Artikel Mendidik Remaja Dari Sudut Pandang Psikologi Islam
Bila kita berbicara
tentang pendidikan remaja menurut sudut pandang Psikologi Islam, kita harus
bertanya terlebih dahulu seperti apa seharusnya Psikologi Islam memandang
remaja dan manusia secara umum? Apakah Psikologi Islam seharusnya melihat
manusia lebih sebagai suatu produk kebudayaan yang tunduk sepenuhnya pada
perubahan-perubahan sosial? Atau ia seharusnya lebih melihat manusia dari aspek
fitrah insaniah yang dengannya ia diciptakan? Apakah fase-fase perkembangan manusia,
termasuk fase remaja, harus sepenuhnya tunduk pada kehendak kultural masyarakat
yang selalu berubah dari waktu ke waktu? Ataukah ia seharusnya lebih
memperhatikan hal-hal yang bersifat natural dalam tahap-tahap pertumbuhannya?
Adalah benar jika dikatakan
bahwa manusia merupakan makhluk budaya dan tak mungkin dipisahkan dari
perkembangan budayanya. Kendati demikian, manusia juga memiliki sifat-sifat
natural (fitrah) yang tak boleh diabaikan, demi terjaganya kesehatan psikologis
manusia itu sendiri. Psikologi Islam berkepentingan untuk mempelajari hal-hal
yang fitrah ini untuk kemudian mengawalnya dalam fase-fase pertumbuhan manusia.
Al-Qur’an mengingatkan,
“ (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Perubahan yang serius pada fitrah manusia
tentu akan menimbulkan problem-problem serius juga di tingkat psikologis dan
sosial. Tulisan berikut ini akan berusaha
untuk membedah persoalan dan pendidikan remaja dari sudut pandang ini.
Remaja
Modern dan Akar Permasalahannya
Menggagas
pendidikan remaja idealnya tetap mengacu pada kondisi remaja kontemporer,
sehingga solusi yang ditawarkan tidak tercerabut dari realitas yang ada. Selain
itu, kita juga mencari jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar seperti
berikut: Siapa sesungguhnya kelompok usia yang disebut remaja itu? Apa
karakteristiknya? Dan bagaimana
situasi yang mereka hadapi pada hari ini, baik secara psikologis maupun sosial?
Tidak
ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang biasa
disebut remaja. Namun secara umum, remaja biasanya dianggap sebagai kelompok
usia peralihan antara anak-anak dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20
tahun. Hilgard menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga aspek penting yang
menandai masa remaja: 1) Terjadinya perubahan fisik (berkembangnya hormon dan
organ-organ seksual), 2) Adanya pencarian dan pemantapan identitas diri, dan 3)
Adanya persiapan menghadapi tugas dan tanggung jawab sebagai manusia yang
mandiri.
Fase usia remaja sering dianggap sebagai
fase yang sangat tidak stabil dalam tahap perkembangan manusia. G.S. Hall
menyebutnya sebagai strum und drang ‘masa topan badai, sementara James E. Gardner menyebutnya sebagai
masa turbulence (masa penuh gejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari
realitas psikologis dan sosial remaja.
Sebenarnya, sejauh manakah gejolak yang
dialami oleh remaja pada hari ini? Jika persoalan-persoalan remaja di dalam dan
di luar negeri dihimpun sebanyak-banyaknya, tentu data-data itu akan
mengejutkan orang yang mengamatinya. Sementara, secara kualitatif dan
kuantitatif, persoalan-persoalan remaja tadi tampaknya terus meningkat dari
hari ke hari.
Remaja-remaja sekarang ini semakin akrab
dengan persoalan seks, kekerasan, obat-obatan, dan problem psikologis. Perilaku
seks remaja modern semakin bebas dan permisif. Riset Majalah Gatra
beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa 22 % remaja menganggap wajar cium
bibir, dan 1,3 % menganggap wajar hubungan senggama. Angka ini memang relatif kecil, tetapi
penelitian-penelitian lain menunjukkan angka yang lebih tinggi. Sebagai contoh,
10 % dari 600 pelajar SMU yang disurvey di Jawa Tengah mengaku sudah pernah
melakukan hubungan intim. Malah penelitian-penelitian sebelumnya juga
memperlihatkan angka yang sudah cukup tinggi. Beberapa remaja di Semarang
pernah tertangkap basah oleh aparat dan warga karena melakukan pesta seks dan
mabuk-mabukan, sementara yang lainnya di Ujung Pandang meninggal dunia di mobil
setelah melakukan hal yang sama. Banyak dari mereka melakukan itu semua bukan
karena adanya desakan ekonomi, melainkan untuk mencari kepuasan semata. Perilaku
seks remaja-remaja di pedesaan ternyata juga tidak terlalu jauh berbeda dengan
perilaku rekan-rekan mereka di perkotaan.
Contoh-contoh statistik serta kasus di
atas tentu tidak sebesar dan seserius yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat,
tapi ada indikasi bahwa kebebasan seksual semakin gencar masuk ke tanah air
bersama dengan tersebarnya budaya global. Media massa dan elektronik yang
banyak mengandung unsur seks dan kekerasan, begitu pula komik-komik porno,
begitu mudah diakses oleh kalangan remaja dewasa ini. Kini, anak-anak kelas 4
hingga 6 SD sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat dewasa tentang
seks, seperti ”Apakah sex swalayan itu?” dan ”Bagaimana cara melakukan seks?”. Sementara,
beberapa remaja puteri usia SMU merasa tak segan difoto payudara, atau malah
tubuh telanjangnya, dengan handphone, semata-mata karena bangga dengan
keindahan tubuhnya sendiri.
Angka kekerasan serta konsumsi rokok dan
obat-obatan terlarang juga cukup tinggi di kalangan remaja Indonesia. Data
tentang tawuran di Jakarta pada paruh pertama tahun 1999, sebagaimana
diberitakan oleh Media Indonesia, memperlihatkan bahwa rata-rata dua
anak tewas setiap bulannya karena perkelahian antar pelajar. Pada tahun yang
sama, sebuah penelitian tentang narkoba menunjukkan bahwa paling tidak 60-80%
murid SMP di seantero Yogya pernah mencicipi narkotika, sementara di
wilayah-wilayah pemukiman setidaknya 10 anak baru gede (ABG) di tiap RT pernah
merasakan narkotika. Angka ini juga cukup tinggi di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya. Bahkan narkotika dalam bentuk permen pernah beredar di Jakarta Timur
dengan target konsumen anak-anak SD.
Di beberapa negara asing, seperti di
Amerika Serikat dan Hongkong, tingkat kerentanan psikologis anak-anak remaja
sangat tinggi. Majalah News Week pernah mengangkat seriusnya persoalan
remaja di Amerika pasca penembakan yang menimbulkan kematian lebih dari sepuluh
anak di sekolah Columbine. Salah satu survey yang diangkat oleh majalah itu
menyebutkan bahwa satu dari empat remaja di Amerika Serikat berpikiran bunuh
diri. Survey American Academy of
Pediatrics belum lama ini malah menunjukkan bahwa 60% pelajar menyatakan
bahwa mereka pernah berpikiran untuk bunuh diri, dan 9% di antaranya pernah
mencobanya paling tidak satu kali. Sementara itu di Hong Kong, satu dari tiga
remajanya berpikiran untuk bunuh diri.
Di Indonesia, persoalannya tentu tidak
seserius itu. Namun, sejak pertengahan tahun 2003 hingga April 2005 setidaknya
ada 30 kasus upaya bunuh diri yang dilakukan oleh remaja di tanah air. Tidak
semua anak yang berupaya bunuh diri itu mengalami kematian. Sebagian berhasil
diselamatkan dan tetap bertahan hidup. Namun, hampir semuanya melakukan upaya
bunuh diri untuk alasan-alasan yang remeh dan tak masuk akal, seperti ”rebutan
mie instan dengan adik,” ”rebutan remote untuk nonton AFI di TV,” ”ngambek
minta dibelikan buku gambar,” atau karena ”kecewa tidak dibelikan TV.” Fenomena
ini tampaknya belum mengemuka pada dekade-dekade sebelumnya. Ini semua
menggambarkan adanya kerentanan yang cukup serius pada kondisi psikologis
remaja-remaja Indonesia, khususnya pada tahun-tahun belakangan ini.
Remaja
modern telah menjadi suatu kelompok usia terpisah yang membedakan diri dari
kelompok usia anak-anak dan dewasa. Gejolak psikologis yang mereka alami terekspresikan keluar dalam berbagai
bentuk dekadensi seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Mereka jadi sulit
diatur dan sering bentrok dengan orang tua. Guru dan pihak sekolah pun
kesulitan untuk mengontrol mereka. Remaja-remaja ini berkumpul dengan
teman-teman seusia mereka dan menciptakan budaya teman sebaya (peer culture).
Mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman seusia mereka yang memiliki
karakteristik sama dengan mereka. Mereka juga kurang mau mendengar dari
orang-orang dewasa yang semakin jarang berinteraksi dengan mereka dan tidak
selalu memahami gejolak perasaan mereka. Kondisi mereka yang labil seringkali
mendorong terjadinya tekanan teman sebaya (peer pressure) yang cenderung
menjatuhkan mereka ke berbagai hal yang negatif, seperti rokok, narkotika,
kekerasan, dan seks bebas.
Orang-orang dewasa di sekitar mereka,
termasuk orang tua dan guru, mungkin bingung bagaimana seharusnya menyikapi
anak-anak remaja. Mau disikapi sebagai orang dewasa, mereka ternyata belum
terlalu matang dan masih banyak membutuhkan bimbingan. Mau disikapi sebagai
anak kecil, lebih tidak mungkin lagi mengingat perkembangan fisik mereka yang
mulai menunjukkan ciri-ciri orang dewasa. Akibatnya, kelompok usia remaja
menjadi semakin terasing dari dunia orang dewasa yang idealnya bisa membimbing
mereka menuju kematangan dan kemandirian pribadi.
Bagaimanakah fenomena-fenomena ini
seharusnya dijelaskan? Apakah semua itu merupakan hal yang normal terjadi pada
remaja? Apakah berbagai problematika psikologis dan sosial remaja modern juga
dialami oleh rekan-rekan seusia mereka di masa lalu? Ataukah ini hanya menjadi
ciri khas dari remaja-remaja modern? Kita akan mencoba mengurai
persoalan-persoalan ini satu demi satu, sebelum menggagas solusi pendidikan
terbaik bagi anak-anak remaja.
Ketika memasuki usia remaja (puber), setiap
anak mengalami perubahan yang sangat signifikan pada fisiknya, terutama yang
terkait dengan organ-organ seksualnya. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan
kecanggungan pada diri remaja karena ia harus menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan tadi. Penyesuaian ini tidak selalu bisa mereka lewati
dengan baik, lebih-lebih bila tidak ada bimbingan dan dukungan dari orang tua.
Bersamaan dengan terjadinya perubahan
fisik menuju kedewasaan, perubahan yang bersifat psikologis juga dialami oleh
remaja. Pada diri mereka mulai muncul perasaan akan identitas diri. Jika pada
waktu kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir tentang jati diri mereka
sendiri, maka pada masa remaja pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa diri saya?”
dan “apa tujuan hidup saya?” menjadi persoalan yang sangat penting. Ini
sebetulnya pertanyaan yang wajar bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa,
karena pada masa ini mereka sudah harus mulai mandiri, termasuk dalam hal
identitas atau jati diri. Persoalannya menjadi serius ketika pertanyaan-pertanyaan
ini tidak bisa dijawab dengan baik dan terus berlarut-larut menggelayuti
pikiran mereka.
Berkenaan dengan persoalan jati diri ini,
Jane Kroger mengatakan bahwa “Remaja agaknya merupakan suatu saat … ketika
seseorang dihadapkan dengan persoalan definisi diri.” Sementara Kathleen White
dan Joseph Speisman dalam buku mereka, Remaja, menjelaskan bahwa remaja
cenderung, “bergelut dengan isu mengenai siapa dirinya dan ke mana tujuannya.”
Begitu seriusnya mereka dengan persoalan ini sehingga “barangkali hanyalah pada
masa remaja saja individu dapat menjadi ahli filsafat moral yang tersendiri.”
Sayangnya, hanya segelintir remaja yang
mungkin benar-benar lulus sebagai ”ahli filsafat moral,” sementara sebagian
besar lainnya justru semakin bingung dan tak peduli dengan apa pun yang ada di
sekitarnya. Banyak yang gagal dalam menemukan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang penting dan mendasar tadi. Kegagalan dalam definisi
diri membuat remaja mengalami ’kebingungan peran’ (role confusion) saat
mencari model peran yang akan diikuti.
Model peran orang tua yang sebelumnya
mereka idealkan semasa kecil kini mulai ingin mereka jauhi, terutama jika orang
tua bermasalah. Remaja mulai melirik model-model peran dan identitas yang ada
di luar keluarganya. Namun, mereka seringkali mengalami kebingungan karena ada
begitu banyak pilihan peran dan nilai-nilai yang saling bertentangan satu sama
lain, sementara mereka tidak memperoleh bimbingan yang mantap bagaimana
seharusnya menentukan pilihan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Semua itu
membawa remaja kepada kondisi yang sangat labil, rentan, dan mudah terpengaruh
oleh lingkungannya. Pada gilirannya, tidak sedikit remaja yang akhirnya
terjerumus dalam berbagai persoalan serius sebagaimana yang telah disinggung
pada bagian awal dari tulisan ini.
Situasi ini menjadi semakin buruk, karena
kaum kapitalis, khususnya para pengusaha bisnis hiburan, berusaha mengambil
keuntungan dari kondisi remaja yang labil. Pencarian jati diri remaja dilihat
oleh mereka sebagai ”permintaan” (demand) dan peluang bisnis. Mereka pun
kemudian memberikan ”penawaran” (supply) berupa artis dan selebritis
yang menampilkan identitas semu (pseudo-identity). Remaja tak sekedar
mengapresiasi para selebritis karena film atau lagu mereka yang menarik, tapi
juga karena para selebritis itu menampilkan model-model identitas yang bisa
mereka tiru dan ikuti. Hanya saja, peniruan yang mereka lakukan ini tidak
menyelesaikan problem dan gejolak pada diri mereka, malah semakin
melipatgandakannya.
Semua ini berputar dalam suatu siklus.
Kaum kapitalis menciptakan industri hiburan yang menghadirkan artis dan
selebritis. Para selebritis menampilkan identitas semu yang diapresiasi oleh
anak-anak remaja sebagai upaya pemenuhan atas pencarian jati diri mereka. Kaum
remaja, atau orang tua mereka, mengeluarkan uang untuk mengkonsumsi hiburan dan
mengapresiasi artis-artis, dan uang itu masuk ke kantong kapitalis. Siklus itu
terus berputar. Dan sebagai dampaknya, kaum kapitalis mengalami akumulasi
modal, sementara remaja mengalami akumulasi krisis (Lihat bagan 1).
Sejauh ini, data-data memperlihatkan bahwa
masa usia remaja identik dengan krisis, sifat labil, serta terjadinya gejolak
psikologis dan sosial yang bersifat destruktif. Dengan kata lain, kelabilan dan
gejolak (turbulence) lekat dengan fase usia remaja yang merupakan
peralihan antara anak-anak dan dewasa. Pendidikan remaja seharusnya mampu
memberikan solusi terbaik dalam meredam keadaan labil dan penuh gejolak tadi,
serta memberikan pemecahan bagi mereka untuk keluar dari lingkaran krisis yang
mereka alami. Oleh karenanya, dalam rangka merumuskan solusi tadi, Psikologi
Islam perlu mengevaluasi kembali posisi remaja sebagai suatu kelompok usia
berikut ciri-cirinya, dikaitkan dengan sifat-sifat manusiawi dan alamiah yang
seharusnya ada pada diri manusia di setiap fase usianya.
Kajian yang kritis atas fase usia remaja
memperlihatkan bahwa kelompok usia ini berikut ciri-cirinya, sebagaimana yang
dipahami oleh masyarakat modern, tidaklah bersifat natural. Artinya, pola
pertumbuhan manusia yang alamiah sebenarnya tidak membuka peluang bagi
terbentuknya kelompok usia remaja seperti yang kita pahami sekarang. Adanya
fase usia remaja pada jaman modern ini sebetulnya bersumber dari penundaan
kedewasaan yang dipaksakan oleh masyarakat.
Bekenaan dengan ini Tanner mengajukan
pertanyaan, ”Apakah ketegangan dan kecemasan pada masa akil baligh itu
ditimbulkan oleh alam atau dipaksakan oleh masyarakat?” Ia kemudian menjawab
sendiri pertanyaan tadi, ”Jawabannya tampaknya adalah bahwa ketegangan dan
kecemasan tadi dipaksakan oleh masyarakat dalam negara yang sudah maju, sebab
jadwal waktu masyarakat tampaknya tidaklah sinkron dengan jadwal waktu
pertumbuhan alamiah manusia.” Jadi, tampak jelas di sini bahwa gejolak masa
remaja terjadi karena masyarakat pada negara yang sudah maju telah mengubah
jadwal waktu pertumbuhan manusia sesuai dengan kepentingannya, sehingga
bertentangan dengan jadwal alamiah yang dimiliki remaja tadi. Dengan kata lain,
sifat labil serta gejolak masa remaja merupakan suatu produk kultural, dan
tidak bersumber pada sifat-sifat natural manusia.
Secara alamiah setiap anak seharusnya
sudah menjadi dewasa pada saat baligh, atau tak lama setelah baligh, tapi
masyarakat modern mempunyai jadwal yang berbeda mengenai kapan seharusnya
seorang anak menjadi dewasa. Masyarakat kemudian memaksakan pemunduran jadwal
kedewasaan anak sedemikian rupakarena mereka harus melewati masa pendidikan
formal yang panjang serta dikarenakan beberapa faktor lainnya sementara pada
saat yang sama jadwal alamiahnya pun tetap berjalan sebagaimana biasa. Jadi,
bukannya menyesuaikan diri dengan jadwal alamiah, masyarakat modern memilih
untuk memaksakan jadwal baru yang mereka anggap baik. Hal inilah yang kemudian
menjadi pemicu gejolak pada remaja modern sebagaimana akan dijelaskan lebih
jauh nantinya.
Tanner melanjutkan penjelasannya, ”Pada
masyarakat primitif, tahun-tahun masa kanak-kanak memberikan segala waktu
belajar yang diperlukan orang agar dapat menyesuaikan diri dengan
kebudayaannya. Akibatnya, kedewasaan seksual dan kedewasaan sosial dicapai
hampir bersamaan. Selang waktu antaranya paling lama hanyalah dua atau tiga
tahun saja.” Sejarah membuktikan bahwa pada masa-masa yang lalu, remaja seperti
yang kita pahami sekarang sama sekali tidak ada. Sarlito Wirawan Sarwono, dalam
bukunya Psikologi Remaja, juga menyatakan hal senada. Konsep remaja
tidak dikenal pada masa-masa yang lalu. Beliau mengatakan,
“Walaupun konsep tentang anak sudah dikenal sejak
abad ke-13, tetapi konsep tentang remaja sendiri baru dikenal secara meluas dan
mendalam pada awal abad ke-20 ini saja dan berkembang sesuai dengan kondisi
kebudayaan misalnya karena adanya pendidikan formal yang berkepanjangan, karena
adanya kehidupan kota besar, terbentuknya ‘keluarga-keluarga’ batih sebagai
pengganti keluarga-keluarga besar …”
Jadi,
perkembangan kebudayaan telah menunda kedewasaan anak dan menciptakan realitas
kelompok usia yang baru, yaitu remaja, yang merupakan peralihan antara kelompok
usia anak-anak dan dewasa. Pengamatan atas realitas baru ini kemudian
melahirkan konsep tentang remaja sebagaimana yang dipahami masyarakat sekarang
ini. Hanya saja, realitas baru yang dibentuk oleh kebudayaan modern ini rupanya
juga ikut menyebabkan munculnya berbagai persoalan serta krisis berkepanjangan
pada anak usia belasan tahun. Seperti
yang dikatakan Ahmad Faqih, kemajuan sains modern telah memberikan kontribusi
terhadap munculnya diskrepansi dan dehumanisasi.
Pada
masa lalu serta pada masyarakat primitif yang belum bersentuhan dengan
kebudayaan modern, anak-anak memperoleh status kedewasaan mereka tidak lama
setelah terjadinya puber. Anak-anak ini, dengan cara yang berbeda-beda, telah
dipersiapkan secara psikologis dan sosial untuk memahami dan menerima
kedewasaan mereka pada awal atau pertengahan usia belasan tahun mereka. Bahkan,
masyarakat-masyarakat primitif pada umumnya memiliki upacara tersendiri untuk
’melantik’ anak-anak mereka sebagai orang dewasa. Dengan demikian, anak-anak
itu mengetahui dan mengalami momen kedewasaan sosial mereka secara tegas,
setegas momen kedewasaan biologis yang mereka rasakan di masa puber. Yang
terpenting dari itu semua, remaja-remaja pada masyarakat primitif tidak
mengalami gejolak serta krisis seperti yang dialami remaja-remaja modern.
Ada beberapa bukti dari masyarakat
primitif yang bisa dihadirkan di sini. Penelitian antropologis oleh Margaret
Mead di kepulauan Samoa dan Papua memperlihatkan bahwa “anak laki-laki menjadi
pria dewasa dan anak wanita menjadi wanita dewasa tanpa mengalami kecemasan dan
kesukaran emosional yang di Amerika dianggap tak terhindarkan.” Orang-orang
Indian di benua Amerika serta suku-suku primitif di Afrika Selatan juga
mempunyai upacara khusus untuk melantik anak-anak mereka menjadi orang dewasa. Bahkan
orang-orang Yahudi modern masih memelihara upacara Bar Mitzvah di
sinagog-sinagog untuk mengangkat secara resmi anak-anak lelaki mereka yang
berusia 13 tahun (12 tahun untuk anak-anak perempuan) menjadi orang dewasa.
Tidak terjadinya gejolak emosi yang
menonjol pada masyarakat primitif di atas adalah disebabkan oleh adanya
pemberian status sosial yang jelas di usia dini di masa-masa awal pubertas
mereka di samping adanya persiapan psikologis anak pada masa-masa sebelumnya.
Sarlito Wirawan Sarwono juga menegaskan dalam bukunya bahwa remaja yang
mendapat status sosial yang jelas di usia dini biasanya tidak mengalami gejolak
yang menonjol. ”Pengalaman menunjukkan bahwa remaja yang telah mendapat status
sosialnya yang jelas dalam usia dini, tidak menampakkan gejolak emosi yang
terlalu menonjol seperti rekan-rekannya yang lain yang harus menjalani masa
transisi dalam tempo yang cukup panjang,” tulisnya.
Berdasarkan semua pemaparan dan
fakta-fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelabilan serta gejolak masa
remaja yang berlebihan adalah realitas masyarakat modern yang merupakan dampak
dari perubahan budaya. Gejolak dan krisis ini terjadi karena masyarakat serta
kebudayaan pada hari ini telah memundurkan jadwal kedewasaan anak di luar dari
jadwal alamiah yang dimilikinya. Pada saat puber (sekitar umur 12 tahun), anak
mengalami kedewasaan biologis yang ditandai oleh mimpi basah (wet dreaming)
dan berkembangnya organ-organ seksual. Dengan adanya kedewasaan biologis ini,
remaja memiliki kemampuan biologis yang sama dengan orang-orang dewasa lainnya;
ia dapat menikah dan mempunyai anak.
Bersamaan dengan masuknya seseorang ke fase kedewasaan biologis, lewat pubertas, hasrat serta kebutuhan untuk menjadi dewasa secara psikologis dan sosial juga muncul. Dipisahkan dan ditundanya kedua jenis kedewasaan yang terakhir ini, yaitu kedewasaan psikologis dan sosial, dari kedewasaan biologis telah menyebabkan kebingungan, kegamangan, serta pada gilirannya gejolak dan krisis pada diri remaja (lihat Bagan 2). Gejolak tersebut terjadi karena pemisahan serta penundaan tadi bertentangan dengan proses alamiah yang ada pada diri seseorang. Oleh karena itu, tugas utama Psikologi Islam adalah mencari jalan agar pertumbuhan remaja bisa kembali berlangsung secara sehat berdasarkan proses alamiahnya, tanpa harus meninggalkan fase kebudayaan modern dan kembali ke kebudayaan primitif. Dengan kata lain, Psikologi Islam perlu menarik dan merevitalisasi nilai-nilai lama yang lebih alamiah, positif, dan Islami untuk memberi solusi yang terbaik bagi pertumbuhan remaja di dunia modern.
Bersamaan dengan masuknya seseorang ke fase kedewasaan biologis, lewat pubertas, hasrat serta kebutuhan untuk menjadi dewasa secara psikologis dan sosial juga muncul. Dipisahkan dan ditundanya kedua jenis kedewasaan yang terakhir ini, yaitu kedewasaan psikologis dan sosial, dari kedewasaan biologis telah menyebabkan kebingungan, kegamangan, serta pada gilirannya gejolak dan krisis pada diri remaja (lihat Bagan 2). Gejolak tersebut terjadi karena pemisahan serta penundaan tadi bertentangan dengan proses alamiah yang ada pada diri seseorang. Oleh karena itu, tugas utama Psikologi Islam adalah mencari jalan agar pertumbuhan remaja bisa kembali berlangsung secara sehat berdasarkan proses alamiahnya, tanpa harus meninggalkan fase kebudayaan modern dan kembali ke kebudayaan primitif. Dengan kata lain, Psikologi Islam perlu menarik dan merevitalisasi nilai-nilai lama yang lebih alamiah, positif, dan Islami untuk memberi solusi yang terbaik bagi pertumbuhan remaja di dunia modern.