatis,
pola penyesuaian diri, pola pengembangan potensi, dan pola agama. Pertama, pola simtomatis adalah pola
yang berkaitan dengan gejala (symptoms)
dan keluhan (compliants), gangguan
atau penyakit nafsaniah. Kesehatan mental berarti terhindarnya seseorang dari
segala gejala, keluhan, dan gangguan mental, baik berupa neurosis maupun
psikosis. Kedua, pola penyesuaian
diri adalah pola yang berkaitan dengan keaktifan seseorang dalam memenuhi
tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri. atau memenuhi kebutuhan
pribadi tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Kesehatan mental berarti kemampuan
seseorang untuk meyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya. Ketiga, pola pengembangan diri adalah
pola yang berkaitan dengan kualitas khas insani (human qualities) seperti kreativitas, produktivitas, kecerdasan,
tanggung jawab, dan sebagainya. Kesehatan mental berarti kemampuan individu
untuk memfungsikan potensi-potensi manusiawinya secara maksimal, sehingga ia
memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Keempat, pola agama adalah pola yang
berkaitan dengan ajaran agama. Kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk
melaksanakan ajaran agama secara benar dan hak dengan landasan keimanan dan
ketakwaan.
Kesehatan mental yang dimaksudkan di
sini lebih terfokus pada kesehatan mental yang berwawasan agama. Pemilihan ini
selain karena konsisten denga pola-pola yang dikembangkan dalam psikopatologi
dan psikoterapi, juga sesuai dengan khazanah Islam yang berkembang. Ibn Rusyd
misalnya dalam “Fashl al-Maqal”
menyatakan, “takwa itu merupakan kesehatan mental (shihah al-nufus)”. Statement itu menunjukkan bahwa dialektika
kesehatan mental telah lama dibangun oleh para psikolog muslim, yang mau tidak
mau harus dijadikan sebagai keutuhan wacana Psikologi Islam saat ini.
Empat pola wawasan kesehatan jiwa
dengan orientasinya sebagai berikut :
1.
Pola wawasan yang berorientasi
simtomatis menganggap bahwa hadirnya gejala (symtomps) dan keluhan (compliants)
merupakan tanda adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang.
2.
Pola wawasan yang berorientasi
penyesuaian diri berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri
merupakan unsur utama dari kondiri jiwa yang sehat.
3.
Pola wawasan yang berorientasi
pengembangan potensi pribadi bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk
bermartabat yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insani (human qualities), seperti kreativitas,
rasa humor, rasa tanggung jawab, kecerdasan, dll dan mendatangkan manfaat bila
dikembangkan secara optimal.
4.
Pola wawasan yang berorientasi agama
berpandangan bahwa agama atau keruhanian memiliki daya yang dapat menunjang
kesehatan jiwa dan kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan yang
hidup.
Tuntunan
agama Islam untuk kesehatan mental dikemukakan dalam dua hal, yaitu:
1. Ayat-ayat al-Qur’an (dan al-Hadits) yang berkaitan dengan tolak ukur kesehatan mental.
2. Prinsip-prinsip Islam untuk pengembangan pribadi pada umumnya dan mengembangan kesehatan mental pada khususnya.
1. Ayat-ayat al-Qur’an (dan al-Hadits) yang berkaitan dengan tolak ukur kesehatan mental.
2. Prinsip-prinsip Islam untuk pengembangan pribadi pada umumnya dan mengembangan kesehatan mental pada khususnya.
C. Metode
Pemerolehan dan Pemeliharaan
Terdapat tiga pola yang mengungkapkan metode pemerolehan
dan pemeliharaan kesehatan mental dalam perspektif Islam: Pertama, metode tahali, takhalli, dan tajalli;
Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifat; dan
ketiga, metode iman, Islam dan ihsan. Sebuah hadits menunjukkan tiga metode yang mengungkapkan
metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental yaitu: 1) metode iman yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan
kepada hal-hal yang gaib; 2) metode Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
ibadah dan muamalah; 3) metode ihsan yang berkaitan dengan prinsp-prinsip moral
atau etika.
- Metode Imaniah
Iman secara
harfiah diartikan dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-amanah).
Orang yang beriman berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan
dalam menghadapi semua masalah hidup. Dalam mengatur alam dan isinya, Allah SWT
memberikan rambu-rambu petunjuk (hidayah)-Nya
untuk kelangsungan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Petunjuk yang
dimaksud diturunkan melalui dua jalur: Pertama, jalur tertulis yang termaktub
dalam kitab suci Al-Quran dengan pemberian petunjuk inu dengan mengutus Rasul
dan Malaikat-Nya. Jalur ini lazim disebut jalur Quraniyah; Kedua, jalur tidak tertulis yang berkaitan dengan alam
dan isinya yang disebut dengan jalur kauniyah
atau sunnatulah.
Keimanan yang
direalisasikan secara benar akan membentuk kepribadian mukmin yang membentuk 6
karakter yaitu:
a. Karakter Rabbani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan
(mengambil dan mengamalkan) sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah
laku nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya. Proses pembentukan
kepribadiannya ditempuh melalui tiga tahap yaitu ta’alluq, takballuq, dan tabaqquq.
Proses ta’alluq adalah
menggantungkan kesadaran diri dan pikiran kepada Allah dengan cara berpikir dan
berzikir kepadaNya (QS. Ali-Imran:191). Proses takballuq adalah adanya kesadaran untuk menginternalisasikan
sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada
kemampuan manusiawinya. Proses ini dlakukan karena adanya
fitrah menusia yang memiliki potensi asma’
al-husna. Proses tabaqquq adalah
kesadaran diri akan adanya kebenaran, kemuliaan, keagungan Allah SWT sehingga
tingka lakunya didominasi olehNya.
b. Karakter Maliki, yaitu karakter yang
mampu menginternalisasikan sifat-sifat Malaikat yang agung dan mulia.
Kepribadian maliki diantaranya menjalankan perintahNya dan tidak berbuat
maksiat (QS. Al-Tahrim: 6), bertasbih kepadaNya (QS. Al-Zumar: 75), menyampaikan
informasi kepada yang lain (QS. Al-Nahl: 102), membagi-bagikan rizki untuk
kesejahteraan berama dan memelihara kebun (Jannat) yang indah (QS. Ar-Ra’d: 24).
c. Karakter Qurani, yaitu karakter yang mampu
menginternalisasikan nilai-nilai Qurani dalam tingkah laku nyata. Karakter
kepribadian Qurani seperti membaca, memahami dan mengamalkan ajaran yang
terkandung di dalam Al-Quran dan Sunnah.
d. Karakter Rasuli, yaitu karakter yang
mampu menginternalisasikan sifat-sifat Rasul yang mulia. Karakter kepribadian Rasuli
diantaranya jujur (al-Siddiq), dapat
dipercaya (al-Amanah), menyampaikan
informai atau wahyu (al-Tabligh) dan
cerdas (al-Fathonah).
e.
Karakter yang berwawasan dan mementingkan masa depan (hari
akhir) yang menghendaki adanya karakter yang mementingkan jangka panjang
daripada jangka pendek atau wawasan masa depan daripada masa kini (QS.
al-Dhuha: 4), bertanggung jawab (QS. al-Nisaa’: 77).
f.
Karakter Takdiri, yaitu karakter yang menghendaki adanya
penyerahan dan kepatuhan pada hukum-hukum, aturan-aturan dan sunnah-sunnah
Allah SWT untuk kemaslahatan hidupnya.
- Metode Islamiah
Islam secara
etimologi memilik tiga makna yakni penyerahan dan ketundukan (al-silm),
perdamaian dan keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah).
Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian muslim yang mendorong
seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan dengan segala kondisi
yang merupakan syarat terciptanya kesehatan mental. Kepribadian muslim
membentuk lima karakter ideal.
a. Karakter syabadatain
yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri dari segala
belenggu atau dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif seperti materi dan hawa
nafsu (QS. Al-Furqon: 43). Lalu mengisi diri
sepenuh hati hanya kepada Allah SWT.
b. Karakter mushailli yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah dan
dengan sesama manusia. Komunikasi ilahiah ditandai dengan takbir,sedangkan
kominukasi ihsaniah ditandai dengan salam. Karakter mushailli juga menghendaki adanya kebersihan dan kesucian lahir dan
batin dengan berwudhu (kesucian lahir) dan dalam kesucian batin diwujudkan
dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyu’an.
c. Karakter muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk
kebersihan dan kesucian jiwanya (QS. al-Taubah: 103), serta pemerataan
kesejahteraan ummat pada umumnya.
d. Karakter sha’im yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan diri
dari nafsu-nafsu rendah. Dan apabila dirinya terbebas dari nafsu-nafsu rendah
maka ia berusaha mengisi diri dengan tingkah laku yang baik.
e. Karakter hajji yaitu karakter yang mampu mengorbankan harta, waktu, bahkan
nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT.
- Metode Ihsaniah
Ihsan secara
bahasa berarti baik. Orang yang baik (Muhsin)
adalah orang yang mengetahui hal-hal yang baik, mengaplikasikan dengan prosedur
yang baik dan dlakukan dengan niatan yang baik. Metode ini bila dilakukan
dengan benar maka memberikan kepribadian muhsin yang ditempuh dalam beberapa
tahapan, yaitu:
a. Tahapan permulaan (al-bidayah)
Pada tahap ini, seseorang akan rindu pada khaliknya. Ia sadar dalamkerinduan
itu terdapat tabir (al-hijab) yang
menghalangi hubungannya sehingga ia berusaha menghilangkan tabir tersebut.
Tahapan ini disebut takhalli yaitu
mengosongkan diri dari segalasifat kotor, maksiat dan tercela.
b. Tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan
(al-mujabadat)
Tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela
dan maksiat lalu berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan
tingkah laku yang baik yang disebut dengan tahapan tahailli. Tahailli adalah
upaya mengisi diri dengan sifat-sifat yang baik yang terdiri dari beberapa fase
yaitu: 1) taubat dari segala tngkah laku yang mengandung dosa; 2) menjaga diri
dari hal-hal yang subhat (al-wara’);
3) tidak terikat oleh gemerlapan materi; 4) merasa butuh pada Allah (al-faqr); 5) sabar terhadap cobaan dan
melaksanakan kebajikan; 6) tawakkal pada putusan Allah; 7) ridha terhadap
pemberian Allah; 8) merasa bersyukur atas nikmay yang Allah berikan; 9) ikhlas
melakukan apa saja demi Allah; 10) takut (al-khauf)
dan berharap (al-raja) terhadap
Allah; 11) kontinue dalam melakukan kewajiban (al-istiqomah); 12) takwa kepada Allah; 13) jujur, berpikir,
berzikir dan sebagainya.
Tahapan ini harus ditopang tujuh pendidikan dan latihan psikofisik
yaitu:
1) Musyarathah, yaitu memberikan dan menemukan syarat bagi diri sendiri.
2)
Muraqabah, yaitu mawas diri dari perbuatan
maksiat agar selalu dekat kepada Allah.
3)
Muhasabah, yaitu membuat perhitungan terhadap
tingkah laku yang diperbuat.
4)
Mu’aqabah, yaitu menghukum diri sendiri karena
melakukan keburukan.
5)
Mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh berusaha
menjadi baik.
6)
Mu’atabah, yaitu menyesali diri atas perbuatan
dosanya.
7)
Mukasyafah, yaitumembuka penghalang atau tabir
agar tersingkap semua rahasia Allah.
c.
Tahapan merasakan (al-Muziqat)
Pada tahapan ini seorang hamba tidak sekedar menjalankan perintah
Khalik-nya dan menjauhi larangannya, namun ia merasakan kedekatan, kelezatan,
kerinduan denganNya. Tahapan ini disebut tajalli,
yaitu menempakkan sifat-sifat Allah pada diri manusianya setelah sifat-sifat
buruknya dihilangkan dan tabir menjadi sirna. Oleh sufi tahapan ini biasa
dilalui dalam dua proses yaitu al-fana
dan al-baqa. Bila seseorang mampu
menghilangkan wujud jasmaniah dengan menghilangkan nafsu-nafsu impulsifnya dan
tidak terikat oleh materi atau lingkungan sekitar, makaia telah al-fana. Kondisi itu lalu beralih pada
ke-baqa-an wujud ruhani yang ditandai
dengan tetapnya sifat-sifat ketuhanan. Ketika tahapan itu telah dilalui maka
muncul apa yang disebut al-baal yaitu
kondisi spiritual dimana sang pribadi telah mencapai kebahagiaan tertinggi yang
dicita-citakan.
D. Ayat-ayat
Al Quran yang Berkaitan dengan Tolak Ukur Kesehatan Mental
1. Ayat-Ayat
Al-Qur’an Mengenai Beberapa Sifat Tercela (Mazmumah)
Sifat-sifat
tercela secara tidak langsung atau langsung dapat menimbulkan gangguan dan
penyakit kejiwaan yang dalam tulisan ini dibatasi enam sifat tercela, yaitu:
Bakhil, Aniaya, Dengki, Ujub, Nifak dan Ghadhab.
a. Bakhil
Bakhil artinya
kikir, yaitu ketidaksediaan untuk memberikan sebagian hartanya kepada pihak-pihak
lain yang membutuhkan seprti, fakir miskin, kepentingan umum, agama dan
lain-lain. Di lain pihak, orang bakhil biasanya
tidak pernah puas mengumpulkan harta benda. Ayat Al Qur’an mengenai perbuatan bakhil:
’Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu)
pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang
kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah
yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika
kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan
mereka tidak akan seperti kamu (ini).’ (QS. Muhammad: 38)
b. Aniaya
Aniaya adalah
perbuatan yang melanggar hukum dan keadilan serta menimbulkan kerugian pada
diri sendiri dan orang lain serta menimbulkan kerusakan terhadap lingkungannya.
Ayat Al Qur’an mengenai aniaya:
‘Sesungguhnya
Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah
yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.’ (QS. Yunus: 44)
c. Dengki
Dengki artinya
tidak senang melhat orang lain memperoleh keberuntungan kebajikan. Orang-orang
dengki senantiasa mengharapkan bahkan berupaya agar keberuntungan yang
diperoleh orang lain hilang ayau jatuh kepada si pendengki itu sendiri. Ayat Al
Qur’an mengenai dengki:
‘Sebahagian
besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada
kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma`afkanlah dan biarkanlah
mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.’ (QS. Al-Baqarah:109)
d. Ujub
Ujub artinya
membesar-besarkan perbuatan baik diri sendiri dan perasaan puas karenanya,
dengan perasaan bahwa dirinya lebih unggul dari orang lain. Ayat Al-Qur’an mengenai ujub:
‘Maka
apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk
lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh
syaitan)? maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan
menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena
kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat.’ (QS. AL-Fathir:8)
e. Nifak
Nifak artinya
bermuka dua atau berpura-pura yang menjadi karakteristik orang munafik. Ayat Al Qur’an mengenai nifak:
’Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami
beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya
bukan orang-orang yang beriman.’ (QS. Al-Baqarah:
8)
f. Ghadhab
Ghadhab
diartikan secara khusus sebagai marah atau kemarahan dalam konotasi negatif dan
berlebihan, sedangkan secara umum diartikan sebagai al nafsu al ammarah
bissu’ yang selalu mendorong perbuatan jahat sehingga mengakibatkan
kerugian pada diri sendiri dan orang lain. Ayat Al Qur’an mengenai ghadhab:
‘Dan
aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ (QS. Yusuf:
53)
2. Ayat-Ayat
Al-Qur’an Yang Berkaitan Dengan Pentingnya Agama Untuk Kesehatan Mental
Sudah tentu
semua ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan pentingnya agama untuk keselamatan hidup
di dunia dan akhirat, termasuk meraih jiwa yang sehat. Zakiah Daradjat dalam
tulisan-tulisannya mengenai Agama dan Kesehatan Jiwa menunjukkan
pengaruh positif dari pelaksanaan rukun iman dan rukun islam terhadap kondisi
kesehatan mental.
Mengingat
masalah agama merupakan masalah yang sangat luas dan kompleks, maka tulisan ini
hanya mengungkapkan ayat-ayat di Al Qur’an yang berkaitan dengan tiga pilar
agama Islam, yaitu: iman (akidah), Islam (syari’ah), dan Ihsan (akhlak).
3. Prinsip-Prinsip
Islam Untuk Pengembangan Pribadi Dan Kesehatan Jiwa
Dalam Islam
pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada
umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan (by
product) dari kondosi pribadi yang matang secara emosional, intelektual,
dan sosial, terutama matang pula keimanan dan ketetakwaannya kepada Allah SWT.
Dengan demikian dalam Islam nyatalah betapa pentingnya pengembangan pribadi
untuk meraih kualitas insan paripurna yang didalam otaknya sarat dengan ilmu
pengetahuan, bersemayam dalam kalbunya iman dan takwa kepada Allah SWT, sikap
dan perilakunya benar-benar merealisasikan nila-nilai keislaman yang mantap
dsan teguh, wataknya terpuji, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih
sayang.
Cara peningkatan kualitas pribadi yang sedikit mendekati tipe
ideal:
a.
Hidup secara Islami, dalam arti berusaha secara sadar untuk
mengisi kegiatan sehari-hari dengan hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan
nilai-nilai akidah, syari’ah dan akhlak, serta berusaha menjauhi hal-hal yang
dilarang agama.
b. Melakukan latihan intensif yang bercorak Psiko-edukatif.
Dengan ini, diharapkan para peserta sadar diri akan keunggulan dan
kelemahannya, mampu menyesuaikan diri, menemukan arti dan tujuan hidupnya serta
menyadari serta menghayati betapa pentingnya menigkatkan diri.
c.
Pelatihan disiplin diri yang lebih berorientasi
spiritual-religius, yakni men
d. gintensifkan dan meningkatkan kualitas ibadah.
4. Tanda-Tanda
Kesehatan Mental dalam Islam
Tanda-tanda
kesehatan mental, menurut Muhammad Mahmud Mahmud, terdapat sembilan macam, yaitu:
pertama, kemapanan (al-sakinah),
ketenangan (al-thuma’ninah), dan
rileks (al-rahah) batin dalam
menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat, maupun
Tuhan.
Kata “sakinah” dalam kajian semantik bahasa
Arab berasal dari kata sakana yang berarti makan
(tempat), maskin yang berarti manzil atau bayt (tempat tinggal atau rumah), sukn yang berarti ahl aw ‘iyal al-dar (penduduk desa atau
negara). Dari pengertian semantik ini,
kata “sakinah” memiliki arti
kemapanan disebabkan memiliki tempat tinggal atau wilayah yang menetap dan
tidak berpindah-pindah. Terminologi “sakinah”
juga memilikii arti (1) al-wada’ah. Al-waqarah, al-thuma’ninah yang berarti ketenangan; (2) al-rahmah yang berarti kasih sayang. Atau dalam bahasa Inggris
berarti calmness (ketenangan), quietness (keamanan), peacefulness (perdamaian), dan serenity (ketenteraman).
Al-Zuhaili
dalam tafsirnya memberi arti “sakinah”
dengan ketetapan atau ketenangan (al-tsabat
dan al-thuma’ninah) jiwa dari segala
kecemasan (al-qalaq/anxiety) dan
kesulitan atau kesempitan batin (al-Idtirar).
Sakinah juga memiliki arti meninggalkan permusuhan atau
peperangan, rasa aman (al-aman),
hilangnya ketakutan (al-khwf/phobia)
dan kesedihan dari jiwa. Ibnu Qayyim memberi arti sakinah dengan ketenangan yang dihujamkan oleh Allah SWT. Pada jiwa
orang-orang mukmin yang takut, resah dan gelisah, agar keimanan dan
keyakinannya bertambah.
Pengertian “ketenangan” di dalam istilah sakinah tidak berarti statis atau tidak
bergerak, sebab dalam “sakinah”
terdapat aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang, seperti orang yang
melakukan kerja dengan disertai rasa ketenangan. Apabila istilah sakinah
memiliki arti statis dan tidak bergerak bararti jiwa manusia tidak akan
berkembang, yang hal itu menyalahi hukum-hukum perkembangan.
Firman
Allah SWT:
’Dia-lah yang telah menurunkan
ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di
samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara
langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,’ (QS. Al-Fath: 4).
Kata thuma’ninah hampir memiliki makna yang sama dengan
sakinah, yaitu ketetapan kalbu pada sesuatu tanpa disertai kekacauan. Menurut
sabda Nabi; “kebaikan itu adalah sesuatu yang menenangkan di dalam hati” dan
dalam perkataan sahabat; “kejujuran itu menenangkan, sedang dusta itu meragukan
(raibah).” Firman Allah SWT:
‘(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram.’ (QS. Al-Ra’d: 28)
Ibnu Qayyim mencatat dua perbedaan pendapat mengenai kedudukan sakinah dan thuma’ninah. Pendapat pertama dinyatakan bahwa thuma’ninah merupakan akibat dari sakinah, bahkan thuma’ninah merupakan puncak sakinah. Pendapat yang lain dinyatakan bahwa sakinah merupakan akibat thuma’ninah. Menyikapi dua perbedaan ini, Ibnu Qayyim menyatakan bahwa thuma’ninah lebih umum dari pada sakinah, sebab thuma’ninah mencakup ketenangan dari ilmu, keyakinan, keimanan, sedang sakinah hanya mencakup ketenangan dari rasa takut.
Sedangkan
rileks (rahah) merupakan akibat dari sakinah dan thuma’ninah, yaitu keadaan batin yang santai, tenang, dan tanpa
adanya tekanan emosi yang kuat, meskipun mengerjakan pekerjaan yang amat berat.
Relaksasi batin seseorang tercermin sebagaimana ketika ia dilahirkan, yang
tumbuh dalam keadaan bersih dan suci dari segala dosa, kotoran, dan penyakit.
Bila ia menangis maka dengan segera dapat tersenyum dan tertawa terbahak-bahak.
Bila ia membenci seseorang maka tiada dendam, tetapi segera melupakan dan
kembali timbul keakraban. Bila ia mengalami goncangan jiwa, seperti karena
tidak dipedulikan atau dimarahi ibunya, ia segera lupa dan dapat tidur pulas,
tanpa menggantungkan diri dengan minum-minuman keras dan obat tidur. Bila ia
ingin hidup ceria dan bahagia, maka cukup dengan permainan yang sarananya cukup
sederhana, tanpa memerlukan zat adiktif seperti Narkoba.
Kondisi rileks
memiliki korelasi yang signifikan dengan kesucian batin. Jika batin bersih
laksana cermin, maka setitik noda yang menempel di dalamnya, segera diketahui
dan mudah untuk dihapus. Sementara batin yang penuh kotoran maka ia membentuk
biang-biang dan karat-karat dosa yang berasal dari akumulasi persenyawaan
elemen-elemen jahat. Seseorang yang memiliki jiwa yang kotor dan penuh dosa
karena maksiat, maka elemen-elemen yang jahat mudah bersenyawa dan membentuk
komposisi tubuh yang gampang terkena goncangan, keresahan, dan kebimbangan.
Dosa adalah apa yang dapat memuaskan dan membahagiakan jiwa.
Kondisi mental
yang tenang dan tenteram dapat digambarkan dalam tiga bentuk, yaitu: (1) adanya
kemampuan individu dalam menghadapi perubahan dan persoalan zaman. Misalnya, jika ia terkena musibah maka musibah itu
diserahkan dan dikembalikan kepada Allah (QS. Al-Baqarah:156); bersikap
bersahaja dalam menghadapi sesuatu, sebab sesuatu yang dibenci terkadang
memiliki nilai baik, sementara sesuatu yang disenangi memiliki nilai buruk (QS.
Al-Baqarah:216); (2) kemampuan individu dalam bersabar menghadapi persoalan-persoalan
hidup yang berat, misalnya cobaan akan ketakutan dan kemiskinan (QS.
al-Baqarah:155); dan (3) kemampuan individu untuk optimis dan menganggap baik
dalam menempuh kehidupan, sebab setiap ada kesulitan pasti akan datang
kemudahan (QS. al-Insyirah:4-5).
Kedua, memadahi (al-kifayah)
dalam beraktivitas. Seseorang yang mengenal potensi, keterampilan, dan
kedudukannya secara baik maka ia dapat bekerja dengan baik pula, dan hal itu
merupakan tanda dari kesehatan mentalnya. Sebaliknya, seseorang yang memaksa
menduduki jabatan tertentu dalam bekerja tanpa diimbangi kemampuan yang memadai
maka hal itu akan mengakibatkan tekanan batin, yang pada saatnya mendatangkan
penyakit mental. Firman Allah SWT : “Supaya mereka
dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka
mengapakah mereka tidak bersyukur?” (QS. Yasin:35). Sabda Nabi SAW: “makanan
yang lebih baik dimakan oleh seseorang adalah makanan yang berasal dari jerih
payahnya sendiri, sebab Nabi Dawud makan dari hasil kerjanya sendiri.” (HR.
al-Bukhari)
Ketiga, menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain. Orang yang
sehat mentalnya adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik berkaitan
dengan kondisi fisik, kedudukan, potensi, maupun kemampuanya, karena keadaan itu
merupakan anugerah (fadhl) dari Allah
SWT untuk menguji kualitas kerja manusia. Anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia terdapat dua
jenis, yaitu: (1) bersifat alami (fitri),
seperti keadaan postur tubuh, kecantikan/ketampanan atau keburukannya, ia
dilahirkan dari keluarga tertentu, dan sebagainya. Manusia yang sehat akan
mensyukuri anugerah itu tanpa mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakan seperti
itu, sebab di balik penciptaan-Nya pasti terdapat hikmah yang tersembunyi; (2)
dapat diusahakan (kasbi), seperti
bagaimana mendayagunakan postur tubuh yang gemuk dalam bekerja atau berkarier,
bagaimana memfungsikan karakter agresif, dan sebagainya. Manusia yang sehat
tentunya akan mengerahkan segala daya upayanya secara optimal agar dapat
mencapai tujuan yang diinginkan.
Tanda kesehatan mental yang lain adalah adanya kesediaan
diri untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia
mampu bergaul dan menyesuaikan diri dengan orang lain. Sikap yang dikembangkan
seperti cinta kepada sesama saudaranya seperti ia menyintai dirinya sendiri
(HR. al-Bukhari dan Muslim), sikap saling membantu,asah, asih, dan asuh. Firman
Allah SWT:
’Dan janganlah kamu iri hati terhadap
apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.’ (QS. An-Nisa’: 32)
Keempat, adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri.
artinya, kesehatan mental seseorang ditandai dengan kemampuan untuk
memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan yang akan dilakukan. Jika
perbuatan itu semata-mata untuk kepuasan seksual, maka jiwa harus dapat menahan
diri, namun jika untuk kepentingan ibadah atau takwa kepada Allah SWT maka
harus dilakukan sebaik mungkin. Perbuatan yang baik menyebabkan pemeliharaan
kesehatan mental.
Kelima, kemampuan untuk memikul tanggunga jawab, baik tanggung jawab
keluarga, sosial, maupun agama. Tanggung jawab menunjukkan kematangan diri
seseorang, sekaligus sebagai tanda-tanda kesehatan mentalnya.
Keenam, memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat.
Berkorban berarti kepedulian diri seseorang untuk kepentingan bersama dengan
cara memberikan sebagian kekayaan dan/ atau kemampuannya. Sedang menebus
kesalahan artinya kesadaran diri akan kesalahan yang diperbuat, sehingga ia
berani menanggung segala risiko akibat kesalahannya, kemudian ia senantiasa
berusaha memperbaikinya agar tidak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua
kalinya. Kedua persoalan ini dianggap sebagai tanda kesehatan mental, sebab apa
yang dimiliki menusia, baik berupa jiwa-raga atau kekayaan, hanyalah amanah
Allah SWT semata. Sebagai amanah, apabila seseorang menerimanya dalam kondisi
baik, maka tidak boleh disia-siakan atau mensikapi dengan sikap yang
meledak-ledak sehingga mengganggu stabilitas emosi, melainkan digunakan untuk kemashalatan
di jalan Allah. Namun apabila diterima dalam kondisi kurang baik, maka tidak
boleh mengumpat-ngumpat, menyikapi secara apatis dan pesimis, apalagi
mengkufurinya. Sikap yang seharusnya dilakukan adalah menerima dengan baik dan
berusaha seoptimal mungkin.
Ketujuh, kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang
baik yang dilandasi sikap saling percaya dan saling mengisi. Hal itu
dianggap sebagai tanda kesehatan mental, sebab masing-masing pihak merasa hidup
tidak sendiri. Apabila ia ditimpa musibah maka yang
lain ikut membantunya. Apabila ia mendapatkan keluasan rizki maka yang lain
ikut menikmatinya. Pergaulan hidupnya dilandasi oleh sikap saling curiga, buruk
sangka, iri hati, cemburu, dan adu domba. Dengan melakukan yang demikian itu maka
hidupnya tidak menjadi salah tingkah, tidak asing di lingkungannya sendiri, dan
hidupnya mendapatkan simpati dari lingkungan sosialnya.
Kedelapan, memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih
secara baik. Keinginan yang tidak masuk akal akan membawa seseorang ke jurang
angan-angan, lamunan, kegilaan, dan kegagalan. Keingina yang terealisir dapat
memperkuat kesehatan mental, sebaliknya, keinginan yang terkatung-katung akan
menambah beban batin dan kegilaan. Keinginan yang baik adalah keinginan yang
dapat mencapai keseimbangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal itu sesuai
dengan hadits Nabi yang mauquf riwayat Ibnu Qutaibah: “bekerjalah untuk duniamu
seakan-akan engkau hidup untuk selamanya, dan beramalah untuk akhiratmu
seakan-akan engkau nati esok hari.”
Kesembilan, adanya rasa
kepuasan, kegembiraan (al-farh atau
al-surur) dan kebahagiaan (al-sa’adah)
dalam mensikapi atau menerima nikmat yang diperoleh. Kepuasan dan kebahagiaan
dikatakan sebagai tanda-tanda kesehatan mental, sebab individu merasa sukses,
telah terbebas dari segala beban, dan terpenuhi kebutuhan hidupnya. Dikap
penerimaan nikmat yang mendatangkan kepuasan atau kebahagiaan tidak selalu
dipandang dari sisi kuantitatif, melainkan dari kualitas dan berkahnya.
Kepuasan (satisfaction) merupakan salah satu
suasana batin seseorang yang secara umum dapat disebabkan oleh beberapa faktor
dalam memasuki semua aspek kehidupan. Kepuasan
adalah suatu kondisi kesenangan dan kesejahteraan seseorang karena telah
mencapai satu tujuan atau sasaran. Atau, satu perasaan yang menyertai seseorang
setelah ia memuaskan satu motif. Unsur utama dalam kepuasan adalah adanya
perasaan senang dan sejahtera dan perasaaan itu timbul setelah suatu tujuan
motif dicapai. Davis bersama Newstrom mendefinisikan kepuasan sebagai “perasaan
dan sikap individu tentang menyenangkan atau tidaknya suatu aktivitas yang
bersumber dari seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat, dan pengalaman masa
lalu yang membentuk harapan.”
Kriteria kepuasan atau kebahagiaan batin seseorang tidak
semata-mata disebabkan terpenuhinya kebutuhan material, namun terdapat penyebab
lain yang hakiki, yaitu kebutuhan meta-material, seperti kebutuhan spiritual.
Menurut teori Abraham Maslow, hirarki kebutuhan tersebut digolongkan atas dua taraf,
yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic
needs), yang meliputi kebutuhan
fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga
diri; dan (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta
needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti
keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan sebagainya.
Tanpa menafikan teori Maslow, kepuasan yang esensial,
terutama yang dikembangkan dalam psiko-sufistik adalah kepuasan disebabkan
adanya keridhaan dari Allah SWT. Ridha Allah menjadi sumber kepuasan hidup,
sebab kondisi itu tidak akan diperoleh seseorang kecuali ia beraktivitas secara
baik, benar, jujur, dan mentaati segala aturan. Dengan ridha Allah pula ia
mendapatkan kepuasan dari aktivitasnya tanpa mengganggu hak-hak orang lain.
Tanda-tanda kesehatan mental selain tanda-tanda di atas adalah adanya perasaan cinta (al-mahabbah). Cinta dianggap sebagai tanda kesehatan mental sebab cinta menunjukkan citra diri positif. Cinta mendorong individu untuk hidup berdamai, rukun, saling kasih-mengasihi, dan menjauhkan dari kebencian, dendam, permusuhan, dan pertikaian.
Tanda-tanda kesehatan mental selain tanda-tanda di atas adalah adanya perasaan cinta (al-mahabbah). Cinta dianggap sebagai tanda kesehatan mental sebab cinta menunjukkan citra diri positif. Cinta mendorong individu untuk hidup berdamai, rukun, saling kasih-mengasihi, dan menjauhkan dari kebencian, dendam, permusuhan, dan pertikaian.