Artikel Tentang Islam Dan Kebudayaan Full (Lanjutan)
Islam,
sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing
masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian
Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu
masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat
manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan
membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan
membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang
beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip
semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara
Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat
perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan
: “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan,
dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Idonesia“. Dari situ, Islam telah membagi budaya
menjadi tiga macam :
Pertama : Kebudayaan yang tidak
bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan : “al adatu
muhakkamatun“ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat,
yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam
penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku
pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar
kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga
wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam
Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya
mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid,
dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam,
maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar
hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam
sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam
Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama
sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di
atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa
seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua : Kebudayaan yang sebagian
unsurnya bertentangan dengan Islam. kemudian di “rekonstruksi” sehingga menjadi
Islami. Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan
ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti
lafadh “talbiyah“ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah
dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi
bentuk “Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah
kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan
tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan
nilai-nilai Islam.
Ketiga : Kebudayaan yang bertentangan
dengan Islam. Seperti, budaya“ ngaben“ yang dilakukan oleh masyarakat Bali.
Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah
dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk
penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya.
Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga
dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“, sebuah
upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “tiwah” ini dilakukan pemakaman
jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba
masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini
berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan
makanan dan minuman dalam jumlah yang besar, karena disaksikan oleh para
penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk
memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya
tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain
lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai
budaya “Tumpeng Rosulan“, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul
Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut
masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan (Samudra Hindia).
Hal-hal
di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran
Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya,
karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada
kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan
derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta
untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal
dunia.
Dalam
hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar
madzhab hanafi mengatakan : “Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat
daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa
kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat
kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di
kuburan khusus pada malam-malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti
ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena
tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at
mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga,
karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut
dalam hadits : “ apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu
baik“
Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar. Wallahu a’lam
Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar. Wallahu a’lam