Makalah Istihsan
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ilmu
ushul fiqh merupakan salah satu bagian yang terpenting yang harus dipenuhi oleh
siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad. Itulah sebabnya dalam kriteria
seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad tetap berada pada koridor yang
seharusnya.
Metode
yang biasa digunakan para mujtahid dalam melakukan suatu ijtihad terhapa
permasalahn yang ada sangatlah beragam. Ada yang menggunakan metode qiyas,
istihsan, istihsab dan masih banyak lagi .Namun yang akan dibahas mendalam pada
makalah ini mengenai metode istihsan.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah pada
makalah ini adalah
1. Apa
pengertian istihsan ?
2. Jelaskan
macam-macam istihsan ?
3. Bagaimana
pendapat ulama mengenai istihsan ?
C.
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai adalah
1. Untuk mengetahui pengertian istihsan
2. Untuk mengetahui macam-macam istihsan
3. Untuk mengetahui pendapat ulama mengenai istihsan
Tujuan yang ingin dicapai adalah
1. Untuk mengetahui pengertian istihsan
2. Untuk mengetahui macam-macam istihsan
3. Untuk mengetahui pendapat ulama mengenai istihsan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Istihsan
Dilihat
dari segi kebahasaan, kata istihsan bermakna mengikuti sesuatu yang menurut
hasil analisis mujtahid sangat baik. Sedang menurut istilah yang biasa
digunakan para ulama Hanafiah adalah, “beralih dari satu hasil qiyas pada hasil
qiyas lain yang lebih kuat. atau dengan kata lain “mentakhshish qiyas dengan hasil qiyas lain yang lebih
kuat. Sejalan dengan definisi di atas, al-Sarkhasi, sebagaimana dikutip Husein
Hamid Hasan, menyatakan bahwa “istihsan itu pada hakikatnya melakukan dua kali
qiyas.”
Kajian istihsan sendiri berada dalam kerangka kajian
Qiyas. Hanya saja, dalam istihsan, lingkup kajian qiyas yang dilakukan pada
istihsan lebih luas, dengan menginventarisir illat sebanyak-banyaknya, serta
mengembangkan alternatif ashal (kejadian pokok) yang bervariasi, sehingga
mengemukakan berbagai pilihan hukum. Pilihan-pilihan yang sangat kuat
relevansinya dengan kebutuhan sosial yang berlandaskan pada kemaslahatan hidup
masyarakat yang kemudian akan dipilih oleh mujtahid yang bersangkutan.
Istihsan disebut juga sebagai pengecualian
(pemindahan) hukum sesuatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain yang
sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain karena ada alasan yang kuat
bagi pengecualian tersebut.
B.
Macam-macam
Istihsan
Istihsan
menurut istilah ushul fiqh seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, terdiri
dari dua yaitu:
1.
Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi terjadi
pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk
qiyas, yatu qiyas jali atau qiyas khafi. Pada dasarnya bila dilihat dari segi kejelasan ‘illat-nya maka qiyas jali lebih pantas didahulukan atas qiyas khafi. Namun, menurut Mazhab Hanafi, bilamana mujtahid
memandang bahwa qiyas khafi lebih
besar kemaslahatan yang dikandungnya dibandingkan dengan qiyas jali, maka qiyas jali
itu tidak boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil qiyas khafi. Praktik seperti itulah yang dikenal dengan istihsan
qiyasi. Contohnya, menurut kesimpulan qiyas jali, hak pengairan yang berada di
atas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap ikut diwakafkan kecuali
jika ditegaskan dalam ikrar wakaf, disamakan dengan praktik jual beli karena sama-sama
menghilangkan milik. Dalam jual beli, hak pengairan yang berada di atas
sebidang tanah yang dijual tidak dianggap termasuk kepada yang dijual kecuali
jika ditegaskan dalam akad jual beli. Namun berdasarkan istihsan yang
berorientasi kepada kemaslahatan, hak untuk mengairi itu termasuk ke dalam
tanah waqaf meskipun tidak ditegaskan waktu berikrar wakaf, karena diqiyaskan
kepada sewa menyewa dengan persamaan illat sama-sama untuk diambil manfaatnya.
Dilihat dari segi manfaatnya, qiyas yang disebut terakhir ini lebih kuat
pengaruh hukumnya karena sejalan dengan tujuan disyariatkannya wakaf, yaitu
untuk diambil manfaatnya.
2.
Istihsan Istisnaiy
Istihsan
Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu:
a. Istihsan bin-nas,
yaitu hukum pengecualian berdasarkan Nas (Al-Qur’an atau sunnah) dari kaidah
yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa. Contohnya, menurut
kaidah umum makan dalam keadaan lupa di siang hari Ramadhan merusak puasa
seseorang karena telah rusak rukun dasarnya yaitu imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa) di siang harinya.
Namun, hadis Rasulullah menegaskan bahwa makan dalam keadaan lupa di siang hari
Ramadhan tidak membatalkan puasa:
“Dari
Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Bersabda:”Barangsiapa lupa, padahal ia sedang
puasa, kemudian ia makan dan munim, hendaklah menyelesaikan puasanya. Hanya
saja Allah yang memberinya makan dan minum”.(HR. Bukhari dan Muslim)
b. Istihsan berlandaskan ijma’.
Misalnya. Pesanan untuk membuat lemari. Menurut kaidah umum praktik seperti itu
tidak dibolehkan, karena pada waktu mengadakan akad pesanan, barang yang akan
dijualbelikan tersebut belum ada. Memperjualbelikan benda yang belum ada waktu
melakukan akad dilarang dalam hadis Rasullah (HR. Abu Daud). Namun hal itu
dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorang pun ulama yang
membantah keberlakuannya dalam masyarkat sehingga dianggap disepakati (ijma’).
c. Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat
kebiasaan). Misalnya, boleh mewakafkan benda bergerak seperti buku-buku dan
perkakas alat memasak. Menurut ketentuan umum perwakafan, seperti dikemukakan
Abdul-Karim Zaidan, wakaf hanya dibolehkan pada harta benda tidak bergerak
seperti tanah. Dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya adat
kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkan praktik wakaf tersebut.
d. Istihsan yang didasarkan atas
maslahah mursalah. Misalnya, mengharuskan ganti rugi atas
diri seseorang penyewa rumah jika peralatan rumah itu ada yang rusak di
tangannya kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang diluar
kemampuan manusia untuk menghindarinya. Menurut kaidah umum, seorang penyewa
rumah tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak selama ia menghuni rumah
itu kecuali jika kerusakan itu disebabkan kelalaiannya. Tetapi demi menjaga
keselamatan harta tuan rumah dan menipisnya rasa tanggung jawab kebanyakan para
penyewa, maka ahli Fiqh berfatwa untuk membebankan ganti rugi atas pihak
tersebut.
C.
Pendapat
Ulama Mengenai Istihsan
1. Mazhab Hanafi, Maliki dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain:
1. Mazhab Hanafi, Maliki dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain:
a. Firman
Allah
Artinya:Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah
orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal.(QS. Az-Zumar/39:18)
Ayat tersebut, menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti perkataan (pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
Ayat tersebut, menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti perkataan (pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
b. Sabda
Rasulullah
Hadis
Riwayat Ahmad dalam kitab sunnah, bukan
dalam musnadnya yang mempunyai arti “Apa yang dianggap baik oleh orang-orang
Islam, adalah juga baik disisi Allah”. Hadis ini menurut pandangan mereka
menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam karena
merupakan sesuatu yang baik disisi Allah. Dapat dijadikan landasan menetapkan
hukum.
2.
Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’I,
pendiri Mazhab Syafi’I, tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum.
Menurutnya barang siapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan
membuat syariat baru dengan hawa nafsu. Alasannya antara lain:
a.
Ayat
38 Surah al-An’am
Artinya:Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.(QS.al-An’am/6:38)
Artinya:Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.(QS.al-An’am/6:38)
b.
Ayat
44 Surah an-Nahl
Artinya:Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,(QS. An-Nahl/16:44)
Ayat pertama di atas, menurut Imam Syafi’I menegaskan kesempurnaan al-Qur’an untuk menjawab segala sesuatu. Ayat kedua menjelaskan bahwa di samping al-Qur’an ada Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan dan memerinci hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an sehingga menjadi lengkap untuk menjadi rujukan menetapkan hukum sehingga tidak lagi memerlukan istihsan yang merupakan kesimpulan pribadi. Hukum yang dibentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, oleh karena itu tidak sah dijadikan landasan hukum.
Artinya:Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,(QS. An-Nahl/16:44)
Ayat pertama di atas, menurut Imam Syafi’I menegaskan kesempurnaan al-Qur’an untuk menjawab segala sesuatu. Ayat kedua menjelaskan bahwa di samping al-Qur’an ada Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan dan memerinci hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an sehingga menjadi lengkap untuk menjadi rujukan menetapkan hukum sehingga tidak lagi memerlukan istihsan yang merupakan kesimpulan pribadi. Hukum yang dibentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, oleh karena itu tidak sah dijadikan landasan hukum.
Menurut Wahbah az–Zuhaili,
adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan
istihsan. Imam Syafi’I membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa
berdasarkan dalil syara’. Sedangkan istihsan yang dipakai oleh para penganutnya
bukan didasarkan atas hawa nafsu, tetapi men-tarjih (menganggap kuat) salah
satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau
tujuan pembentukan hukumnnya.
Akan
tetapi, menurut satu riwayat dari Malik, istihsan adalah “berpegang kepada
dalil yang terkuat dari dua dalil.” Sementara dalam riwayat yang lain dikatakan
bahwa istihsan menurut Malik ialah “menggunakan maslahah yang juz’I sebagai
ganti qiyas yang kulli.” Istihsan dalam bentuk ini menurut al-Syathibi dapat
diterima, karena tidak keluar dari dalil-dalil syarak, dan dalil-dalil syarak
memang saling terkait, saling mentakhshish, seperti keterkaitan dalil sunnah
dengan dalil al-Qur’an.
Bertolak
dari perbedaan pandangan di atas, al-Syaukani berkesimpulan, bahwa perbedaan
pandangan itu muncul dari kesalahan menggunakan pengertian istilah istihsan
antara orang yang memakai istihsan dan yang menolaknya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan
pada makalah ini adalah
1. Istihsan disebut juga sebagai pengecualian (pemindahan) hukum sesuatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain karena ada alasan yang kuat bagi pengecualian tersebut.
2. Istihsan terbagi atas dua, yang pertama dikenal dengan istilah istihsan Qiyasi sedangkan istihsan kedua dikenal dengan istilah istihsan Istinaiy.
3. Menurut Wahbah az–Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’I membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Sedangkan istihsan yang dipakai oleh para penganutnya bukan didasarkan atas hawa nafsu, tetapi men-tarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumnnya.
1. Istihsan disebut juga sebagai pengecualian (pemindahan) hukum sesuatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain karena ada alasan yang kuat bagi pengecualian tersebut.
2. Istihsan terbagi atas dua, yang pertama dikenal dengan istilah istihsan Qiyasi sedangkan istihsan kedua dikenal dengan istilah istihsan Istinaiy.
3. Menurut Wahbah az–Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’I membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Sedangkan istihsan yang dipakai oleh para penganutnya bukan didasarkan atas hawa nafsu, tetapi men-tarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumnnya.
B.
Saran
Dari
makalah ini penulis berharap kepada pembaca, dapat memberikan kritik dan saran
dalam pembahasan makalah ini. Agar makalah ini menjadi lebih baik dan dapat
digunakan sebagai bahan penambahan wawasan dan pengetahuan yang lebih
bermanfaat untuk orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria.2014. Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana
Hanafi, Ahmad.1991.Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta:Bulan Bintang
Rosyada, Dede.1999.Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis.Jakarta:Logos Wacana Ilmu
Rusli, Nasrun.1999.Konsep Ijtihad Al-Syaukani.Jakarta:PT.Logos Wacana Ilmu
Shuhufi, Muhammad.2012.Ijtihad dan Fleksibilitas Hukum Islam.Makassar:Alauddin University
Press
Dr. Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum
Dewan Hisbah Persis (Jakarta:1999) hal 65
Dr. Muhammad Shuhufi, M.Ag, Ijtihad dan Fleksibilitas Hukum Islam (Makassar:2012) hal 65-66
Ahmad Hanafi MA, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta:1991) hal 66 Prof. Dr. H. Satria Efendi, M.Zein, M.A, Ushul Fiqh (Jakarta,2014) hal.142-144
Satria Effendi Op.Cit hal.144
Satria Effendi Op.Cit hal.144-145
Satria Effendi hal 145
Ibid hal 145-146
Satria Effendi Op.Cit hal 146
Satria Effendi hal 147-148
Ibid hal 148
Dr. Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani (Jakarta:1999) hal.139-140
NAsrun Rusli Op.Cit hal 140
Dr. Muhammad Shuhufi, M.Ag, Ijtihad dan Fleksibilitas Hukum Islam (Makassar:2012) hal 65-66
Ahmad Hanafi MA, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta:1991) hal 66 Prof. Dr. H. Satria Efendi, M.Zein, M.A, Ushul Fiqh (Jakarta,2014) hal.142-144
Satria Effendi Op.Cit hal.144
Satria Effendi Op.Cit hal.144-145
Satria Effendi hal 145
Ibid hal 145-146
Satria Effendi Op.Cit hal 146
Satria Effendi hal 147-148
Ibid hal 148
Dr. Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani (Jakarta:1999) hal.139-140
NAsrun Rusli Op.Cit hal 140