Tata Bahasa Baku Dalam Bahasa Indonesia (BAB II)
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengantar Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia
1.
Kedudukan
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting
di kawasan republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber
pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi : “Kami poetra dan poetri
Indonesia mendjoeng-djoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada
Undang-Undang Dasar 1945 kita yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang
menytakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Inedonesia”. Penting tidaknya suatu
bahasa dapat juga didasari patokan seperti jumlah penutur, luas penyebaran, dan
peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.
Patokan yang pertama, yakni jumlah
penutur, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya mungkin
tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi jika pada jumlah itu
ditambahkan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pertamaatau bahasa kedua, kedudukannya dalam deretan jumlah penutur
berbagai bahasa di Indonesia ada di peringkat pertama. Pertambahan itu
disebabkan oleh berbagai hal. Pertama arus pindah ke kota besar, seperti Jakarta.
Kedua, perkawinan antarsuku sering mendorong orang tua untuk berbahasa
Indonesia dengan anaknya. Hal itu terjadi jika kedua bahasa daerah yang
dipakainya banyak perbedaannya. Ketiga, yang bertalian dengan patokan kedua di
atas, generasi muda golongan warga Negara yang berketurunan asing ada yang
tidak lagi merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya. Keempat, orang tua masa
kini yang sama atau berbeda latar budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk
menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia.
Patokan yang kedua, yakni luas
penyebaran, jelas menempatkan bahasa Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa
kedua, pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ke ujung timur
dan dari pucuk utara sa,pai ke batas selatan negeri kita. Sebagai bahasa asing,
bahasa Indonesia dipelajari di luar negeri seperti di Amerika
Serikat, Australia, Belanda, Ceko, Cina, Filipina, India, Inggris, Italia,
Jepang, Jerman, Korea, Perancis, Rusia dan Selandia Baru.Patokan yang ketiga,
yakni peranannya sebgai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya,
menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah benar-benar menjadi satu-satunya
wahana dalam penyampaian ilmu pengetahuan serta media untuk pengungkapan seni
sastra dan udaya bagi semua warga Indonesia dengan latar belakang serta bahasa
daerah yang berbeda-beda.
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan
yang lebih penting daripada bahasa daerah. Kedudukan yang penting itu
sekali-kali bukan karena mutunya sebagai bahasa, bukan karena besar kecilnya
jumlah kosakata atau keluwesan dalam tata kalimatnya, dan bukan pula karena
kemampuan daya ungkapnya.
2.
Ragam
Bahasa
Ragam
yang ditinjau dari sudut pandang penutur dapat diperinci menurut patokan
daerah, pendidikan, dan sikap penutur. Ragam daerah sejak lama dikenal dengan
nama logat atau dialek. Logat daerah bahasa Indonesia yang sekarang kita kenal,
berkat perhubungan yang lebih sempurna lewat kapal, pesawat, mobil, radio,
surat kabar, dan televise, agaknya tidak akan berkembang menjadi bahasa
tersendiri.
Logat
daerah yang paling kentra karena tata bunyinya yang mudah dikenali. Logat Indonesia-Batak
yang dilafalkan
oleh putra Tapanuli dapat dikenali, misalnya, karena tekanan kata yang amat
jelas; logat Indonesia orang Bali karena pelafalan bunyi /t/ dan /d/-nya. Perbedaan kosakata dan
variasi gramatikal tentu ada juga walaupun mungkin kurang tampak. Ragam bahasa
menurut pendidikan formal,
yang bersilangan ragam dialek,
menunjukkan
perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak.
Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya, sering tidak terdapat dalam
ujaran orang yang tidak bersekolah atau hanya berpendidikan rendah. Bentuk fadil,
fakultas, film, fitnah, dan kompleks yang dikenal di dalam ragam orang yang
terpelajar, bervariasi dengan padil, pakultas, pilem, pitnh, dan komplek dalam
ragam orang yang tidak mujur dapat menikmati pendidikan yang cukup di sekolah.
Perbedaan kedua ragam itu juga tampak pada tata bahasa. Kalimat Saya mau tulis
itu surat ke pamanku cukup jells maksudnya, tetapi bahasa yang apik menuntut
agar bentuknya menjadi Saya mau menulis surat itu kepada paman saya. Rangkaian
kata Indonesia dapat disusun menjadi kalimat Indonesia, tetapi tidak tiap
kalimat Indonesia termasuk kalimat yang apik. Badan pemerintahan,
lembaga perwakilan rakyat, badan kehakiman, pers, radio, televise, mimbar
agama, dan profesi ilmiah hendaknya menggunakan ragam bahasa orang
berpendidikan yang lazim digolongkan dan diterima sebagai ragam baku.
Ragam
bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang
masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap pemakai bahasa. Ragam ini yang
dapat disebut langgam atau gaya.pemilihannya bergantung pada sikap penutur
terhadaporang yang diajak berbicara atau terhadap pembacanya. Misalnya, gaya
bahasa kita jika kita memberikan laporan kepada atasan, atau jika kita memarahi
orang, membujuk anak, menulis surat kepada kekasih, atau mengobrol dengan
sahabat karib.
Ragam
bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat dirinci menjadi tiga macam : ragam dari
sudut pandang bidang atau pokok persoalan; ragam menurut sarannya; dan ragam
yang mengalami pencampuran.
Orang
yang ingin turut serta dalam bidang tertentu atau yang ingin membicarakan pokok
persoalan yang berkaitan dengan lingkungan itu harus memilih salah satu ragam
yang dikuasainya dan yang cocok dengan bidang atau pokok itu.
Ragam
bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan atau ujaran dan ragam
tulisan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perbedaan antara
ragam lisan dan ragam tulisan. Yang pertama berhubungan dengan suasana
peristiwanya. Jika kita menggunakan ragam tulisan, kita beranggapan bahwa orang
yang diajak berbahasa tidak ada di hadapan kita, sehingga perlu diperhatikan
fungsi gramatikal seperti subjek, predikat, dan objek dan hubungan di antara
fungsi itu masing-masing harus nyata. Sedangkan dalam ragam lisan karena
penutur bahasa berhadapan atau bersemuka, unsur
itu kadang-kadang dapat ditinggalkan.
Hal
yang kedua, yang membedakan ragam lisan dari ragam tulisan berkaitan dengan
beberapa upaya yang kita gunakan dalam ujaran, misalnya tinggi rendahnya dan
panjang pendeknya suara serta irama kalimat yang sulit dilambangkan dengan
ejaan dan tata tulis yang kita miliki. Misalnya, ujaran Darto tidak mengambil uangmu, yang disertai pola intonasi khusus
pada kata tidak, dalam tulisan
mungkin dapat berbentuk Bukan Darto yang
mengambil uangmu agar penegasannya sama tarafnya.
3.
Ciri Situasi Diglosia
Situasi diglosia dapat disaksikan di
dalam masyarakat bahasa jika dua ragam pokok bahasa yang masing-masing mungkin
memiliki berjenis subragam lagi dipakai secara berdampingan untuk fungsi
kemasyarakatan yang berbeda-beda. Ragam pokok yang satu, yang dapat dianggap
dilapiskan di atas ragam pokok yang lain merupakan sarana kepustakaan dan
kesusastraan yang muncul pada suatu masyarakt bahasa seperti halnya dengan
bahasa Melayu untuk Indonesia dan Malaysia. Ragam pokok yang kedua tumbuh dalam
berbagai rupa dialek rakyat. Ragam pokok yang pertama dapat disebut ragam
tinggi dan ragam pokok yang kedua dapat dinamai ragam rendah.
Di dalam situasi diglosia terdapat
tradisi yang mengutamakan studi gramatikal tentang ragam yang tinggi. Situasi
diglosia itu pulalah yang menjelaskan mengapa setakat ini ada pernedaan yang
cukup besar di antara pemakaian bahasa Indonesia ragam tulisan di satu pihak
dan ragam tlisan di pihak yang lain. Jika penutur bahasa Indonesia dewasa ini
berkata bahwa bahasa Indonesia termasuk golongan bahasa yang mudah, agaknya ia merujuk
ke ragam pokok yang rendah yang dimahirinya. Jika ia berkata bahwa bahasa
Indonesia itu sulit yang dimaksudkannya agaknya ragam poko yang tinggi.
4.
Pembakuan
Bahasa
Dengan latar kerangka acuan kediglosiaan
yang diuraikan di atas, masalah pembakuan bahasa Indonesia memperoleh dimensi
tambahan yang hingga kini tidak sering dipersoalkan, atau yang memang dianggap
tidak perlu diperhitungkanbagi keberhasilan usaha pembakuan itu. Hal yang
sehubungan dengan itu yang perlu dibahas, misalnya ialah norma bahasa yang mana
yang berlaku untuk bahasa Indonesia baku dan golongan penutur mana yang dapat
dijadikan patokan bagi norma itu.
Patokan yang bersifat tunggal (salah
satu dialek) dan patokan yang majemuk (gabungan beberapa dialek) tidak perlu
bertentangan. Dewasa ini ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih.
Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa sekolah
dan yang diajarkan kepada para siswanya. Yang lain ialah norma berdasarkan adat
pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan yang antara lain
dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda. Keduanya bertumpang tindih
karena di samping berbagi inti bersama ada norma yang berlaku di sekolah,
tetapi yang tidak diikuti oleh media massa dan sebaliknya.
5.
Bahasa
Baku
Ragam bahasa standar memiliki sifat
kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar
tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang memunculkan
bentuk perasa dan perumus dengan taat asas harus dapat
menghasilkan bentuk perajin dan perusak, bukan pengrajin dan pengrusak.
Ciri kedua yang menandai bahasa baku
ialah sifat kecendekiaan-nya.
Perwujudannya dalam kalimat, paragraph, dan satuan bahasa lain yang lebih besar
mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk
akal.
Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa. Itulah cirri ketiga ragam bahasa yang baku.
Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa. Itulah cirri ketiga ragam bahasa yang baku.
6.
Fungsi
Bahasa Baku
Bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga
diantaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat
objektif : (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi
pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Bahasa baku memperhubungkan semua
penutur berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian bahasa baku mempersatukan
mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur
orang seorang dengan seluruh mayarakat.
Fungsi pemberi kekhasan yang diemban
oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu darfi bahasa yang lain. Karena fungsi
itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa
yang bersangkutan. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan
dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi
lewat pemerolehan bahasa baku sendiri.
Bahasa baku selanjutnya berfungsi
sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya morma dan kaidah
(yang dikodifikasi) yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi
betul tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan. Bhasa baku juga
menjadi kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak saja terbatas
pada bidang susastra, tetapi juga mencakup segala jenis pemakaian bahasa yang
menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam permainan kata,
iklan dan tajuk berita.
7.
Bahasa
Baik dan Benar
Jika bahasa sudah baku dan
standar, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan pejabat
pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan
yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada
khalayak, maka dapat dengan lebih mudah dibuat pembedaan antara bahasa yang benar
dengan yang tidak. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau
yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar.
Orang yang mahir menggunakan
bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu
dianggap telah dapat berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan
serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut
bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu
perlu beragam baku. Dalam tawar menawar di pasar, misalnya pemakaian ragam baku
akan menimbulkan kegelian, keheranan, atau kecurigaan. Akan sangat ganjil bila
dalam tawar menawar dengan tukang sayur atau tukang becak kita memakai bahasa
baku.
Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang baik tapi tidak benar. Frasa seperti ini hari merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an di kalangan para makelar karcis bioskop, tetapi bentuk itu tidak merupkan bahasa yang benar karena letak kedua kata dalam frasa ini terbalik.
Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang baik tapi tidak benar. Frasa seperti ini hari merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an di kalangan para makelar karcis bioskop, tetapi bentuk itu tidak merupkan bahasa yang benar karena letak kedua kata dalam frasa ini terbalik.