Artikel Tentang Dasar-Dasar Fiqh Dari 4 Madzhab Islam


Dasar-Dasar Fiqh Dari 4 Madzhab Islam
      Dasar-Dasar Fiqh Empat Madzhab
      1.      Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi
Abu Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Dari sini kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah adalah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash Al-Qur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu disebut “diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash tadi menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan hukum disebut “melalui qiyas”.
Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya terletak pada kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan, ‘urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah banyak menggunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadits ahad. Tidak seperti imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka illat, hikmah dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya. Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang menyelami di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al-Qur’an dan Sunnah.
Bahkan jika ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang benar, ia menolak untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri tetapi berakar kuat pada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz. Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu Zahrah, membenarkan bahwa dalam masalah hukum seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum tawaf ziarah, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang ulama ahli hadits Makkah, dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.
            2.      Dasar-dasar Fiqih Mazhab Maliki
Seperti halnya Imam Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya.
Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal ‘illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas, tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u man qablana. Al-Qurafidalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi (rasio).
            3.      Dasar-dasar Fiqih Mazhab Syafi’i
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur’an dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqih Syafi’ie. Menurut Syaafi’ie, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Qur’an, merinci yang global, mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada di dalam Al-Qur’an.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologi Syafi’ie adalah pernyataannya, “Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam Al-Qur’an.” Untuk membuktikan hipotesanya itu, Syafi’ie menyebut empat cara Al-Qur’an dalam menerangkan suatu hukum.
Pertama, Al-Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash-nash yang mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji, atau nash-nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan yang lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Qur’an dal Nabi-lah yang menerangkan secara terinci. Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam Al-Qur’an. Bentuk penjelasan Al-Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al-Qur’an dalam masalah yang seperti ini, yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis.
            4.      Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hambali
Sikapnya yang tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran fikihnya. Para ulama Hanabilah berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal dan pemikiran-pemikiran fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu lima dasar ushuliyah dan lima dasar lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar mazhab Hambali aitu adalah : (1) Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’, (2) fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah; dan apabila tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, (4) hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd al-dara-i’, (8) istishab, (9) ibthal al ja’l, (10) maslahah mursalah. 
Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan penggunaan qiyas.
Description: Artikel Tentang Dasar-Dasar Fiqh Dari 4 Madzhab Islam
Rating: 4.5
Reviewed by: Rumah Makalah
On: 23.44.00
TOP