Makalah Sumber-Sumber Ajaran Agama Islam (BAB II)
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Qur’an Dan Ruang Lingkupnya
- Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang
merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber
hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk Islam dan bernilai ibadat yang membacanya.
- Ruang Lingkupnya Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada 5:
a. Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat
Nya, Kitab-kitab Nya, Rosul-rosul Nya, Hari Akhir dan Qodho, Qadar yang baik
dan buruk.
b. Tuntutan ibadat sebagai perbuatan yang jiwa tauhid.
c. Janji dan Ancaman
d. Hidup yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk
kebahagiaan dunia dan akhirat.
e. Inti sejarah orang-orang yang taat dan orang-orang yang
dholim pada Allah SWT.
- Dasar-dasar Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum
a. Tidak memberatkan
“Allah tidak membenari seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Misalnya:
1) Boleh
tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
2) Boleh
makan-makanan yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa/memaksa.
3) Boleh
bertayamum sebagai ganti wudhu’
b. Menyedikitkan beban
Dari prinsip tidak memberatkan itu,
maka terciptalah prinsip menyedikitkan beban agar menjadi tidak berat. Karena
itulah lahir hukum-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti: mengqashar sholat.
c. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum
Hal ini dapat diketahui, umpamanya;
ketika mengharamkan khomr.
1)
Menginformasikan manfaat dan mahdhorotnya.
2)
Mengharamkan pada waktu terbatas, yaitu; sebelum
sholat.
3)
Larangan secara tegas untuk selama-lamanya.
B.
Kedudukan Hadist, Ijma’ Dan Qiyas
1.
Kedudukan Al-Hadist/Al-Sunnah
Nabi Muhammad
sebagai seorang rosul menjadi panutan bagi umatnya disamping sebagai ajaran
hukum. Baik yang diterima dari Allah yang berupa Al-Qur’an maupun yang
ditetapkan sendiri yang berupa al-Sunnah. Banyak sekali masalah yang sulit
ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan
utama, maka banyak orang mencarinya dalam as-Sunnah.
Selain diindikasikan
dalam Al-Qur’an, para ulama pun telah bersepakat untuk menetapkan al-Sunnah
sebagai sumber ajaran Islam.
Sunnah yang
dijalankan Nabi pada dasarnya adalah kehendak Allah juga. Dalam arti bahwa
Sunnah itu sebenarnya adalah risalah dari Allah yang manifestasikan dalam
ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi. Maka sudah sepantasnya, bahkan seharusnya
bilamana Sunnah Nabi dijadikan sumber dan landasan ajaran Islam.
2.
Kedudukan Ijma’
Kebanyakan ulama
menetapkan, bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber ajaran Islam dalam
menetapkan suatu hukum. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rosulnya dan Ulil Amri
diantara kamu.”
Maka dapat
disimpulkan bahwa, apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum
suatu masalah/peristiwa, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Ijma’ dapat
dijadikan alternatif dalam menetapkan hokum suatu peristiwa yang didalam
Al-Qur’an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
3.
Kedudukan Qiyas
Qiyas menduduki
tingkat keempat, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang
berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang
mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an. Mereka
mendasarkan hal tersebut pada firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang
artinya; “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang
yang mempunyai pandangan.”
C.
Pengertian Tentang Nash Dan Syari’ah
1. Pengertian
Nash
Menurut bahasa, Nash
adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh sebab
itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan menurut istilah
antara lain dapat dikemukakan di sini menurut:
a. Ad-Dabusi:
Artinya:
“Suatu lafazh yang maknanya lebih
jelas daripada zhahar bila ia dibandingkan dengan lafzh shahir.”
b.
Al-Bazdawi
“Lafazh yang lebih jelas maknanya
daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari
rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari
definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan
kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya,
melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian
tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu
adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang
menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia
mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada
kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasikh
pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Pengertiannya
diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih memberi
kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena
maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
2. Pengertian
Syari’ah
Dilihat dari sudut
kebahasaan kata, syari’ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang dilalui
air terjun.”
Syari’ah adalah
semua yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an
ataupun melalui Sunnah Rasul.
Syari’ah itu adalah
hukum-hukum yang disyari’atkan Allah bagi hamba-hamba Nya (manusia) yang dibawa
oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far’iyah
amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau yang
menyangkut petunjuk beri’tiqad yang disebut ashliyah i’tiqadiyah (pokok
keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian syari’ah
menurut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari’at menurut bahasa ialah tempat yang
didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut istilah
ialah hukum-hukum dan tata aturan yang disyari’atkan Allah buat hamba-Nya agar
mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan syari’ah
tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yang telah disepakati (di ijma’)
oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya dan yang
belum jelasa dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah (masalah yang di ijtihad), juga
dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas. Dengan
perkataan lain syari’at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan
ditetapkan oleh Allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti
dan dilaksanakan oleh manusia didalam kehidupannya.
Pengertian syari’ah
menurut Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy. Salah satu
makna syari’ah adalah jalan yang lurus.
Sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat al-Jaatsiyah: 18
“Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama)
itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)
para fuqaha
memakai kata syari’ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para
hamba-Nya dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu melaksanakannya
dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai akhlak
dan aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Menurut
asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari’ah itu adalah
ketentuan hukum yang membatasi perbuatan, perkataan dan i’tiqad, orang-orang
mukallaf.”
Demikianlah makna
syari’at, akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari’ah untuk nama
hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas
dasar pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu adalah aqidah dan syari’ah
sebagaimana dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari’ah Islam adalah syari’ah
penutup, syari’ah yang paling umum, paling lengkap, dan mencakup segala hukum,
baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan.
D.
Teori Dan Konsep Istimbath Hukum Dalam Islam
Bila para ulama
hadist dihadapkan kepada suatu masalah, pertama kali para ulama ahlul haidst
mencari penyelesaian masalah itu kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi/Rasul.
Apabila para ulama hadist mendapat hadist yang berbeda-beda, maka mereka
mengambil hadist sebagai sumber hukum, dari hadist yang diriwayatkan oleh para
perawi hadist yang lebih utama dan memenuhi persyaratan. Kalau para ulama
tersebut tidak menemukan hadistnya, selanjutnya mereka meninjau dan mempedomani
pendapat para sahabat Nabi. Andaikata tidak juga diperoleh pendapat para
sahabat mengenai masalah yang sedang dihadapi para ulama hadist tersebut, maka
selanjutnya barulah mereka melaksanakan ijtihad untuk menyelesaikan suatu
masalah hukum Islam, atau mereka belum/tidak menyampaikan fatwa kepada
masyarakat. Masa mereka enggan berfatwa ini tidak lama, hanya sampai kepada
masa wafatnya Imam Daud ibnu Ali. Para ulama Fuqaha sesudah itu selalu
memperhatikan/melaksanakan fatwa, baik yang telah terjadi, walaupun yang belum
atau mungkin terjadi, berarti mereka selalu melaksanakan ijtihad terhadap
sesuatu masalah yang baru, dan belum teratur dasar hukumnya, sehingga segala
masalah dapat mereka tentukan hukumnya berdasarkan hasil ijtihad para ulama
hadist (aliran Madrasah Hadist).
E.
Ijtihad Dan Perbedaan Mazdhab
- Ijtihad
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa,
ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang menurut
pengertian syara’ ijtihad adalah: Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum
syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.
Adapun pengertia
ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama
(syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil
syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan
kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
Ijtihad mempunyai
peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam
kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas
kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang).
Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia
menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat
bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami
umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam
setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan
keluasan dan keluwesan hukum Islam.
- Perbedaan Mazdhab
Menurut bahasa
mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para Faqih
Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
a.
Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum
suatu masalah.
b.
Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang
imam.
Dari kedua
pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil
ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah
atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan
demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang
imam tentang ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Orang yang
melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi,
Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia
oleh sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing
Imam Mazdhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung
hanya ingin mendalami mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena
pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang
menganut suatu mazdhab saja.
Menganut suatu
aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya
menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran
yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu
mazdhab.
Andaikata sukar
menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya mampu
menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa
tokoh Imam Mazdhab.
a.
Imam Hanafi
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam
menetapkan suatu hukum.
1) Al
Kitab
Al Kitab
adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada
al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2) As-Sunnah
As-Sunnah
adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum
(global).
3) Aqwalush
Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan
sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena
menurutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah
generasinya.
4) Al-Qiyas
Abu Hanifah
berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan
sahabat tidak beliau temukan.
5) Al-Istihsan
6) Urf
Pendirian
beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari
keburukan serta mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang
mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik
dilakukan dengan cara Qiyas) beliau melakukannya atas dasar istihsan selama
dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali
kepada Urf manusia.
b.
Imam Maliki Bin Anas
Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
1) Al-Qur’an
2) Sunnah
Rasul yang beliau pandang sah.
3) Ijmak
para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata
berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4) Qiyas
5) Istishlah
(Mashalihul Mursalah)
c.
Imam Syafi’i
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam
Syafi’i.
Mengenai dasar-dasar hukum yang
dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya
ar-Risalah sebagai berikut:
1)
Al-Qur’an
2)
As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah
mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan dipergunakan
pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama
perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung
sampai kepada Nabi SAW.
3)
Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat
semuanya telah menyepakatinya
4) Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila
dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
5) Istidlal
(Istishhab)
d.
Imam Ahmad Bin Hambali
Imam Hambali dalam menetapkan suatu
hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:
1) Nash
Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak
lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan
pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
2) Fatwa
Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati suatu
pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka
beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu
merupakan Ijmak.
3) Pendapat
sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah,
maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
4) Hadist
Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai,
jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang
sahabat.
5) Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.
5) Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.