Artikel Landasan Filosofis Pendidikan
Landasan filosofis bersumber dari
pandangan-pandangan dalam filsafat pendidikan, menyangkut keyakinan terhadap
hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan
tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal
sampai saat ini adalah Idealisme, Realisme, Perenialisme, Esensialisme,
Pragmatisme dan Progresivisme dan Ekstensialisme. Landasan filosofis merupakan
landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang berusaha
menelaah masalah-masalah pokok seperti: Apakah berpendidikan itu ? Mengapa pendidikan
itu diperlukan ? Apa yang seharusnya menjadi tujuanya, dan sebagainya. Landasan
filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau bersifat filsafat (falsafah).
Kata filsafat (philosophy) bersumber dari bhasa yunani,
Philien berarti cinta dan sophia berarti kebijaksanaan. Cinta berarti hasrat yang besar atau
yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaaan artinya kebenaran
sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau
keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati (Soetriono dan Rita
Hanafi, 2007: 20).
Terdapat kaitan yang erat antara
pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba merumuskan citra tentang
manusia dan mayarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra
itu. Rumusan tentang harkat dan martabat manusia beserta masyarakatnya ikut
menentukan tujuan dan cara-cara penyelenggaraaan pendidikan, dan dari sisi lain
pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Filsafat pendidikan merupakan
jawaban secara kritis dan mendasar berbagai pertanyaan pokok sekitar
pendidikan, seperti apa mengapa, kemana, dan bagaimana, dan sebagainya dari
pendidikan itu. Kejelasan berbagai hal itu sangat perlu untuk menjadi
landasan berbagai keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam pendidikan. Hal
itu sangat penting karena hasil pendidikan itu akan segera tampak, sehingga
setiap keputusan dan tindakan itu harus diyakinkan kebenaran dan ketepatanya
meskipun hasilnya belum dapat dipastikan.
Filsafat membahas sesuatu dari
segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah
kebenaran ilmu yang sifatnya relative. Karena kebenaran ilmu
hanya ditinjau dari segi yang biasa diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan
mengamati gunung es, kita hanya mampu melihat yang diatas permukaaan laut saja.
Sementara itu filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk
meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang
kritis. Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu metafisika,
epistimologi, logika, dan etika, dengan kandungan materi masing-masing sebagai
berikut :
1. Metafisika ialah filsafat yang
meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. Dalam
kaitanya dengan manusia, ada dua pandangan yaitu:
a. Manusia
pada hakekatnya adalah spiritual. Yang ada adalah jiwa atau roh, yang lain
adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu.
Pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri. Pandangan ini dianut oleh kaum
Idealis,Scholastik, dan bebrapa Realis.
b. Manusia
adalah organisme materi. Pandangan ini dianut kaum Naturalis,
Materialis,Eksperimentalis, Pragmatis, dan bebrapa realism. Pendidikan adalah
untuk hidup,Pendidikan
berkewajiban membuat kehidupan manusia menjadi menyenangkan.
2. Epistemologi ialah filsafat yang
membahas tentang pengetahuan dan kebenaran, Ada lima sumber
pengetahuan yaitu :
a. Otoritas,
yang terdapat dalam ensiklopedi
b. Common
sense, yang ada pada adat dan tradisi.
c. Intuisi
yang berkaitan dengan perasaan.
d. Pikiran
untuk menyimpulkan hasil pengalaman.
e. Pengalaman
yan terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.
3. Logika ialah filsafat yang membahas
tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat
logika di harapkan manusia bisa berpikir
dengan mengemukakan
pendapatnya secara
tepat dan benar.
4. Etika ialah filsafat yang menguraikan tentang perilaku
manusia mengenai nilai
dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat
ini. Filsafat etika sangat besar mempengaruhi pendidikan sebab tujuan
pendidikan untuk mengembangkan perilaku manusia, anatara lain afeksi peserta
didik. (Made
Pidarta, 1997: 77-78).
Dalam filsafat terdapat empat
teori kebenaran yaitu :
1.
Koheren yaitu, sesuatu akan benar bila
konsisten dengan kebenaran umum
2.
Koresponden, sesuatu akan benar bila
ia tepat dengan fakta yang dijelaskan.
3.
Pragmatisme, sesuatu dipandang
benar bila konsekuensinya ber manfaat bagi kehidupan.
4.
Skeptivisme, kebenaran dicari
secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
Kajian yang dilakukan oleh berbagai cabang filsafat diatas,
akan besar pengaruhnya terhadap pendidikan, karena prinsip-prinsip dan
kebenaran-kebenaran hasil kajian tersebut pada umumnya diterapkan dalam bidang
pendidikan. Peranan filsafat dalam pendidikan tersebut berkaiatan dengan hasil
kajian antara lain tentang :
1. Keberadaan dan kedudukan manusia
sebagai makluk di dunia ini, seperti yang disimpulkan sebagai zoo
politicon ,homo sapiens ,animal educandum dan sebagainya.
2.
Masyarakat dan kebudayaanya.
3.
Keterbatasan manusia sebagai makluk
hidup yang banyak menghadapi tantangan.
4.
Perlunya landasan pemikiran dalam
pekerjaan pendidikan, utamanya filsafat pendidikan.
B. Aliran
Dalam Landasan Filosofis Pendidikan
Agar uraian tentang filsafat pendidikan ini menjadi
lebih lengkap, berikut ini diuraikan beberapa aliran filsafat pendidikan yang
dominan di dunia ini, Aliran
itu ialah :
1. Aliran
Idealisme
Menegaskan bahwa hakekat kenyataan
adalah ide sebagai gagasan kejiwaan. Apa yang dianggap kebenaran realitas
hanyalah bayangan atau refleksi dari ide sebagai kebenaran berfilsafat
spiritual atau mental. Ide sebagai gagasan kejiwaan itulah sebagai
kebenararan atau nilai sejati yang obsolut dan abadi.Terdapat variasi pendapat
beserta namanya masing-masing dalam aliran ini seperti spiritualisme,
rasionalisme, neokantianisme, dan sebagainya. Variasi itu antara lain
menekankan pada akal dan rasio pada rasionalisme atau sebaliknya pada ilham
untuk irasionalisme, dan lain-alain. Meskipun terjadi variasi pendapat
tersebut, namun pada umunya aliran itu menekankan bahwa pendidikan merupakan
kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten,
antara lain melalui intropeksi dan tanya jawab. Oleh karena itu sebagai lembaga pendidikan,
sekolah berfungsi membantu siswa mencari dan menemukan kebenaran, keindahan dan
kehidupan yang luhur.
2. Aliran
Realisme
Realisme
demikian aliran filsafat ini kerap dipandang sebagai sisi keping yang berbeda
dari idealisme, hadir menjadi reaksi corak idealisme yang cenderung abstrak dan
metafisik. Instrumen utama realisme adalah indra dan terlepas dari asumsi
pengetahuan yang di konstruksi akal pikir. Ini menjadi pembeda tegas dengan
idealisme yang justru lebih bepegang pada kondisi-kondisi mental akal
pikiran.Selanjutnya realisme agaknya di pengaruhi dua filsuf terkemuka, yaitu
Franci Bacon (1561-1626) dengan pemikirannya tentang metodologi induktif serta
John Locke tentang konsep akal-pikir jiwa manusia yang disebut “tabula rasa”,
ruang kosong tak ubahnya kertas putih kemudian menerima impresi lingkungan.
3. Aliran
Perenialisme
Istilah
“perenialisme”berasal dari bahasa latin, yaitu dari akar “perenis” atau
“perenial” (bahasa inggris) yang berarti tumbuh terus melalui waktu ,hidup
terus dari waktu ke waktu atau abadi. Maka, pandangan selalu memercayai
mengenai adanya nilai-nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan
ini. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme merupakan aliran filsafat
mendasarkan padaaturan, bukan mencerai-beraikan; menemukan persamaan-persamaan,
bukan membanding-bandingkan; serta memahami isi, bukan melihat luar atas
berbagai aliran dan Pemikiran. Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan
bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan,
seperti yang kita rasakan dewasa ini, tidak ada satupun yang lebih bermanfaat
dari pada kepastian tujuan pendidikan, serta kesetabilan dalam perilaku
pendidik. Perensialisme adalah aliran pendidikan yang megutamakan bahan ajaran
konstan (perenial) yakni kebenaran, keindahan, cinta kepada kebaikan
universal.Perenialisme menekankan keabadian teori kehikmatan yaitu : Pengetahuan yang benar (truth), Keindahan (beauty), Kecintaan kepada kebaikan (goodness)
Oleh karena itu, dinamakan perenialisme karena kurikulumnya
berisi materi yang konstan atau perennial. Prinsip pendidikan
antara lain:
a. Konsep pendidikan itu bersifat
abadi karena hakekat manusia tidak pernah berubah.
b.
Inti pendidikan haruslah
mengembangkan kekhususan makluk manusia yang unik, yaitu kemampuan berpikir.
c. Tujuan belajar adalah mengenal
kebenaran abadi dan universal
d.
Pendidikan merupakan persiapan bagi
kehidupan sebenarnya.
e.
Kebenaran abadi itu diajarkan melalui pelajaran-pelajaran
dasar (basic subject).
4. Aliran
Esensialisme
Esensialisme kerap diungkapkan
sebagai reaksi kedua terhadap progrevisisme tahun 1930-an. Esensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih
yang memiliki tata yang jelas.Idealisme dan realisme adalah aliran
filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dasar filosofi esensialisme
terutama memandang bahwa setiap jenis tertentu tidak lain adalah entitas
yang memiliki seperangkat karakteristik dan sifat yang bersifat (given) atau
terberikan sejak keberadaannya yang pertama kali. Esensialisme berupaya untuk
mengajar siswa dengan berbagai pengetahuan sejarah melalui mata kuliah inti
dalam disiplin akademis tradisional. Esensialisme juga bermaksud menanamkan
pengetahuan sejarah melalui mata kuliah inti dalam disiplin akademis
tradisional.Esensialisme mempunyai tinjauan mengenai kebudayaan dan pendidikan
yang berbeda dangan progresivisme.
Filsafat
pendidikan Esensialisme bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti
berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang
lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu
ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman romawi yang menggunakan
buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin yang dikenal dengan nama Great
Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk
manusia–manusia berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini
merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tokohnya antara lain
Brameld. Esensialisme adalah mashab pendidikan yang mengutamakan pelajaran
teoretik (liberal arts) atau bahan ajar esensial.
5. Aliran
Pragmatisme dan Progresivisme
Aliran
progresivisme lahir di amerika, akhir abad 19 menjelang awal abad 20.
Mula-mula, istilah ini bersifat sosiologi guna menyebut gerakan sosial
politik di amerika, ketika proses indrustrialisasi dan urbanisasi menjadi
gejala yang begitu massif. John dewey (1859-1952) adalah satu tokoh yang kerap
di pandang menjadi pelopor lahirnya aliran progrevisisme. Sementara Dewey tidak
lain adalah filsuf beraliran pragmatisme. Bisa dikatakan bahwa progresivisme
sangat di pengaruhi filsafat pragmatisme, yang lebih banyak terpusat pada
eksperimentasi-eksperimentasi yang berdasarkan investigasi-investigasi ilmiah
sains modern yang memandang betapa pengalaman selalu menjadi hal yang pokok dan
utama. Dalam gerakan pendidikan ini,sekolah-sekolah menjadi ruang yang benar-benar
bebas gejala-gejala indoktrinisasi dan praktik-praktik otoritatif.
Pragmatisme
merupakan aliran filsafat yang mengemukakan bahwa segala sesuatu harus dinilai
dari segi kegunaan pragtis, dengan
kata lain paham ini menyatakan yang berfaedah itu harus benar, atau ukuran kebenaran didasarkan pada
kemanfaatan dari sesuatu itu kepada manusia .aliran ini melahirkan
progresivisme yang menentang pendidikan tradisional.
6. Aliran
Eksistensialisme
Eksistensialisme
termasuk filsafat pendatang baru. Eksistensialisasi selalu menjadi pemikiran
filsafat yang berupaya untuk agar manusia menjadi dirinya,mengalami
individualitas. Eksistensi berarti berdiri sebagai diri sendiri. Aliran
eksistensialisme terbagi dua sifat, yaitu teistik (bertuhan) dan atteistik.
Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat
spekulatif dan filsafat skeptis. Eksistensi membuat yang ada dan bersosok jelas
bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensi, kursi dapat berada di tempat.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan tanggung
jawabnya di masa depan adalah inti eksistensialisme.
C. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan
1. Implikasi
Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap
upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan
landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah
cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin pada kompetensi seorang tukang.
Di samping penguasaan terhadap apa
dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia
melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan
dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada
setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya
harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik
tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak.
Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam
rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus
selalu dapat dipertanggung jawabkan secara pendidikan (tugas professional,
pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalam perspektif yang
lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus.
Perlu digaris bawahi di sini adalah
tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan
sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat
proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya
berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal
antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek
didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya
masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak
terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan
kepada kedaulatan subjek didik akan melahirkan anarki, sedangkan pemberian bobot yang
berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan.
Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan
pembudayaan manusia.
2. Implikasi
bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila
dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan
tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja
menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salah satu prasaratnya yaitu
teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian
sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam
berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui
adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal tersebut dikemukakan tanpa sama
sekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan
masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan
orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak
menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau,
lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama
yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini); ada yang menyarankan
perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada
yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula
yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga
bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua
saran-saran tersebut di atas memiliki kesahihan,
sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan,
sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru
dan tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan
tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai
di dalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan
tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas
keguruan di dalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan
dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan
bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang
disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan
nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil
telaah interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah
diutarakan di dalam bagian uraian dimuka, dirumuskan ke dalam
perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi
perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat
rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian di dalam menilai perancang
dan implementasi program, maupun di dalam “mempertahankan” program dari
penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual (Fadli, 2010).
3. Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di
Indonesia
Pendidikan di Indonesia baru dalam
tahap perhatian. Perhatian-perhatian terhadap perlunya filsafat pendidikan
itupun baru muncul disana-sini belum terkoordinasi menjadi suatu perhatian
besar untuk segera mewujudkanya. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari
kesimpangsiuran pandangan para pendidik terhadap pendidikan itu
sendiri,seperti telah diungkapkan di atas.
Ada suatu hasil penelitian bertalian
dengan hal di atas yang dilakukan oleh Jasin, dan kawan-kawanya (1994),
dengan responden para mahasiswa PGSD, SI, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan para ahli
pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal
sebagai berikut :
a. Lebih
dari separo responden menginginkan penegasan kembali
pengertian pendidikan dan pengajaran.
b. Hampir separo
responden mahasiswa dan dosen berpendapat bahwa ilmu pendidikan kurang
dikembangkan, sementara itu seperlima para ahli pendidikan menyatakan
pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
c. Para
mahasiswa dan dosen berpendapat pendidikan adalah ilmu mandiri, sementara itu
hampir sepertiga para ahli menyatakan ilmu pendidikan adalah ilmu terapan.
d. Semua responden menyatakan
kurang mengenal struktur ilmu pendidikan. Karena keragaman pandangan
di atas membuat responden terpecah menjadi sebagian mendukung pernyataan
guru tidak mendidik melainkan mengajar dan sebagian lagi menolak.
Dari
hasil penelitian tersebut di atas dapat ditarik sejumlah masalah bertalian
dengan ilmu pendidikan, yaitu :
a. Belum
jelas pengertian pendidikan dan pengajaran.
b. Ilmu Pendidikan kurang dikembangkan.
c. Ilmu
Pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
d. Belum
jelas apakah ilmu Pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
e. Struktur
ilmu pendidikan kurang dikenal.
f. Belum
jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.
Keenam masalah tersebut di atas
menunjukan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan sebagai ilmu belum
ditangani. Mulai dari pengertian, apakah sebagai ilmu dasar atau ilmu
terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan penerapannya pada para calon guru dan
guru-guru masih belum jelas. Kondisi ilmu pendidikan seperti ini terjadi karena
memang ilmu itu belum digali dan dikembangkan.
Untuk mengembangkan ilmu Pendidikan
yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih dahulu dibutuhkan
pemikiran dan perenungan itu adalah filsafat yang khusus membahas pendidikan
yang tepat diterpkan dibumi Indonesia . Dengan kata lain, untuk menemukan
teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu
rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.
Bagaimana kiat untuk meningkatkan
kegiatan usaha merumuskan
filsafat pendidikan Indonesia ini, yang kini baru dalam tahap perhatian yang
bersifat sporadic? Tampaknya kiat itu perlu disesuaikan dengan
alam kebiasaan bangsa Indonesia saat ini. Sesuatu akan terjadi secara relative lebih mudah bila gagasan
itu bersumber dari dan disepakati atau disetujui oleh pemerintah. Filsafat
pendidikan akan lebih mudah mendapat jalan dalam perkembanganya manakala
pemrakarsa dapat menggugah
hati pemerintah untuk menyetujuinya.
Upaya mendorong
pemerintah untuk memberi syarat akan pentingnya merumuskan filsafat pendidikan
dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan menjelang
sidang umum MPR (kompasa, 27 Nopembert 1992), sebagai satu sumbangaan
untuk bahan sidang umum itu. Namun GBHN 1993 sebagai produk sidang itu, tidak
mencantumkan perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan itu. Hal ini
menunjukkan kemauan politik pemerintah kearah itu belum ada. Mudah-mudahan
di waktu-waktu yang akan datang kemauan itu akan muncul.
Di samping
kunci utama untuk memulai kegiatan pengembangan filsafat pendidikan itu belum
ada, ada lagi kunci kedua yang membuat sulitnya mengembangkan filsafat dan
teori pendidikan itu, yaitu kesulitan menjabarkan sila-sila Pancasila agar
mudah diterapkan di lapangan. Memang benar sila-sila Pancasila sudah dijabarkan
menjadi 45 butir, tetapi penjabanran itu belum tentu sesuai dengan kebiasaan
kerja para ahli pendidikan yang membuat hasil kerja mereka lebih mudah
diterapkan di lapangan. Sampai sekarnag tidak setiap
ahli diperkenankan menjabarkan sila-sila Pancasila. Yang diperbolehkan menjabarkan
sila-sila itu hanya BP7 pusat, dengan maksud sangat mungkin unutk menghindari
kesimpang-siuran makna sila-sila Pancasila itu sendiri.
Tetapi bila
para ahli pendidikan yang berwenang merumuskan filsafat pendidikan tidak
diperkenankan menjabarkan atau menafsirkan sendiri sila-sila Pancasila
itu akan membatasi kebebasan mereka berfikir dan mewujudkan filsafat itu. Bila
hal itu tidak bisa ditawar-tawar, mungkin dapat diambil jalan kompromi
yaitu dengan dibentuk tim yang anggotanya beberapa ahli pendidikan dan beberapa
anggota BP7 pusat. Dengan cara ini kemacetan
salah satu faktor penghambat pengembangan filsafat pendidikan di
Indonesia dapat diatasi.
Andaikan
isyarat untuk mewujudkan filsafat pendidikan sudah ada atau sudah ada suatu
kelompok yang berupaya merumuskan filsafat itu, maka ada beberapa hal yang
harus dipikirkan. Hal-hal yang dimaksud adalah:
a. Apakah
filsafat pendidikan yang akan dibentuk, yang sesuai dengan kondisi dan budaya
Indonesia akan diberi nama Filsafat Pendidikan Pancasila atau dengan nama lain
?
b. Apakah
filsafat pendidikan itu diambil dari filsafat pendidikan internasional yang
sudah ada, dengan memilih salah satu dari Esensilais, Perenialis, Progesivise,
Rekonstruksionis, dan Eksistensialis? Sehingga tinggal merevisi agar cocok
dengan kondisi Indonesia.
c. Ataukah filsafat itu
dimunculkan bersumber dari filsafat-filsafat umum yang berlaku secara
Internasional, seperti yang dilaksanakan oleh Negara Australia. Ahli pendidikan
di Australia menyatakan filsafat
yang mendasari pendidikan mereka adalah Liberal, Demokrasi, dam multicultural
Seakan-akan mereka tidak memiliki filsafat khusus tentang pendidikan (
Made Pidarta, 1997 : 102 ).
ISPI (1989) mengingatkan bahwa tugas
utama para ahli ilmu Pendidikan adalah
a. mengungkapkan pikiran yang
sistematik dan mendasar mengenai implikasi filsafat Pancasila dalam filsafat
pendidikan nasional yang akan dibentuk, dan
b. dalam mengungkapkan sumber-sumber
dari luar termasuk teori pendidikan dan perlu diadakan saringan-saringan agar
sesuai dengan filsafat negara kita (Made
Pidarta, 1997 : 104).
DAFTAR PUSTAKA
Soetriono dan SRDm Rita Hanafi, 2007, Filsafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian, Yogyakarta : C.V Andi Ofset.