Makalah Etika Bepergian Menurut Ajaran Islam Full (BAB II)
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Akhlak dalam Perjalanan
Secara etimologi, dalam bahasa Arab Perjalanan disebut
dengan rihlah-safrah-masirah. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Perjalanan diartikan perihal (cara, gerakan) berjalan
atau bepergian dari suatu tempat menuju tempat lain untuk suatu tujuan.
Secara terminologi Perjalanan didefinisikan
sebagai "aktivitas seseorang untuk keluar ataupun meninggalkan rumah
dengan berjalan kaki ataupun menggunakan berbagai sarana transportasi yang
mengantarkan sampai pada tempat tujuan dengan maksud ataupun tujuan
tertentu"
B.
Bentuk
Akhlak dalam Perjalanan
Melakukan perjalanan yang diajarkan
dalam Islam bertujuan untuk mencari ridha Allah, sebagaimana disinyalir oleh
Rasulullah Saw. dalam sabdanya :
"Tidak seorang keluar meninggalkan rumahnya, kecuali
di pintu rumahnya ada panji. Sebuah di tangan malaikat dan sebuahnya lagi di
tengan setan. Kalau tujuannya kepada apa yang diridhai (disenangi) Allah
Azza wa Jalla, maka dia diikuti malaikat dengan panjinya sampai dia pulang ke
rumahnya. Apalagi tujuannya yang dimurkai Allah, maka setan dengan panjinya
mengikutinya sampai dia pulang ke rumahnya." (HR.Ahmad).
Terdapat beberapa perjalanan yang dianjurkan oleh Islam, di
antaranya:
1. Pergi Haji
2. Umrah
3. Menyambung silaturahmi
4. Menuntut ilmu
5. Berdakwah
6. Berperang di jalan Allah
7. Mencari karunia Allah.
1. Pergi Haji
2. Umrah
3. Menyambung silaturahmi
4. Menuntut ilmu
5. Berdakwah
6. Berperang di jalan Allah
7. Mencari karunia Allah.
Di samping itu perjalanan berfungsi untuk menyehatkan kondisi
jasmani dan rohani dari kelelahan dan kepenatan karena rutinitas sehari-hari. Supaya
umatnya selalu dalam ridha Allah, Islam telah mengajarkan beberapa tuntunan
adab dan etika dalam melakukan perjalanan, yaitu sebagai berikut :
1.
Sebelum
Perjalanan
a. Bermusyawarah dan Shalat Istikharah. Islam menganjurkan kebapa
orang yang berniat dan hendak melakukan perjalanan jauh (safar),
agar melakukan musyawarah dengan keluarga sebelum ia berangkat.
b. Mengembalikan Hak dan Amanat kepada
Pemiliknya. Jika
niat melakukan perjalanan telah menjadi keputusan, maka yang harus dilakukan
adalah : 1). Melunasi hutang-hutang; 2). Berpesan kepada keluarga tentang
hutang-piutang; 3). Mengembalikan hak dan amanat (titipan) kepada yang berhak.
c. Membawa Enam Benda yang Disunahkan
Rasulullah Saw., Dalam
melakukan perjalanan, dianjurkan membawa enam macam benda, yaitu : gunting,
siwak, tempat celak, tempat air untuk minum, istinja' dan wudhu'.
d. Mengajak Istri ataupun Anggota
Keluarga. Dalam
ber-safar sebaiknya mengikutsertakan istri (bila sudah beristri), agar
terhindar dari hal-hal yang bisa menimbulkan godaan setan.
e. Wanita Tidak Boleh Pergi Seorang
Diri. Islam
melarang wanita ber-safar seorang diri (dalam jarak jauh), karena dikhawatirkan
akan mengalami kesulitan dan dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.
f. Memilih Kawan Pendamping yang Shaleh. Untuk ber-safar dianjurkan membawa
teman yang shaleh, agar dia dapat membantu melakukan hal-hal yang baik dan
menjaga untuk terhindar dari kemungkaran.
g. Mengakat Pemimpin Rombongan. Apabila ber-safar dengan
rombongan, hendaklah mengangkat seorang pemimpin yang bijaksana, adil dan
mengetahui permasalahan safar.
h. Berpamitan kepada Keluarga dan
Handai Tolan serta Mohon Do'a. Sebelum berangkat, seoorang musafir sebaiknya berpamitan
dan memberi ucapan selamat tinggal kepada keluarga atau kawan-kawannya.
i. Memilih
hari Kamis dan Shalat Dua Raka'at sebelum Berangkat. Rasulullah Saw. sering mengawali
perjalanannya pada hari Kamis dan ketika akan berangkat melakukan shalat dua
rakaat.
2.
Dalam
Perjalanan
a. Menolong Kawan Seperjalanan. Rasulullah Saw. dalam ber-safar
selalu mengambil posisi paling belakang, agar bisa menuntun yang lemah,
menaikkan orang yang lelah berjalan kaki ke atas kendaraan beliau dan berdo'a
untuk seluruh rombongan yang mengikuti beliau.
b. Tidak Lama Meninggalkan Istri. Bila ber-safar tidak membawa
istri, sebaiknya tidak terlalu lama, karena dikhawatirkan akan mengancam
kejujuran di antara suami-istri.
3.
Ketika
Sampai dan Kembali dari Perjalanan
a. Takbir Tiga Kali dan Berdo'a. Setelah melakukan perjalanan atau
dari medan perang, Rasulullah Saw. mengucapkan takbir tiga kali, lalu
mengucapkan (artinya) : "Tiada sembahan selain Allah Yang Maha Esa,
tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi Allah kekuasaan dan pujian dan Dia mampu
melakukan segala sesuatu. Kami pulang kembali bertobat, beribadah dan kepada
Allah kami bertahmid."
b. Jangan Pulang Mendadak. Rasulullah Saw. bila pulang larut
malam, beliau tidak langsung mengetuk pintu, tetapi menanti sampai besok pagi.
c. Shalat Dua Raka'at. Sekembali dari perjalanan,
Rasulullah Saw. memasuki masjid, sgalat dua raka'at dan baru pulang ke rumah.
Ketika memasuki rumah beliau mengucapkan istighfar (astaghfirullah hal-'azim).
C.
Nilai
Positif Akhlak dalam Perjalanan
Imam Gazali mengatakan bahwa "Bersafarlah,
sesungguhnya dalam safar memiliki beragam keuntungan". Adapun
keuntungan melakukan perjalanan itu adalah :
- Melakukan perjalanan dapat menghibur diri dari kesedihan, kepenatan, kejenuhan dari rutinitas aktivitas atau me-refresh masalah-masalah yang membelenggu.
- Perjalanan merupakan sarana untuk meningkatkan penghasilan. Jika hanya berdiam di rumah tidak akan menemukan betapa luasnya karunia Allah.
- Perjalanan akan menambah ilmu pengetahuan dan wawasan. Baik karena pengamatan ataupun karena berjumpa dengan banyak orang.
- Dengan melakukan perjalanan, seseorang akan lebih mengenal adab kesopanan yang berkembang di suatu komunitas masyarakat.
- Perjalanan akan menambah kawan dan sahabat yang baik serta mulia, karena dalam melakukan perjalanan tentu akan bertemu dengan orang-orang yang beragam.
D. Beberapa Permasalahan Penting Dalam
Safar
1. Bagi
orang yang dalam perjalanan disyareatkan untuk mengqashar shalatnya semenjak ia
keluar dari daerahnya.
2. Jika
telah masuk waktu shalat dan ia dalam keadaan mukim, lalu ia safar, kemudian ia
shalat dalam safarnya, maka apakah ia shalat sempurna atau qashar ? Jawaban
yang benar adalah qashar.
3. Jika
dalam perjalanan ia teringat shalat yang mestinya ia lakukan di saat mukim,
maka ia shalat secara sempurna2, dan jika ingat di saat mukim, shalat yang
semestinya ia lakukan dalam safar, maka dalam hal ini terdapat perselisihan
pendapat apakah ia menyempurnakan shalatnya atau mengqashar. Pendapat yang
benar adalah mengqashar (shalat).
4. Jika
seorang musafir shalat di belakang orang yang mukim, maka ia shalat empat
rakaat secara mutlak meski tidak ia dapatkan kecuali tasyahud. Shalatnya
seperti halnya orang yang mukim, empat raka'at.
5. Jika orang yang musafir shalat
bersama jamaah yang mukim, maka ia mengqashar shalat.
6. Sunnah-sunnah Rawatib yang tidak
dilakukan dalam perjalanan adalah shalat sunnah qabliyah dan ba'diyah Dzuhur,
ba'diyah maghrib dan ba'diyah isya'. Adapun shalat sunnah qabliyah fajar dan
shalat witir, maka tetap dilakukan. Orang yang musafir juga bisa melakukan
Shalat Dhuha, shalat sunnah wudhu dan shalat tahiyatul masjid.
7. Yang disunnahkan adalah meringankan
bacaan surat (dalam shalat) ketika dalam perjalanan.
8. Jika ia (orang yang musafir)
menjamak shalat, maka hendaknya dikumandangkan adzan satu kali dan dua kali
iqamat. Satu shalat satu iqamat. Ia boleh menjamak di awal waktu,
pertengahannya atau akhirnya. Pada waktu-waktu tersebut adalah saat untuk
menjamak dua shalat.
9. Menjamak antara dua shalat dalam
perjalanan adalah sunnah ketika Dibutuhkan.
10. Mereka yang tidak diwajibkan menghadiri shalat jum'at
seperti musafir dan orang yang sedang sakit, maka boleh bagi mereka untuk
menunaikan Shalat Dzuhur setelah tergelincirnya matahari, walaupun imam belum memulai
shalat jum'at.
11. Musafir boleh melakukan shalat sunnah di atas mobil atau
pesawat, sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalan, dari nabi yang shalat sunnah
di atas hewan tunggangannya.
12. Setiap orang yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, maka
boleh pula baginya untuk berbuka (tidak berpuasa), dan tidak sebaliknya.
13. Bepergian di Hari Jum'at adalah dibolehkan.
14. Dzikir yang diucapkan setelah shalat yang pertama pada
shalat jama' tidak dilakukan.
15. Tidak disyaratkan dalam safar niat untuk mengqashar
(shalat).
16. Banyak para ulama yang melarang untuk menjama' Shalat Ashar
dan Jum'at.
17. Mengqashar shalat hukumnya adalah sunnah muakkad, ada pula
yang mengatakan wajib.
18. Dibolehkannya mengqashar shalat adalah umum, baik itu safar
dalam rangka ketaatan maupun maksiat. Inilah pendapat yang benar dan dipilih oleh
Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah).
19. Seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali bersama
muhrimnya yaitu suami atau setiap laki-laki yang sudah baligh, berakal yang
haram atasnya wanita tersebut selamanya, karena nasab maupun sebab yang dibolehkan.
20. Jika musafir menjama' antara Shalat Maghrib dan Isya' jama'
taqdim, maka baginya telah masuk waktu Shalat Witir. Inilah pendapat yang kuat dari
para ulama, dan tidak perlu menunggu sampai datangnya waktu Shalat Isya.
21. Jika seorang musafir menjadi makmum dan ia ragu apakah imam orang
yang mukim atau juga musafir, maka pada asalnya seorang makmum diharuskan untuk
menyempurnakan. Tetapi jika si makmum berniat jika imam menyempurnakan shalat,
maka aku juga akan menyempurnakan dan jika imam mengqashar aku juga akan
mengqashar, maka hal itu adalah dibolehkan. Ini adalah bab menggantungkan niat
dan bukan karena keraguan.
22. Shalat Jum'at tidak diharuskan atas orang musafir yang
sedang tinggal di sebuah negeri selama ia masih berstatus musafir.
23. Jika orang yang
musafir mendapatkan Shalat Jum'at, maka hal itu mencukupinya dari Shalat Dzuhur
(maksudnya ia tidak perlu Shalat Dzuhur lagi), baik ia mendapatkan dua raka'at
atau satu raka'at (bersama imam), lalu ia sempurnakan. Tetapi jika kurang dari
satu raka'at, maka pendapat yang benar, ia boleh mengqashar .
24. Jika ia bepergian di Bulan Ramadhan, maka ia boleh berbuka dan juga boleh berpuasa.
24. Jika ia bepergian di Bulan Ramadhan, maka ia boleh berbuka dan juga boleh berpuasa.