Makalah Pernikahan Jarak Jauh Menurut Hukum Islam Full (BAB II)
PEMBAHASAN
A.
Umum
Nikah atau perkawinan ialah akad yang
menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
bukan muhrim sehingga menimbulakn hak dan kewajiban antara keduannya. Menurut
UU RI Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang tidak menikah.
Larangan tidak menikah terdapat dalam Al
Qur’an surat Al Hadid ayat 27 yang artinya “Kemudian Kami iringi di belakang
mereka dengan Rosul-Rosul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa Putra Maryam ;
dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang
mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-ada RAHBANIYAH
padahal Kami tidak mewajibkan kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adanya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya
dengan pemeliiharaan yang semestinya. Maka Kami berikan pada orang-orang yang
beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang
fasik.“ Rahbaniyah adalah tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri
dalam biara. Rosulullah saw. bersabda, “Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi
wanita, maka barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk umatku.”
(HR. Muslim No. 1401).
Anjuran untuk menikah terdapat dalam Al
Qur’an surat Ar Rum ayat 21 yang artinya “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.“
B.
Hukum Nikah
Hukum nikah ada 4, yaitu:
- Jaiz adalah boleh (merupakan dasar dari hukum nikah).
- Sunnah adalah bagi orang yang berkehendak dan cukup belanjanya (nafkah dan lain-lain).
Sabda
Nabi Muhammad saw. yang artinya “Sesungguhnya
Allah Ta’ala telah menggantikan kependetaan itu dengan agama yang lurus dan
lapang.“
Abu
Abbas berkata, “Tidak tercapai
kesempurnaan orang beribadah sebelum ia kawin terlebih dahulu.“
3. Wajib adalah bagi orang yang cukup mempunyai
nafkah dan khawatir akan terjerumus maksiat.
4. Makruh adalah bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah, namun sudah
punya hasrat menikah yang kuat
C.
Tujuan Nikah
Tujuan menikah adalah :
1. Mengikuti Sunnah Rosul
Sabda Nabi saw. yang artinya “Ada empat
macam di antara sunnah pada Rosul yakni : berinai, memakai wangi-wangian,
menggosok gigi dan menikah.“
2. Membentuk keluarga sakinah, mawadah, dan
warohmah (bahagia lahir dan batin) yang dapat terbina apabila masing-masing
anggota keluarga melaksanakan fungsinya. Sebagaimana tersebut dalam Surat Ar
Rum ayat 21 dan dalam UU RI Nomor 1 Tahun 1974.
3. Untuk memenuhi kebutuhan biologis yang
diridhoi Allah swt.
4. Untuk memperoleh keturunan yang sah.
D.
Rukun Nikah
Pengertian rukun yaitu sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud
kecuali dengannya. Rukun
nikah ada 5, yaitu :
1. Calon Suami
2. Calon Istri
3. Sighat akad (ijab qabul)
4. Wali mempelai perempuan
Sabda Nabi saw yang artinya
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahan itu batal
(tidak sah).“ (HR. Empat orang ahli hadist kecuali Nasa’i).
5. Dua orang saksi
Sabda Rosulullah saw. yang
artinya “Tidak sah menikah melainkan dengan walinya dan dua orang saksi yang
adil.“
E. Akad Nikah
Ketika
taaruf antara ikhwan dan akhwat sudah semua disepakati, maka disunahkan untuk
segera mengkhitbahnya, dan segera dilangsungkan akad nikah untuk menghindari
fitnah. Perlu kita ketahui bahwa dalam akad nikah hal-hal yang disyariatkan dan
wajib ada adalah :
1.
Adanya suka
sama suka antara kedua calon mempelai
2.
Adanya Wali
3.
Adanya Saksi
4.
Adanya Mahar
5.
Adanya Ijab
Qabul
Dan menurut sunnah, sebelum akad nikah
dimulai, terlebih dahulu diadakan khutbah yang dinamakan ”khutbatun
nikah”.
Suka sama suka antara kedua calon mempelai
adalah sebuah keharusan, karena mereka berdua yang akan menjalani hidup berumah
tangga maka dibutuhkan keikhlasan diantara keduanya. Maka taaruf sebelum
pernikahan dan melihat calon sebelum pernikahan sangat dianjurkan
Wali sebagaimana kita tahu adalah ayah
dari calon mempelai wanita yang seagama, jika tidak ada maka bisa digantikan
oleh kakak tertua yang laki-laki, atau jika memang sudah tidak ada sama sekali
orang yang bisa dijadikan wali, maka diambilah wali hakim Wali hakim adalah
wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya,
yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah dengan syarat
sudah tidak ada lagi yang bisa mewakili atau menjadi wali bagi calon mempelai
wanita.
Saksi
berfungsi sebagai alat bukti apabila ada pihak ketiga yang meragukan perkawinan
tersebut. Juga mencegah pengingkaran oleh salah satu pihak. Syarat sebagai
saksi nikah adalah laki-laki, muslim, adil, balig, tidak terganggu ingatan dan
tidak tuna rungu. Saksi nikah
minimal harus dua dan hadir serta menyaksikan secara langsung akad nikah, menandatangani
akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.
Mahar merupakan pemberian seorang
laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak
milik istri secara penuh.
Dalam masalah mahar, wajib hukumnya
seorang lelaki memuliakan wanita dan memberikan sesuatu yang paling bagus
menurut kemampuannya, dan bagi wanita boleh meminta mahar kepada calon yang
akan menikahinya, namun lebih baik kalau mahar yang diminta itu yang mudah di
dapat dan tidak memberatkan calon suaminya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Wanita yang paling agung barakahnya, adalah
yang paling ringan maharnya” (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad
yang shahih).
Namun
jika calon suami ingin memberi lebih kepada calon istrinya, itu tidak menjadi
masalah, asal dia rela dan ikhlas dengan pemberian tersebut, seperti yang
tertulis dalam Al Qur’an.
“Berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu
nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan …” (QS An-Nissaa :4).
Ijab
adalah ungkapan pertama kali yang diucapkan wali wanita dan Qobul adalah
ungkapan penerimaan yang diucapkan oleh calon suami. Ijab qobul boleh dilakukan
dengan bahasa, ucapan dan ungkapan apa saja yang tujuannya diketahui untuk
menikah. Hasil dari akad nikah ini kemudian dicatat oleh penghulu (KUA) untuk
dicatatkan dalam berita acara pernikahan dan masing-masing akan diberikan buku
nikah suami dan istri.
1.
Dilema Pernikahan Pada Masa Perkembangan Teknologi
Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan
teknologi, muncul permasalahan baru dalam soal perkawinan yaitu tentang sahnya
akad nikah yang ijab qabulnya dilaksanakan melalui telepon. Ada contoh kasus
yaitu ada seorang ayah yang ingin menikahkan anaknya, tetapi perjalanan seorang
ayah tersebut masih tertunda di Jakarta sedangkan akad nikah yang dilaksanakan
di Yogyakarta akan segera dilaksanakan karena rukun nikah sudah terpenuhi
kecuali wali perempuan. Ayah dari mempelai perempuan tetap bersikeras ingin
menikahkan anaknya sendiri tanpa diwakilkan. Jalan keluar yang diambil yaitu akad
nikah dilaksanakan dengan menggunakan video
call atau 3G. Dari kasus tersebut, timbul suatu keraguan apakah pernikahan
tersebut sah atau tidak sehingga perlu dilakukan akad nikah ulang.
Menentukan sah atau
tidaknya suatu nikah,
tergantung pada dipenuhi atau tidaknya
rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon
dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi,
wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi
syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan
untuk dipenuhi. Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada atau
tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan
perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak.
Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar.
Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa
taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para
saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra
lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa
yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi
di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara
Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam.
Oleh karena itu, nikah lewat telepon itu
tidak sah dan tidak dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat
kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan
syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil
syara’ sebagai berikut :
2. Nikah itu termasuk ibadah. Oleh karena
itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
“Pada
dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat
(merekayasa aturan sendiri).
3.
Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad
yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang
berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’
ayat : 21.
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang
kuat.”
4. Nikah lewat telepon mengandung risiko
tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar atau
khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun
dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai
dengan hadist Nabi atau kaidah fiqih.
“Tidak
boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.”
Dan
hadis Nabi
“Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak
meragukan engkau.“
Menghindari mafsadah (resiko) harus
didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah”
Peristiwa akad nikah lewat telepon
mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat. Contoh lain yaitu pada
tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika
Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin
Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami Drs. Ario sutarto yang sedang
bertugas belajar di program Pascasarjana Indiana University Amerika Serikat,
sedangkan calon istri adalah Dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu.
Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama belajar dari
tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah
mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya
calon mempelai laki-laki dengan alasan tiadanya biaya perjalanan pulang pergi
Amerika Serikat-Jakarta dan studinya agar tidak terganggu, maka disarankan oleh
pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon
suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab qobul)
nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah
tinggal sehari belum juga datang surat taukil itu, padahal surat undangan untuk
walimatul urs sudah tersebar, maka
Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu
yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain
dengan melengkapi pesawat telepon di rumahnya dengan alat pengeras suara
(mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder dan video. Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar
semua orang yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon
suami di Amerika Serikat itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik,
artinya semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat
mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali mempelai putri
dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki, sedangkan alat perekam itu
dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya akad
nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan lewat
telepon, tetapi karena surat taukil dari calon suami belum juga datang pada
saat akad nikah dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan
tidak bersedia mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah, karena
menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya
mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi
yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan
muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara
lain Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI
pusat, dan Prof. DR. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan
tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak
memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu
termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa
menimbulkan confused (keraguan) dalam
hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna
menurut hukum Islam.
Ada
ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua
manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai
suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon
tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan
cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.
Proses pernikahan dalam Islam mempunyai
aturan-aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun
dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul, sedang
syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini
semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur
penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu calon suami atau wakilnya harus
hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di
tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad
pernikahan.
Ketika
seseorang menikah lewat telpon, maka banyak hal yang tidak bisa terpenuhi dalam
akad nikah lewat telpon tadi, diantaranya : tidak adanya dua saksi, tidak
adanya wali perempuan, dan tidak ketemunya calon pengantin ataupun wakilnya.
Ini yang menyebabkan akad pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
Seandainya
dia menghadirkan dua saksi dan wali perempuan dalam akad ini, tetap saja akad
pernikahan tidak sah karena kedua saksi tersebut tidak menyaksikan apa-apa kecuali
orang yang sedang menelpon, begitu juga wali perempuan tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Suara yang ada ditelpon itu belum tentu suara calon suami
atau istri. Ringkasnya bahwa akad
pernikahan melalui telpon berpotensi untuk salah, atau rentan terjadinya
penipuan dan manipulasi.
Disarankan
siapa saja yang ingin menikah jarak jauh, untuk mewakilkan kepada orang yang
dipercaya. Seandainya dia sebagai perempuan yang bekerja di luar negri, maka
cukup walinya sebagai wakil darinya untuk menikahkan dengan lelaki yang
diinginkannya, dan harus ada dua saksi yang hadir. Bagi seorang laki-laki yang
ingin menikah dengan perempuan jarak jauh, maka hendaknya dia mewakilkan
dirinya kepada orang yang dipercaya, seperti adik, kakak, atau saudaranya
dengan dihadiri wali perempuan dan kedua saksi. Seandainya ada laki-laki dan
perempuan yang ingin menikah di luar negeri dan jauh dari wali perempuan, maka
wali tersebut bisa mewakilkan kepada orang yang dipercayai. Wakil dari
wali tersebut beserta kedua saksi harus hadir di dalam akad pernikahan. Semua
proses pemberian kuasa untuk mewakili hendaknya disertai dengan bukti-bukti
dari instasi resmi terkait, supaya tidak disalahgunakan.
Masalah jarak yang memisahkan antara para
pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah solusinya. Baik yang
terpisah adalah pasangannya atau pun walinya, atau bahkan ketiga pihak yaitu
calon suami, calon isteri dan wali semua terpisah jarak. Toh tetap masih
dimungkinkan adanya akad nikah. Tetapi yang solusinya bukan nikah jarak jauh,
melainkan solusinya adalah taukil atau perwakilan. Seorang ayah kandung dari
anak gadis yang seharusnya menjadi wali dalam akad nikah dan mengucapkan ijab,
dibenarkan dan dibolehkan untuk menunjuk seseorang yang secara syarat memenuhi
syarat seorang wali. Dan penunjukannya boleh dilakukan secara jarak jauh, baik
lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon SLI, bahkan boleh lewat SMS, chatting, e-mail, atau Video Conference
3.5 G.
Cukup
ditetapkan siapa yang akan menjadi wakil dari wali, yang penting tinggalnya
satu kota dengan calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di
satu majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki. Si wakil wali mengucapkan
ijab yang bunyinya kira-kira: “Saya sebagai wakil dari fulan (nama ayah si gadis)
menikahkan kamu (nama calon suami) dengan fulanah binti fulan (nama gadis dan
nama ayahnya) dengan mahar sekian sekian.” Lalu calon suami menjawab (qabul),
kira-kira bunyinya: “Saya terima nikahnya fulanah binti fulanah dengan mahar
tersebut tunai.” Dan akad itu sudah sah.
Dan
lebih menarik lagi, ternyata perwakilan itu bukan saja boleh dilakukan oleh
wali kepada wakilnya, tetapi calon suami pun boleh pula mewakilkan dirinya
kepada orang lain. Sehingga namanya menjadi wakil calon suami yang akan melakukan
proses qabul.
Misalnya
seorang calon suami tidak mungkin bisa datang ke negara di mana ayah si gadis
tinggal, sementara ayah di gadis pun tidak mau mewakilkan dirinya kepada orang
lain. Berarti calon suami yang mengalah dan mewakilkan dirinya kepada seseorang
yang tinggal di satu kota dengan ayah di gadis. Proses pewakilannya sama saja, boleh jarak jauh dan menggunakan berbagai
teknologi informasi modern. Asalkan jangan pakai telepati saja, tidak sah
karena tidak ada bukti otentik. Lalu si wakil calon suami melakukan akad nikah
dengan ayah si gadis dan urusannya selesai.
Bahkan
yang lebih fantastis lagi, ternyata kedua belah pihak pun masih dibenarkan
untuk mengajukan wakil masing-masing. Sehingga yang melakukan akad nikah justru
masing-masing wakilnya saja.
Maka
pernikahan jarak jauh bukanlah akad nikah dilakukan lewat telepon SLI atau yang
lebih murah pakai VoIP, namun yang yang dilakukan secara jarak jauh adalah
proses mewakilkannya. Sedangkan akad nikahnya harus dilakukan dalam satu
majelis, face to face, meski hanya
oleh wakil dari masing-masing. Untuk itu, harus ada saksi yang memenuhi syarat.
Syaratnya mudah dan sederhana, tidak harus keluarga, famili atau kerabat.
Bahkan tidak kenal pun tidak apa-apa. Yang penting saksi adalah dua orang yang
beragama Islam, laki-laki, berakal, sudah baligh, adil dan merdeka (bukan
budak). Dan syarat saksi ini
kira-kira sama dengan syarat orang yang berhak untuk menjadi wakil dari wali. Dalam syariat Islam, akad nikah tidak
terjadi antara seorang calon suami dengan calon isteri. Melainkan antara ayah kandung seorang wanita dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka tidak ada akad nikah kalau tidak
melibatkan keduanya bersama.
Sama dengan jual beli, kita diharamkan membeli barang dari orang yang bukan pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah atau dari pencuri. Kita hanya boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang tanah, jangan mau kalau orang yang mengaku sebagai pemilik tanah itu tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya, misalnya SHM atau paling tidak girik. Sebab kalau kita asal beli begitu saja, jangan-jangan tanah itu sudah ada yang punya. Kita akan terlibat sengketa tanah tak berkesudahan nantinya.
Begitu juga ketika menikahkan anak, kita harus 'membeli' langsung dari 'pemiliknya', yaitu ayah kandung. Bukan maksud kami menyamakan seorang wanita dengan barang, tetapi ini sekedar ilustrasi yang memudahkan. Kita ibaratkan seorang wanita adalah barang yang dimiliki oleh ayah kandungnya. Maka kalau kita mau 'menikahinya', kita harus menyelesaikan akad dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan orang lain yang bukan pemilik.
Adapun orang lain yang bukan ayahnya, lalu tiba-tiba mendadak mengangkat diri menjadi wali, maka dia telah bertindak sebagai 'wali gadungan'. Akad nikah yang dilakukannya 100% tidak sah. Karena pada hakikatnya dia bukan wali sedangkan wanita itu masih punya wali yang sah. 'Wali gadungan'adalah pencuri yang akan disiksa di neraka nanti, karean telah menyerobot hak milik orang lain. Bahkan bukan sekedar mencuri, dia akan disiksa pedih karena telah menghalalkan perzinaan. Dia telah menipu orang awam dengan fatwa sesatnya.
Syarat mutlak dari sebuah pernikahan adalah akad antara ayah kandung pengantin wanita dengan seorang calon suami.Dalam implementasinya, seorang ayah kandung boleh saja meminta orang lain untuk bertindak mewakili dirinya, namun harus dengan penyerahan wewenang secara sah dan resmi. Tidak boleh dirampas begitu saja. Sehingga pernikahan jarak jauh tetap bisa dilakukan. Maksudnya, meski ayah kandung tidak ikut dalam akad nikah, dia boleh mewakilkan otoritasnya kepada orang lain yang memenuhi syarat sebagai wali untuk bertindak atas nama dirinya menikahkan puterinya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan nikah jarak jauh adalah merampas hak seorang ayah kandung sebagai wali yang sah, maka hukumnya haram.
Tidak ada masalah untuk melakukan nikah jarak jauh, di mana pengantin laki-laki dan pengantin perempuan tidak saling bertemu. Sama sekali tidak ada masalah karena akad nikah atau ijab kabul dalam syariah Islam memang tidak terjadi antara pengantin laki dan pengantin perempuan. Ijab kabul terjadi antara pengantin laki-laki dengan ayah kandung atau wali dari pengantin perempuan. Maka cukuplah si pengantin laki-laki dan calon mertuanya itu saja yang mengucapkan ijab kabul. Asalkan ijab kabul itu disaksikan oleh dua orang laki-laki muslim yang sudah aqil baligh, akad itu sudah sah.
Sama dengan jual beli, kita diharamkan membeli barang dari orang yang bukan pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah atau dari pencuri. Kita hanya boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang tanah, jangan mau kalau orang yang mengaku sebagai pemilik tanah itu tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya, misalnya SHM atau paling tidak girik. Sebab kalau kita asal beli begitu saja, jangan-jangan tanah itu sudah ada yang punya. Kita akan terlibat sengketa tanah tak berkesudahan nantinya.
Begitu juga ketika menikahkan anak, kita harus 'membeli' langsung dari 'pemiliknya', yaitu ayah kandung. Bukan maksud kami menyamakan seorang wanita dengan barang, tetapi ini sekedar ilustrasi yang memudahkan. Kita ibaratkan seorang wanita adalah barang yang dimiliki oleh ayah kandungnya. Maka kalau kita mau 'menikahinya', kita harus menyelesaikan akad dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan orang lain yang bukan pemilik.
Adapun orang lain yang bukan ayahnya, lalu tiba-tiba mendadak mengangkat diri menjadi wali, maka dia telah bertindak sebagai 'wali gadungan'. Akad nikah yang dilakukannya 100% tidak sah. Karena pada hakikatnya dia bukan wali sedangkan wanita itu masih punya wali yang sah. 'Wali gadungan'adalah pencuri yang akan disiksa di neraka nanti, karean telah menyerobot hak milik orang lain. Bahkan bukan sekedar mencuri, dia akan disiksa pedih karena telah menghalalkan perzinaan. Dia telah menipu orang awam dengan fatwa sesatnya.
Syarat mutlak dari sebuah pernikahan adalah akad antara ayah kandung pengantin wanita dengan seorang calon suami.Dalam implementasinya, seorang ayah kandung boleh saja meminta orang lain untuk bertindak mewakili dirinya, namun harus dengan penyerahan wewenang secara sah dan resmi. Tidak boleh dirampas begitu saja. Sehingga pernikahan jarak jauh tetap bisa dilakukan. Maksudnya, meski ayah kandung tidak ikut dalam akad nikah, dia boleh mewakilkan otoritasnya kepada orang lain yang memenuhi syarat sebagai wali untuk bertindak atas nama dirinya menikahkan puterinya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan nikah jarak jauh adalah merampas hak seorang ayah kandung sebagai wali yang sah, maka hukumnya haram.
Tidak ada masalah untuk melakukan nikah jarak jauh, di mana pengantin laki-laki dan pengantin perempuan tidak saling bertemu. Sama sekali tidak ada masalah karena akad nikah atau ijab kabul dalam syariah Islam memang tidak terjadi antara pengantin laki dan pengantin perempuan. Ijab kabul terjadi antara pengantin laki-laki dengan ayah kandung atau wali dari pengantin perempuan. Maka cukuplah si pengantin laki-laki dan calon mertuanya itu saja yang mengucapkan ijab kabul. Asalkan ijab kabul itu disaksikan oleh dua orang laki-laki muslim yang sudah aqil baligh, akad itu sudah sah.
Bagi
seorang wanita, tidak ada nikah tanpa wali. Dan wali adalah ayah kandungnya
yang sah. Hanya di tangan ayah kandung sajalah seorang wanita boleh dinikahkan.
Seandainya si ayah kandung tidak mampu menghadiri akad nikah anak gadisnya,
maka dia boleh mewakilkan dirinya kepada orang lain yang dipercayainya. Namun
hak untuk menjadi wali tidak boleh ''dirampas'' begitu saja dari tangan ayah
kandung. Bila sampai perampasan itu terjadi, lalu wali gadungan itu menikahkan
anak gadis itu, maka akad nikah itu tidak sah. Kalau mereka melakukan hubungan
suami isteri, hukumnya zina.
Yang
lebih menarik, justru kehadiran petugas pencatat nikah yang biasanya memimpin
ijab qabul, sama sekali tidak masuk dalam urusan sah atau tidaknya pernikahan. Meski
tugas itu didapat dari pemerintah secara resmi, namun tanpa kehadirannya akad
nikah bisa tetap berlangsung. Sementara anggapan sebagian masyarakat kita,
petugas KUA ini seolah menjadi tokoh inti dari sebuah ijab qabul. Padahal tugas
hanya sekedar mencatat secara administratif saja. Hadir atau tidak hadir, tidak
ada urusan dengan sahnya sebuah akad nikah. Namun demikian, demi tertibnya
administrasi negara, sebaiknya petugas ini dihadirkan juga, akan akad nikah itu
secara resmi juga tercatat dengan baik di pemerintahan.
Memang
benar apa yang anda katakan, sebuah pernikahan itu harus dilakukan oleh wali dari
pihak perempuan dan pihak mempelai laki-laki. Mereka berdua melafadzkan ijab
dan qabul yang disaksikan oleh minimal 2 orang laki-laki muslim. Tanpa adanya
keempat orang itu, nikahnya menjadi tidak sah. Karena tidak memenuhi ketentuan
dan persyaratan sebuah pernikahan. Namun yang perlu diperjelas di sini, bahwa
seorang wali diperkenankan untuk meminta orang lain untuk mewakili tugas dan
wewenang. Orang lain yang ditunjuk ini, tentu saja harus benar-benar ditunjuk
dalam arti kata yang sesungguhnya.
Dalam
masyarakat, seringkali kita lihat orang tua mempelai wanita meski hadir dalam
acara akad nikah itu, meminta kepada petugas pencatat nikah (KUA) untuk menjadi
wakilnya. Sehingga yang mengucapkan ijab bukan orang tua mempelai wanita,
melainkan petugas KUA. Petugas itu tidak boleh mengambil alih wewenang sebagai
wali mempelai wanita, kecuali berdasarkan permintaan dari si wali tersebut. Demikian
juga, mempelai laki-laki pun diperkenankan untuk meminta orang lain menjadi
wakil dirinya, dalam akad nikah. Baik dirinya hadir dalam acara akad itu atau
pun tidak. Namun yang kedua ini memang kurang lazim terjadi. Tapi secara hukum,
bila memang hal itu yang diingininya, hukum tetap sah. Seluruh ulama salaf dan
khalaf sepakat membolehkan masalah mewakilkan wali nikah ini secara bulat. Baik
Mazhab Abu Hanifah, Malik, As-Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Bahkan mazhab Abu
Hanifah lebih jauh lagi dalam masalah ini, yaitu seorang wanita boleh menjadi
wakil dari ayah kandungnya dalam pernikahan dirinya.
Jumhur
ulama mengatakan bahwa kebolehan mewakilkan wewenang kepada orang lain (tawkil)
dalam menikahkan pasangan pengantin ini berlaku juga dalam hampir semua hal
yang terkait dengan masalah muamalah. Seperti jual beli, sewa menyewa, gadai,
salaf, istishna' dan lainnya.
Sedangkan
yang terkait dengan ibadah mahdhah
dan bersifat langsung kepada Allah SWT, tidak berlaku kecuali bila ada dalil.
Shalat dan puasa tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, namun ibadah haji
termasuk rincian manasiknya seperti melontar jamarat dan lainnya, dimungkinkan
untuk diwakilkan. Lantaran ada dalil yang tegas atas hal itu. Termasuk yang
boleh diwakilkan adalah menyembelih qurban yang dipersembahkan kepada Allah SWT
di hari Raya Qurban.
Pada
dasarnya menurut para ulama, tidak disyaratkan ada persaksian dalam proses
pemberian wewenang untuk menjadi wakil wali nikah. Namun mereka menganjurkan
untuk dihadirkan saksi-saksi, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai orang yang
sudah menyerahkan wewenang kepada wakilnya, tiba-tiba mengingkarinya.
Islam Memberi Kemudahan
Namun Sesuai Prosedur. Kemungkinan menunjuk wakil dalam akad nikah ini untuk
menjawab masalah nikah jarak jauh, di mana wali mempelai wanita dan mempelai
laki-laki sulit untuk bisa duduk dalam satu majelis.
Daripada
mereka melakukan ijab kabul lewat telepon, akan lebih utama bila secara sah
mereka meminta orang lain mewakili mereka. Sebab ijab kabul jarak jauh ini
masih meninggalkan banyak perdebatan. Lantaran ada keharusan disaksikan oleh
dua orang saksi muslim, laki-laki, yang sudah aqil dan baligh. Sesuatu yang
sulit dikerjakan bila dilakukan dengan jarak jauh dan bukan dalam satu majelis.
Maka
yang bisa kita simpulkan adalah bahwa setiap personal yang terkait dalam sebuah
akad nikah boleh mewakilkan wewenangnya kepada orang lain. Dalam hal ini adalah
calon suami dan mertuanya. Keduanya berhak meminta orang lain untuk mewakili
dirinya dalam sebuah akad.
Sedangkan
saksi nikah yang dua orang itu, memang tidak tergantikan, tetapi saksi boleh
siapa saja, asalkan muslim, laki, aqil, baligh, merdeka dan adil.
Nikah
jarak jauh yang Anda impikan itu mungkin saja terjadi, malahan sudah terjadi,
bahkan seringkali terjadi. Di mana mempelai laki-laki dan wali pihak perempuan
dipisahkan jarak yang sangat jauh, sementara akad nikah tetap bisa berlangsung
dengan sah sesuai dengan syariat Islam dan juga hukum positif negara.
Benarkah ?
Ya, benar
sekali. Bahkan tidak membutuhkan alat-alat komunukasi canggih paling modern
seperti yang kita kenal di masa sekarang ini. Semua tetap bisa dilakukan di
zaman yang belum ada listrik, telepon dan mesin kendaraan. Syariat Islam telah
memberi sebuah ruang yang memungkinkan semua itu terjadi, bahkan di masa yang
paling primitif sekalipun.
Bagaimana
caranya?
Caranya dengan
taukil…
Taukil adalah
perwakilan wali. Di mana seorang ayah dari wanita memberikan wewenang kepada
seorang laki-laki lain, tidak harus familinya, yang penting muslim dan
dipercaya oleh si ayah, untuk melaksanakan akad nikah puterinya dengan calon
suaminya.
Yang penting, si
wakil wali ini bisa menghadiri acara akad nikah, karena ladafz ijab akan
diucapkannya di depan calon mempelai laki-laki.
Yang lebih
menarik lagi, ternyata yang boleh mewakilkan posisinya kepada orang lain bukan
hanya ayah kandung pihak wanita, tetapi mempelai laki-laki pun masih dibenarkan
untuk memberikan perwakilan dirinya kepada orang lain lagi. Sehingga sebuah
ijab qibul bisa tetap bisa dilakukan tanpa kehadiran wali dan mempelai
laki-laki. Cukup wakil sah dari masing-masing pihak saja yang melakukan akad
nikah. Bahkan pihak pengantin wanita pun juga tidak perlu wajib hadir dalam
akad itu.
Bukankah ini
menarik? Dan sama sekali tidak butuh alat-alat canggih, bukan?
Yang penting,
proses pemberian wewenang sebagai pihak yang mewakili ayah kandung sah dan
dibenarkan secara yakin anpa diperlukan harus ada saksi. Demikian juga dengan
proses pemberian hak sebagai wakil pihak mempelai laki-laki, juga harus benar
dan sah, meski tanpa saksi. Dan pemberian wewenang untuk mewakili ini pun tidak
mengharuskan keduanya duduk dalam satu majelis. Jadi bisa lewat telepon, email,
faks, SMS bahkan chatting.
Akad nikah atau ijab qabul yang dilakukan oleh masing-masing wakil dari kedua belah pihak adalah sebuah bentuk keluwesan sekaligus keluasan syariah Islam. Namun kalau tiba-tiba ada orang mengangkat diri menjadi wakil tanpa ada pemberian wewenang dari yang punya hak yaitu wali atau mempelai laki-laki secara sah, maka orang ini sama sekali tidak berhak melakukan akad nikah. Kalau pun nekat juga, maka nikah itu tidak sah di mata Allah SWT.
Akad nikah atau ijab qabul yang dilakukan oleh masing-masing wakil dari kedua belah pihak adalah sebuah bentuk keluwesan sekaligus keluasan syariah Islam. Namun kalau tiba-tiba ada orang mengangkat diri menjadi wakil tanpa ada pemberian wewenang dari yang punya hak yaitu wali atau mempelai laki-laki secara sah, maka orang ini sama sekali tidak berhak melakukan akad nikah. Kalau pun nekat juga, maka nikah itu tidak sah di mata Allah SWT.