Makalah Tentang Hubungan Agama Dengan Kebudayaan Di Indonesia Full (BAB IV)
ANALISIS DAN KESIMPULAN
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa
perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan
petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul mesjid, surau, dan makam.
System kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk
zoomorphic tidak lagi dibuat. Para seniman ukir kemudian menekuni pembuatan
kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta melahirkan ragam
hias stiliran. Kota-kota mempunyai komponen dan tata ruang baru, bahkan pada
abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Caka dan Hijriah. Akan tetapi,
pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula
kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cunggup makam mengambil
bentuk atap tumpang, seperti mesjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya sudah
dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief candi.
Demikian pula menara mesjid tempat muazin menyerukan azan, seperti menara di
Masjid Menara di Kudus. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa
Timur yang langsing dan tinggi, tetapi detailnya berbeda. Bagian kepalanya
berupa bangunan terbuka, relung-relungnya dangkal karena tidak berisi arca, dan
hiasan relief diganti dengan tempelan piring porselin.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indnesia kala itu,
karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya
seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan
Makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpr dalam
bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan
jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnya dibuat di
Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam
hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di pemakaman
raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang
yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di jawa, juga dapat
dilihat adanya perubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut
ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata menurut pola
tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain, serta pemukiman
penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan,
asal, dan status social.
Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim
mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak kebudayaan di
suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada
kontak dengan kebudayaan lain, atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari
luar. Hubungan antara para pendukung dua kebudayaan yang berbeda dalam waktu
yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan adanya pihak
pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi percampuran unsure-unsur
kedua kebudayaan yang bertemu tersebut. Mula-mula unsure-unsurnya masih dapat
dikenali dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-sifat baru yang
tidak ada dalam kebudayaan induknya. Rupanya proses seperti diuraikan di atas
berulang kali terjadi di Indonesia, termasuk ketika Islam masuk dan berkembang
di Indonesia. Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha,
Prasejarah, dan Islam (kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka
waktu yang panjang, dan bertahap. Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu
terjadi ketegangan serta konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah bagian dari
proses menuju akulturasi. Factor pendukung terjadinya akulturasi adalah
kesetaraan serta kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan
Islam dan pra-Islam. Salah satu contohnya adalah bangunan mesjid. Akulturasi
juga memicu kreativitas seniman, sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang
sebelumnya belum pernah ada, juga way of life baru.
Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan
sehingga terbentuk kebuda
yaan
Indonesia-Islam, maka perlu dipikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini
dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan
pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak
terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah
dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya
kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan. Namun, tetap dengan
cirri-ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya mata
rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata
rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan
yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu
dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam
keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat
Indonesia sendiri.
Hubungan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Nusantara
dengan Persia (Iran) diduga sudah berlangsung sejak abad ke-7 Masehi atau abad
ke-1 Hijriah. Dari hubungan perdagangan ini, kemudian berdampak pada pemikiran
keagamaan terutama sufisme atau tasawwuf dengan tarekat-tarekatnya. Selain itu
berdampak juga pada unsur-unsur kebudayaan. Beberapa tradisi Syi‘ah dan
tarekatnya masih tetap dipelihara oleh kelompok masyarakat tertentu di
Indonesia. Dalam susastra dan bahasa beberapa karya sastra yang berbau Sufi dan
kosa kata Persia diadopsi pada karya sastra Melayu dan kosa kata dalam bahasa
Indonesia.
Mungkin masih banyak lagi unsur kebudayaan lainnya yang belum
terekam dalam kehidupan bangsa Indonesia yang mendapat pengaruh Persia. Semua
ini memerlukan penelitian dari berbagai disiplin ilmu-ilmu humaniora dan
sosial, seperti arkeologi dan sejarah, antropologi, sosiologi, agama,
linguistik, dan kesusasteraan.
Ada satu hal yang patut kita syukuri dalam kehidupan beragama
di Tanah Air Indonesia. Di Tanah Air umat Islam dari berbagai aliran dapat
hidup rukun. Keadaan seperti ini sudah “tercipta” sejak masa awal kedatangan
Islam di Nusantara. Para penyiar agama melakukan penyampaian dengan cara
persuasif dan menyesuaikan dengan budaya setempat, misalnya Wali Sanga
menyampaikan syiar Islam dengan cara menggunakan sarana wayang. Tidak ada
sedikitpun unsur pemaksaan. Sementara itu di belahan dunia lain, kita lihat
bagaimana Libanon, Irak, dan Afghanistan sampai hancur-hancuran sebagai akibat
pertikaian sesama umat Islam yang mungkin disebabkan karena adu domba pihak
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Andito,
1998, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Pustaka
Hidayah: Bandung
Azyumardi
Azra, 1999, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Paramadina:
Jakarta
Badri
Yatim, 2006, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada: Jakarta
Geertz,
Clifford, 1992, Kebudayaan dan Agama, Kanisius: Yogyakarta
Hamka,
1975, Sejarah Umat Islam IV, Bulan Bintang: Jakarta
Hasan
Muarif Ambary, 1998, Menemukan Peradaban Islam: Arkeologi dan Islam di
Indonesia: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Jakarta
Koentjaraningrat,
1980, Pokok-Pokok Antropologi Sosial, Penerbitan Universitas: Jakarta
Mulyono
Sumardi, 1982, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Pustaka Sinar Harapan:
Jakarta
Poerbatjaraka,
R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I, Yayasan Pembangunan: Jakarta
Soerjanto Poespowardoyo, 1986, Pengertian Local Genius
dan Relevansinya Dalam Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa (local genius)”,
Pustaka Jaya: Jakarta