Makalah Tentang Hubungan Agama Dengan Kebudayaan Di Indonesia Full (BAB III)
STUDI KASUS
Keragaman budaya menjadi salah satu ciri utama yang dimiliki
masyarakat Indonesia. Dari zaman ketika kerajaan-kerajaan masih hadir
menghidupi ruang sejarah negeri ini hingga era modern seperti kini, keragaman
itu tetap ada, bahkan nampak semakin bertambah. Ketidaksamaan itu kini tidak
lagi memonopoli perkotaan besar yang biasanya menjadi tempat bermuaranya
berbagai macam budaya dan agama. Di setiap penjuru nusantara ini, telah diisi
dengan berbagai rupa-rupa yang berbeda begitulah Indonesia perjalanan panjang
sebagai sebuah bangsa yang majemuk, membekaskan sebuah citraan pada diri tubuh
multikultur ini. Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai
macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam
gerak-gerak praktis nuansa kehidupan yang ada di dalamnya. Sebut saja misalnya
budaya Islam Jawa.
Gerak hidup Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri
disbanding dengan Islam lainnya di negeri ini, meskipun hal ini tidak mutlak
dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik
tertentu di antara yang lain. Bahkan Gertz seorang antropolog terkenal dunia
sampai melakukan studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk membaca wajah
Islam di Jawa. Dengan sampling masyarakat Islam Mojokuto, Gertz berkesimpulan
bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya, santri, abangan, dan
priyayi. Meskipun banyak mendapat kritik, dalam beberapa hal saya piker Gertz
memang benar. Bukankah studi antropologi memang tidak pernah menyatakan adanya
objektifitas dalam hasil yang diperoleh. Yang kemungkinan bisa muncul adalah
intersubjektifitas dari sebuah fenomena. Begitulah kiranya Gertz yang mampu
membaca Islam Jawa dari sudut pandang yang tak tentu sama dengan kita, dan
lagi-lagi itu membawa kebenarannya sendiri.
Keunikan Islam Jawa menurut tesis Gertz menurut saya terletak
pada gerak spritualitas yang dilakukan oleh Golongan Abangan. Di akar budaya
yang dimiliki oleh golongan ini, kekerasan budaya tidaklah nampak begitu
menonjol. Bahkan dalam pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam diri mereka
terlihat begitu mesra. Baik unsure Islam maupun Jawa, terlihat ada saling
mengerti. Gerusan-gerusan yang mungkin dapat dikatakan sebagai sinkretisme budaya
ini berjalan pelan dan akhirnya menjadi sinergi. Contoh menarik adalah
peringatan tahun baru 1429 hijriah beberapa waktu lalu di daerah Sragen, Jawa
Tengah. Acara menarik itu dilakukan di komplek makam Pangeran Samudera. Seorang
tokoh keramat bagi masyarakat setempat. Sejarah pasti budaya memohon berkah di
tempat ini masih nampak kabur. Yang jelas budaya ini ada sebagai bentuk
akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nuansa kedua unsure ini begitu kental,
bercampur memunculkan satu tradisi baru yang tidak meninggalkan akar rumput
yang dimilikinya.
Acara itu sendiri merupakan ritual pergantian selambu yang
menyelubungi makam Pangeran Samudera. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap
pergantian tahun baru Jawa maupun Islam yang memang diperingati berbarengan
Pergantian selambu makam ini menjadi menarik karena serangkaian ceremonial yang
ada di dalamnya. Setelah selambu menyelubungi makam selama setahun dibuka,
acara dilanjutkan ke Waduk Kedung Ombo. Di waduk yang juga dianggap keramat
ini, selambu tadi dicelupkan, satu lambing penyucian diri seperti halnya tubuh
manusia yang perlu dibersihkan. Ketika selambu telah selesai dibasahi dengan
air Waduk ini, kain inipun segera dibawa kembali ke komplek makam. Biasanya
para warga yang mengharapkan berkah, segera berebut tetesan air selambu yang
baru saja direndam tadi. Tetesan air itu biasanya digunakan untuk mengusap wajah
atau bagian tubuh lainnya.
Ketika sampai kembali ke komplek makam, acara berikut dilanjutkan dengan ritual pembilasan. Air yang digunakan untuk membilas selambu ini, adalah air yang berasal dari tujuh mata air disekitar komplek makam Pangeran Samudera. Tujuh air ini ditempatkan di tujuh tong yang berbeda. Dan secara bergantian ketujuh tong tadi menjadi tempat pembilasan selambu. Acara diakhiri dengan do’a yang bernafaskan Islam, disinilah bentuk akulturasi itu muncul. Ritual semacam ini yang sebelum kedatangan Islam diisi dengan do’a-do’a Hindu atau Budha, setelah Islam dating diganti dengan do’a-do’a yang bersumber dari kitab suci Islam.
Ketika sampai kembali ke komplek makam, acara berikut dilanjutkan dengan ritual pembilasan. Air yang digunakan untuk membilas selambu ini, adalah air yang berasal dari tujuh mata air disekitar komplek makam Pangeran Samudera. Tujuh air ini ditempatkan di tujuh tong yang berbeda. Dan secara bergantian ketujuh tong tadi menjadi tempat pembilasan selambu. Acara diakhiri dengan do’a yang bernafaskan Islam, disinilah bentuk akulturasi itu muncul. Ritual semacam ini yang sebelum kedatangan Islam diisi dengan do’a-do’a Hindu atau Budha, setelah Islam dating diganti dengan do’a-do’a yang bersumber dari kitab suci Islam.