Artikel Mendidik Remaja Dari Sudut Pandang Psikologi Islam (Lanjutan)
Aspek-Aspek Pendidikan Remaja
Berbagai persoalan remaja yang muncul
terjadi karena ketegangan antara apa-apa yang natural (fitrah) pada diri
manusia dengan paksaan budaya. Ia juga terjadi karena sistem pendidikan yang
ada terlalu menekankan pada kepentingan negara dan pertumbuhan ekonomi, bukan
demi kepentingan kesehatan pertumbuhan manusia itu sendiri.
Perlu disadari bahwa tugas Psikologi Islam
adalah agar manusia selalu lurus dengan fithrahnya. Terkait dengan pendidikan,
Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan bahwa tujuan pendidikan dari tingkat
yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan
untuk menghasilkan warga negara yang sempurna (complete citizen), tetapi
untuk memunculkan manusia paripurna. Para ahli pendidikan Muslim juga mempunyai
pendapat yang senada. Dr. Ali Asraf menyatakan bahwa pendidikan seharusnya
diarahkan untuk mengembangkan individu sepenuhnya. Sementara Imam al-Ghazali
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya kesempurnaan manusia
yang bisa mendekatkannya kepada Allah dan bisa membawa pada kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Upaya pembentukan manusia yang utuh dan
paripurna (al-insan al-kamil) tidak mungkin dapat terwujud selama masih
adanya kesenjangan yang serius dalam aspek-aspek kedewasaan remaja. Kesenjangan
ini bertentangan dengan pola pertumbuhan natural manusia dan karenanya
menimbulkan ketidaksehatan jiwa pada diri remaja. Ketidaksehatan jiwa ini pada
gilirannya menyebabkan terjadinya ketidaksehatan sosial pada komunitas remaja
dan lingkungannya. Prof. El-Quussy menyatakan bahwa ”pendidikan yang tidak
menuju ke arah menciptakan kesehatan jiwa dianggap sebagai suatu perbuatan yang
sia-sia, yang tidak ada gunanya.”
Oleh karenanya, salah satu tugas penting Psikologi Islam sekarang ini dalam
pendidikan remaja adalah menghapuskan kesenjangan pada aspek kedewasaan remaja.
Jadwal kedewasaan biologis tidak mungkin dimundurkan waktunya, karena terjadi
secara alamiah. Oleh sebab itu, jadwal kedewasaan psikologis dan sosial-lah
yang perlu kembali dimajukan waktunya agar berdekatan dengan jadwal kedewasaan
biologis, sebagaimana yang selama ini dialami oleh remaja-remaja pada
masyarakat primitif dan pada masyarakat di masa lalu. Dimajukannya jadwal waktu
kedewasaan psikologis dan sosial lebih bersifat natural dan lebih menjamin
kesehatan jiwa dalam fase pertumbuhan remaja.
Kedewasaan
sosial anak remaja biasanya dicapai dengan adanya penerimaan sosial dari orang
tua dan lingkungannya terhadap remaja sebagai orang yang sudah dewasa dan
sejajar dengan orang-orang dewasa lainnya. Selain itu, kedewasaan sosial juga
terwujud dengan adanya interaksi antara anak dengan orang-orang dewasa di
sekitarnya secara sederajat dan dewasa. Dengan kata lain, anak remaja
seharusnya disikapi sebagai orang dewasa dan dilibatkan dalam komunitas serta
aktivitas positif orang-orang dewasa. Sekiranya orang tua menyikapi dan melibatkan anak-anaknya secara dewasa,
bahkan sebelum anak-anak itu menginjak masa baligh/ puber, maka anak-anak itu
akan memiliki karakter dewasa yang sehat ketika ia memasuki masa remaja. Dalam
situasi seperti itu, kecil kemungkinan anak akan mengalami gejolak yang serius
dan berkepanjangan pada fase usia remaja. Hal demikian terjadi karena ia telah
mendapatkan status sosial (status kedewasaan) yang jelas sejak dini.
Adapun kedewasaan psikologis idealnya
dibentuk sejak masa pra-pubertas lewat pendidikan yang bisa menumbuhkan
karakter dan perilaku dewasa pada anak. Oleh karena itu, perlu diteliti
aspek-aspek apa saja yang membedakan antara anak-anak dan orang dewasa. Kami
sendiri berpandangan aspek-aspek dasar yang membedakan kedua kelompok usia
meliputi empat hal, yaitu identitas diri, tujuan hidup (serta visi),
pertimbangan dalam memilih, serta tanggung jawab. Pendidikan remaja perlu
memperhatikan tumbuh sehatnya keempat aspek ini dan memulainya sejak anak belum
lagi menginjak usia remaja. Berikut ini akan dibahas keempat aspek
tersebut satu demi satu.
1.
Identitas
diri
Anak-anak
pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang identitas atau jati dirinya,
karena mereka belum memiliki kemandirian, termasuk dalam persoalan identitas.
Anak-anak mengidentifikasi dirinya dengan orang tuanya. Mungkin bisa dianggap
bahwa identitas anak-anak pra-pubertas sama dengan identitas orang tuanya.
Namun, ketika anak memasuki fase kedewasaan biologis (baligh/ puber), ia mulai
merasakan adanya tuntutan untuk mandiri, termasuk dalam persoalan identitas. Apa yang sebelumnya belum terlintas di
dalam pikiran, kini mulai menjadi hal yang serius. Pertanyaan seperti ”siapa
saya sebenarnya?” dan ”apa tujuan hidup saya?” mulai menuntut jawaban-jawaban
yang mandiri.
Pada titik ini, idealnya remaja sudah siap untuk
menjadi mandiri dan dewasa. Seorang yang memiliki karakter dewasa tidak merasa
bingung dengan identitas dirinya. Ia mengetahui dengan baik siapa dirinya dan
apa yang menjadi tujuan hidupnya. Identitas pada diri orang dewasa tadi menjadi
kokoh seiring dengan terbentuknya nilai-nilai (values) serta prinsip-prinsip
yang mendukung.
Dalam kaitannya dengan identitas, seseorang
biasanya akan mengaitkan dirinya dengan salah satu dari hal berikut: agama atau
ideologi, suku atau bangsa, serta profesi. Seorang santri misalnya, ia akan
cenderung menyatakan ”Saya adalah seorang Muslim” saat ditanya tentang siapa
dirinya. Adapun oang yang hidup dalam komunitas kesukuan yang kental akan lebih
mengaitkan identitas dirinya dengan sukunya. Seseorang bisa saja memiliki lebih
dari satu identitas pada saat yang bersamaan – misalnya sebagai Muslim, sebagai
orang Jawa, dan sebagai pengusaha sekaligus – tetapi biasanya ada satu
identitas yang lebih bersifat dominan dan menjadi identitas utama.
Suatu identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai
(values) serta prinsip yang mendukungnya, sebab kalau tidak demikian,
maka identitas tersebut hanya akan bersifat artifisial dan tidak konsisten.
Sebagai contoh, misalnya seorang menyatakan bahwa identitas utamanya adalah
Muslim, tetapi ia tidak memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam serta
banyak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Oleh karena itu,
membangun identitas diri pada anak harus dilakukan dengan membangun nilai-nilai
serta prinsip-prinsip yang menopang tegaknya identitas tersebut.
Anak-anak perlu dibangun identitasnya sejak kecil,
baik di rumah maupun di sekolah, sehingga ketika mereka memasuki usia baligh,
mereka sudah memiliki identitas diri yang kokoh dan tak lagi mudah
terombang-ambing dalam hidup. Psikologi Islam tentu merekomendasikan agama
Islam sebagai identitas utama bagi setiap orang. Dan karena itu, nilai-nilai
serta prinsip-prinsip utama Islam perlu dirumuskan dan ditanamkan secara
bertahap pada anak. Jika proses penenaman dan pewarisan nilai ini berjalan
dengan baik, maka anak tidak akan lagi mengalami krisis identitas saat memasuki
usia belasan tahun.
2.
Tujuan dan Visi dalam Hidup
Adanya tujuan dan visi dalam hidup juga sangat
membantu terbentuknya identitas diri dan kedewasaan pada diri seseorang.
Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang tujuan dan visi hidup.
Mereka masih bergantung pada tujuan dan rencana-rencana orang tuanya. Orang
yang memiliki karakter dewasa mengetahui dengan baik apa-apa yang menjadi
tujuan dan cita-citanya, walaupun tidak semua orang yang berusia dewasa dapat
dipastikan memiliki ciri-ciri ini. Tujuan dan visi juga terkait erat dengan
identitas diri. Jika seseorang menjadikan agama sebagai identitas, maka
cita-cita hidupnya juga tentu akan merujuk pada nilai-nilai agama. Jika ia
menjadikan profesi dan pekerjaan sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya
juga tentu merujuk pada profesi dan pekerjaannya.
Dalam konteks pendidikan kedewasaan remaja,
idealnya seseorang telah diorientasikan untuk berpikir tentang tujuan dan
cita-citanya sejak ia masih anak-anak dan belum memasuki masa puber. Bila
tujuan hidup serta visi yang tinggi ditanamkan kepada anak secara terus
menerus, maka pada saat anak sudah mulai harus mandiri, yaitu pada masa baligh,
ia akan memiliki arah hidup yang jelas. Ia tak lagi merasa bingung dengan apa
yang sesungguhnya menjadi keinginannya, sebagaimana yang seringkali dialami
oleh remaja-remaja modern.
Pihak orang tua maupun guru di sekolah tidak boleh
meremehkan cita-cita seorang anak yang sangat tinggi dan tampak mustahil.
Mereka justru harus memandangnya secara positif dan mendorongnya, sambil
mengarahkan anak pada langkah-langkah yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-cita
tadi tentunya sesuai dengan kapasitas berpikir dan bertindak mereka. Dengan
demikian, sejak awal anak-anak dan remaja akan disibukkan dengan tujuan dan
cita-cita mereka, sehingga tak lagi memiliki banyak kesempatan untuk
membuang-buang waktu mereka tanpa adanya tujuan yang jelas.
3.
Pertimbangan dalam Memilih
Al-Qur’an mengajarkan bahwa ada dua dasar
pertimbangan dalam memilih, yaitu berdasarkan suka-tak suka atau berdasarkan
baik-buruk. Al-Qur’an, serta akal sehat kita, mengajarkan bahwa pertimbangan
baik-buruk lebih baik daripada pertimbangan berdasarkan suka-tak suka. ”Boleh
jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai
sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216). Anak-anak cenderung memilih sesuatu
berdasarkan pertimbangan suka-tak suka. Bila ia menyukai sesuatu, maka ia akan
menginginkan dan berusaha untuk mendapatkannya. Bila ia tak menyukainya, maka
ia akan berusaha menolaknya walaupun sesuatu itu mungkin baik untuknya. Orang
yang memiliki karakter dewasa memilih dengan dasar pertimbangan yang berbeda.
Mereka menimbang sesuatu berdasarkan baik buruknya. Walaupun ia cenderung pada
sesuatu, ia akan mengindarinya sekiranya itu buruk bagi dirinya. Tentu saja ini
merupakan sebuah gambaran yang ideal. Pada realitanya, banyak juga dijumpai orang-orang
yang berusia dewasa tetapi melakukan hal-hal yang buruk hanya karena mereka
menyukai hal-hal tersebut.
Pendidikan yang baik seharusnya mampu mengarahkan
anak setahap demi setahap untuk mengubah dasar pertimbangannya dari suka-tak
suka menjadi baik-buruk. Dalam hal ini, komunikasi dengan anak memainkan
peranan yang sangat vital. Kepada anak-anak perlu dijelaskan alasan
baik-buruknya mengapa sesuatu tidak boleh dilakukan atau mengapa sesuatu harus
dilakukan. Dengan demikian mereka memahami alasan baik-buruk di balik boleh
atau tidaknya suatu pilihan.
Kepada mereka juga perlu dijelaskan konsekuensi
dari pilihan-pilihan yang ada. Biarkan anak melihat pilihan yang mereka miliki,
yang baik serta yang buruk, berikut resiko yang ada di baliknya. Ajak anak
untuk menetapkan sendiri pilihannya, bukannya memaksakan pilihan-pilihan yang
kita buat, dengan demikian ia akan menjadi lebih bertanggung jawab dengan
pilihan-pilihan yang diambilnya itu. Semua proses ini akan membantu kematangan
berpikir anak dan menjadikannya lebih bertanggung jawab. Setiap kali ia hendak
menentukan pilihan, ia sudah terlatih dengan kebiasaan berpikir yang
berorientasi pada pertimbangan baik-buruk. Dengan demikian, ketika ia menginjak
usia belasan tahun, ia sudah bisa mengambil keputusan-keputusan yang positif
secara mandiri. Ia tidak akan mudah terombang-ambing dengan ajakan-ajakan orang
lain yang tidak menguntungkan bagi kepentingan jangka panjangnya dan juga tidak
akan menentukan pilihan-pilihan secara asal dan tak bertanggung jawab.
4.
Tanggung Jawab
Setiap orang melewati beberapa fase tanggung jawab
dalam perjalanan hidupnya. Ketika masih anak-anak dan belum memiliki kemampuan
untuk mengemban tanggung jawab, maka orang tuanyalah yang memikul tanggung
jawab untuknya, sampai ia mampu memikulnya sendiri. Fase ini bisa disebut
sebagai fase pra-tanggung jawab. Ketika anak beranjak dewasa, kemampuannya
dalam memikul tanggung jawab juga meningkat. Pada saat itu, sebagian dari
tanggung jawab, yaitu tanggung jawab yang sudah mulai bisa dipikulnya, bisa
didelegasikan oleh orang tua kepada anak. Fase ini bisa disebut fase tanggung
jawab parsial.
Ketika seseorang sudah hidup mandiri sepenuhnya,
dalam arti ia sudah menikah dan bermatapencaharian, maka ia memasuki fase
tanggung jawab penuh. Tanggung jawab sudah didelegasikan kepadanya secara
penuh. Akhirnya, seseorang bisa memperluas tanggung jawabnya sesuai dengan
kapasitas dirinya. Ia bisa menjadi pemimpin di lingkungan keluarga besarnya, di
lingkungan masyarakatnya, bahkan di tingkat nasional atau internasional. Fase
ini bisa disebut sebagai fase perluasan tanggung jawab (lihat Bagan 3).
Setiap orang tentu tidak melompat dari fase
tanggung jawab yang satu ke fase berikutnya secara mendadak. Karenanya, sebelum
memasuki fase yang lebih tinggi, ia perlu dipersiapkan dengan latihan-latihan
tanggung jawab tertentu. Anak perlu ditumbuhkan kepekaan tanggung
jawabnya (sense of responsibility), bukan dibebani secara terus menerus
dengan bentuk-bentuk tanggung jawab (forms of responsibility). Sekiranya
pada diri anak terbangun rasa memiliki tanggung jawab serta rasa bangga dalam
mengemban tanggung jawab, maka ia akan lebih mudah menerima berbagai bentuk
tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya.
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas, anak perlu diberi latihan-latihan tanggung jawab
yang sesuai dengan kapasitasnya, serta diarahkan untuk merasa senang dengan
pemenuhan tanggung jawab itu. Anak-anak yang tumbuh tanpa pembiasaan tanggung
jawab semacam ini akan cenderung merasa berat dan memberontak pada saat ia
harus menerima apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ia memiliki kapasitas untuk
mengemban tanggung jawab tertentu, tetapi malah bersikap tidak dewasa dengan
membenci dan menolak tanggung jawab itu atas dirinya. Semua itu terjadi karena
ia tidak pernah dididik dan dipersiapkan untuk mengemban tanggung jawab yang
lebih besar. Maka dari itu, pendidikan remaja dalam konteks Psikologi Islam
perlu membangun kedewasaan anak dengan cara menumbuhkan rasa tanggung jawab (sense
of responsibility) serta memberikan latihan-latihan tanggung jawab sejak
dini.
Agar anak tidak terbebani dengan proses percepatan kedewasaan psikologis dan sosial, bentuk-bentuk tanggung jawab yang telah diberikan secara berlebihan pada kebanyakan anak modern juga perlu dikurangi. Anak-anak perlu diberi kesempatan yang cukup untuk bermain secara sehat hingga ia berusia tujuh tahun. Dengan demikian, proses pertumbuhan mereka akan berlangsung dengan baik dan sehat, sehingga terjadinya gejolak yang berlebihan di masa remaja akan dapat dihindari.
Agar anak tidak terbebani dengan proses percepatan kedewasaan psikologis dan sosial, bentuk-bentuk tanggung jawab yang telah diberikan secara berlebihan pada kebanyakan anak modern juga perlu dikurangi. Anak-anak perlu diberi kesempatan yang cukup untuk bermain secara sehat hingga ia berusia tujuh tahun. Dengan demikian, proses pertumbuhan mereka akan berlangsung dengan baik dan sehat, sehingga terjadinya gejolak yang berlebihan di masa remaja akan dapat dihindari.