Perempuan Dan Pornografi (Pembahasan)
Pengertian
Pornografi
Pornografi memang sering dipersepsikan dengan cara yang
beragam. Interpretasi pornografi diberi batasan yang berbeda-beda. Orang bebas
mengartikan pornografi dengan cara yang tidak sama. Ada pihak yang memandang
pornografi sebagai seks (berupa tampilan gambar,aksi maupun teks), namun ada
juga pihak yang memandang pornografi sebagai seni/art (berupa cara berbusana,
gerakan, mimik, gaya, cara bicara, atau teks yang menyertai suatu tampilan).
Namun jika dilihat dari asal katanya, sesungguhnya Pornografi
berasal dari kata Yunani yaitu “porne” yang berarti pelacur dan “grape”
yang berarti tulisan atau gambar. Jadi pengertian pornografi sebenarnya
lebih menunjuk pada segala karya baik yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau
lukisan yang menggambarkan pelacur (Ade Armando,2003:1).
Batasan pornografi dirumuskan secara berbeda oleh Tukan yang
membatasi pornografi sebagai penyajian seks secara terisolir dalam bentuk
tulisan, gambar, foto, film, video kaset, pertunjukkan, pementasan dan ucapan
dengan maksud merangsang nafsu birahi. Sedangkan menurut Tong, pornografi
merupakan propaganda patriarchal yang menekankan perempuan adalah milik,
pelayan, asisten dan mainan laki-laki. Andrea Drowkin berpandangan
pornografi adalah sebuah industri yang menjual perempuan, pornografi adalah
bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menyebarkan kekerasan terhadap
perempuan, pornografi mendehumanisasi seluruh perempuan dan pornografi
menggunakan rasisme dan anti semitisme untuk menyebarkan pelecehan seksual.
Dari batasan-batasan tersebut di atas tampak bahwa pengertian
pornografi telah mengalami pengembangan. Dari yang semula hanya mencakup karya
tulis atau gambar, seiring dengan perkembangan teknologi media massa,
ruang lingkup pornografi mengalami perluasan yang mencakup jenis media lain
seperti televisi, radio, film, billboard, iklan dan sebagainya. Demikian
pula yang menjadi objek tidak lagi hanya pelacur dalam pengertian
orang/manusia- atau kejalangan tetapi secara perlahan pornografi mencakup semua
materi yang melalui berbagai media dianggap melacurkan nilai atau seolah-olah
berfungsi bak seperti pelacur. Dengan demikian maka pornografi sampai pada
batasan sebagai “materi” yang disajikan di media tertentu yang dapat dan atau
ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual khalayak atau mengeksploitasi
seks.
Disini unsur media menjadi suatu patokan utama berkait dengan
batasan pornografi tersebut. Media yang dimaksud dapat dikelompokkan dalam 3
(tiga ) kelompok besar yaitu :
1. Media
audio (dengar). Yang termasuk dalam kategori ini diantaranya siaran radio,
kaset, CD, telepon, ragam media audio lain yang dapat diakses di internet:
a. lagu-lagu
yang mengandung lirik mesum, lagu-lagu yang mengandung bunyi-bunyian atau
suara-suara yang dapat diasosiasikan dengan kegiatan seksual;
b. program
radio dimana penyiar atau pendengar berbicara dengan gaya mesum;
c. jasa
layanan pembicaraan tentang seks melalui telepon (party line) dan sebagainya.
2. Media
audio-visual (pandang-dengar) seperti program televisi, film layar lebar, video,
laser disc, VCD, DVD, game komputer, atau ragam media audio visual lain yang
dapat diakses di internet :
a. film-film
yang mengandung adegan seks atau menampilkan artis yang tampil dengan pakaian
minim atau tidak (seolah-olah) tidak berpakaian.
b. adegan
pertunjukkan musik dimana penyanyi, musisi atau penari latar hadir dengan
tampilan dan gerak yang membangkitkan syahwat penonton.
3. Media
visual (pandang) seperti koran, majalah, tabloid, buku (karya sastra, novel
popular, buku non-fiksi) komik, iklan billboard, lukisan, foto atau bahkan media
permainan seperti kartu:
a. berita,
cerita atau artikel yang menggambarkan aktivitas seks secara terperinci atau
yang memang dibuat dengan cara yang demikian rupa untuk merangsang hasrat
seksual pembaca.
b. gambar,
foto adegan seks atau artis yang tampil dengan gaya yang dapat membangkitkan
daya tarik seksual
c. fiksi
atau komik yang mengisahkan atau menggambarkan adegan seks dengan cara yang
sedemikian rupa sehingga membangkitkan hasrat seksual.
Oleh karenanya jika pornografi diberi batasan sebagai sesuatu
yang mengandung unsur seksualitas, erotika atau sejenisnya yang ditampilkan
melalui media, maka segala sesuatu perilaku atau tampilan yang dianggap dapat
membangkitkan hasrat seksual namun tidak tampil dalam media baik audio
maupun visual tertentu, tidak dapat disebut sebagai pornografi.
Secara garis besar dalam wacana porno atau tindakan
pencabulan kontemporer, ada beberapa bentuk porno, yaitu : (Burhan Bungin, 2003:154)
1. pornografi,
adalah gambar-gambar porno yang dapat diperoleh dalam bentuk foto atau gambar
video;
2. pornoteks,
adalah karya pencabulan yang mengangkat cerita berbagai versi hubungan seksual dalam
bentuk narasi, testimonial, atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar
sehingga pembaca merasa menyaksikan atau mengalami sendiri.
3. pornosuara,
adalah suara, tuturan dan kalimat-kalimat yang diucapkan seseorang yang
langsung atau tidak langsung baik secara halus maupun vulgar berkait dengan
objek atau aktivitas seksual tertentu.
4. pornoaksi,
adalah suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak
disengaja atau sengaja untuk memancing hasrat seksual laki-laki.
Dalam konteks media massa, pornografi, pornoteks, pornosuara
dan pornoaksi menjadi bagian-bagian yang saling berhubungan sesuai karakter
media yang menyiarkan porno tersebut. Bahkan varian dari berbagai porno
tersebut dapat menjadi satu dalam jaringan internet yang disebut sebagai
cybersex. Keseluruhan berbagai varian porno di atas tercakup dalam satu
kategori yang dikenal sebagai pornomedia.
Dalam konteks hukum konsep mengenai pornografi dapat juga
ditemukan dalam beberapa ketentuan perundang-undangan. Dalam KUH Pidana,
misalnya walaupun di sana tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai apa
definisi pornografi tersebut. Batasan atau hal yang dapat dipersamakan dengan
pengertian pornografi dalam KUH Pidana hanyalah disebut sebagai kejahatan
terhadap kesusilaan atau kejahatan terhadap kesopanan. Namun jika dilihat
dari bentuk-bentuk kejahatan yang diatur dalam KUH Pidana tersebut, maka
kesemuanya termasuk dalam kategori pornografi. Walaupun demikian berdasar pada
pengertian tentang apa yang dimaksud dengan kesopanan atau kesusilaan
menunjukkan dalam KUH Pidana tidak terdapat adanya legalisasi yang
mengatur masalah pornografi.
Konsep pornografi menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999
tentang Pers menyebutkan dalam Pasal 13 huruf a bahwa perusahaan pers dilarang
memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau menganggu
kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan
masyarakat. Disini format yang digunakan sebagai batasan adalah rasa kesusilaan
masyarakat tanpa merinci apa yang dimaksud dan cakupan rasa kesusilaan meliputi
hal apa saja. Dengan demikian sama halnya dengan KUH Pidana,
Undang-Undang Pers juga tidak cukup menjelaskan apa yang dimaksud dengan
pornografi tersebut.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak tidak juga menyebutkan secara eksplisit kata pornografi, namun secara
tersirat undang-undang ini sebagaimana dimuat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf
(b) menunjuk adanya bentuk-bentuk eksploitasi seksual atas anak yang
mengarah pada pornografi. Dengan demikian dari beberapa ketentuan perundang-undangan
tersebut di atas, konsep pornografi masih dirumuskan secara sangat umum dan
tidak detail sehingga cenderung mengundang berbagai interpretasi (multi
interpretasi) dengan demikian menjadi tidak mampu secara maksimal menjerat
bentuk-bentuk tindak pidana pornografi yang terjadi.
Pornografi
Ataukah Seni ?
Seni adalah sebuah ekspresi kebebasan. Kebebasan adalah milik
semua orang, sesuatu yang sangat berharga yang dapat dimiliki oleh
setiap insan manusia. Kebebasan adalah sesuatu yang tanpa batas yang tidak
tersentuh oleh apa yang disebut belenggu apapun bentuk dan namanya. Hal
mengenai kebebasan inilah juga yang seolah menjadi nafas bagi sebuah bentuk
berkesenian. Namun persoalan kebebasan berekspresi dalam dunia seni adalah
polemik dan wacana yang terus berkembang dari masa ke masa, benarkah bebas
dalam berkesenian secara absolute menisbikan segala sesuatunya menjadikan bebas
tanpa batas dan digunakan sebagai dasar pembenar bagi logika-logika
mereka yang mengklaim diri sebagai pekerja seni ? Pada sebagian pihak
berkembang pendapat yang menyatakan bahwa memasung ekspresi dalam dunia seni
adalah bentuk pembunuhan terhadap kebebasan berekspresi itu sendiri dan itu
berarti pembunuhan karakter seseorang.
Pandangan demikian sepenuhnya tidak benar, kebebasan
berekspresi dalam berkesenian akan menemui batasannya bilamana mulai menyentuh
antara lain wilayah seksualitas atau pornografi. Dengan demikian kebebasan
berekspresi dalam dunia seni tidaklah sebebas sebagaimana makna dari kata bebas
itu sendiri. Kebebasan akan selalu berimplikasi pada masalah sosial, nilai dan
moral. Dimana kebebasan itu akan berhadapan dengan nilai-nilai kehidupan sosial
manusia lain. Oleh karenanya membatasi kebebasan berkesenian bukanlah berarti
menghalangi hak untuk berekspresi secara umum, namun lebih pada upaya
agar tidak berbenturan dengan nilai sosial dan konsep moralitas yang
dianut orang lain.
Pada tahun 1908 seorang arkeolog Josef Szombathy menemukan
patung kecil perempuan tanpa busana di dalam Lumpur di suatu daerah di luar
kota Willendorf, Austria yang kemudian dikenal dengan Venus dari Willendorf
yang mengekspos secara detail kelamin dengan penggambaran payudara dan pantat
yang besar. Saat itu aura seksualitas yang diumbar dari patung ini melahirkan
konflik yang sengit di antara kalangan arkeolog. Silang pendapat mengenai
penggambaran patung Venus tersebut dianggap apakah sebagai kesenian yang
pornografik ataukah merupakan patung lambang kesuburan dari sifat
keperempuanan ? Pada akhirnya mereka yang merasa terganggu oleh erotisme yang
ditimbulkan oleh patung itu melarang pemuatan gambar patung tersebut dalam
buku-buku kesenian untuk hampir selama 60 tahun sejak patung tersebut
ditemukan.
Hal serupa juga terjadi pada lukisan yang diberi judul
“Ketika Ciuman” karya Auguste Rodin yang pada saat dipamerkan di Paris,
Perancis pada tahun 1898 oleh seorang pengritik dikatakan sebagai sebuah karya
besar. Namun lukisan ini pada dasawarsa yang sama tidak jadi dipamerkan di
Amerika yang pada saat itu memiliki adat yang ketat mengenai masalah
seksualitas. Akhirnya karya Auguste Rodi tersebut disingkirnkan ke dalam kamar
tersendiri pada Pekan Pameran Dunia dan bagi yang ingin melihatnya harus
memperoleh ijin khusus (Burhan Bungin,2003:166).
Dari dua contoh di atas menggambarkan bahwa unsur kepatutan
dan kesantunan juga berlaku di kalangan pekerja seni. Para pekerja seni dengan
mengatasnamakan seni tidak bisa mendapatkan perlakuan instimewa yang
menyebabkan mereka berhak mengekspresikan apapun tanpa batasan. Sebuah karya
seni memang layak untuk dinikmati oleh semua orang, namun tetap pada batasan
“seni” yang tidak melanggar kelaziman dari pengertian seni itu
sendiri. Seorang pelukis/fotografer berhak/bebas membuat lukisan/gambar
pria/wanita tanpa busana, namun peruntukkan hasil lukisannya mempunyai bersifat
terbatas. Jika menjadi koleksi pribadi dan disimpan di tempat yang bersifat
pribadi tentu sah adanya. Akan lain masalahnya jika dipertontonkan pada
khalayak umum, karena saat itu juga standar nilai dan moral masyarakat harus
menjadi bahan pertimbangan yang harus juga dihormati.
Pornografi
dan Kebebasan Asasi
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa berbagai bentuk
kegiatan yang berkait dengan pornografi dianggap menyangkut masalah hak
yang dimiliki oleh tiap orang. Termasuk dalam hal ini kebebasan pers, artinya
pelarangan terhadap pornografi justru dianggap bentuk pelanggaran terhadap hak
asasi manusia. Pemahaman kemerdekaan atau kebebasan yang dilindungi pada
dasarnya adalah kebebasan untuk berbeda pendapat, berdebat, berargumen,
mengkritik atau menyajikan fakta yang menyangkut kepentingan publik. Namun
demikian kemerdekaaan tersebut tidaklah bersifat absolute untuk memuat dan
menyebarkan berbagai bentuk informasi apapun.
Demikian juga dalam hal pornografi, jika yang dipakai sebagai
parameter adalah hak asasi manusia, penulis berpendapat tidak ada sebuah negara
pun di dunia yang benar-benar membebaskan setiap warganya dalam bertindak
sebagai bentuk implementasi dari pelaksanaan hak asasi manusia ini. Tidak ada
negara di dunia yang benar-benar membiarkan pornografi secara bebas beredar di
masyarakat, bahkan di negara yang menganut faham seks liberal sekalipun.
Di negara Eropa dan Amerika, misalnya banyak ditemukan majalah,
gambar, acara televisi atau situs-situs di internet yang menyajikan
perempuan/pria tanpa busana. Hal ini di negara tersebut memang diijinkan tapi
pada saat yang sama mereka juga memberlakukan sejumlah pembatasan dalam hal
peredarannya; bahkan negara-negara tersebut mengeluarkan regulasi yang melarang
dengan ketat kegiatan pornografi dengan corak tertentu yang disebut dengan
child/kid pornografi. Barang siapa yang diketahui mengedarkan, menjual atau
bahkan menyimpan pornografi dalam kategori tersebut diancam dengan hukuman
berat. Semua ini berkaitan dengan aspek kepantasan serta bertujuan untuk
melindungi pihak-pihak yang mungkin akan memperoleh dampak negatif dari
kegiatan tersebut dalam hal ini remaja dan anak-anak.
Di samping itu mereka juga menentukan spesifikasi pornografi
yang dianggap melanggar hukum dan pornografi yang diijinkan tapi penyebarannya
diatur sedemikian rupa hingga tidak menyentuh wilayah publik. Secara hukum, di
negara-negara tersebut telah berlaku aturan-aturan yang tujuannya membatasi
peredaran pornografi antara lain: (1) stasiun televisi yang siarannya ditujukan
pada khalayak umum dilarang menyiarkan adegan seks yang hanya boleh
disaksikan orang dewasa, (2) media yang menampilkan sajian-sajian pornografi
tidak dijual bebas (antara lain dengan batasan usia tertentu, lokasi/tempat
penjualan), (3) situs internet harus menjaga agar tidak mudah diakses oleh
anak/remaja (dengan menuliskan nomor ID Card atau sejenisnya). Dalam
keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 1973, materi seks melalui media
dianggap masuk dalam kategori terlarang apabila: (1) dianggap sebagai materi
yang menjijikkan dan tidak senonoh sebagaimana diukur oleh standar komunitas
setempat, (2) menggambarkan perilaku seksual yang secara terang-terangan bertentangan
dengan standar komunitas, (3) tidak memiliki nilai artistik, politik dan
saintifik (Ade Armando,2004:10). Khusus mengenai hal mengandung nilai artistik
ini juga masih diperdebatkan tentang batasan artistik itu sendiri. Namun
setidaknya ini menunjukkan bahwa pornografi adalah sesuatu yang
dibolehkan tetapi sekaligus juga dijaga untuk tetap berada dalam
koridor nilai sosial dan konsep moralitas yang berlaku di masyarakat.
Seperti halnya masalah pornografi dilihat dari sisi proses
dan prosedur sebagaimana dirumuskan dalam konsep berpikir negara Eropa-Amerika
di atas, maka hak untuk menikmati atau tidak, menerima atau tidak pornografi
-sebagai hasil olah proses dan prosedur- secara umum juga merupakan pilihan
bebas tiap orang, sehingga muncul pandangan mengapa tidak dibebaskan saja tiap
orang untuk menentukan tanpa harus ada batasan untuk berbuat atau tidak berbuat
?
Dalam hal manusia berbicara, bekerjasama, mencipta, membangun
dan bekerja untuk berproduksi serta mengakumulasi pertukaran nilai semua
didasari oleh fenomena rasio yang dominan. Namun di sisi lain pengalaman
manusia juga diperoleh dari sisi estetik dimana secara alamiah tumbuh
kenikmatan-kenikmatan tertentu yang dirasakan manusia. Kenikamatan tersebut
mengakar pada desire, adanya rangsangan yang mengakibatkan sebuah kesadaran
akan sesuatu hal atau orang lain. Stimulan atas desire tersebut antara lain
diperoleh dari pengkayaan imajinasi manusia melalui perantaraan media.
Akumulasi dari penggabungan antara desire dan stimulan yang dimunculkan akan
menimbulkan dorongan untuk bertindak/berbuat. Dalam hal ini manusia tidak bisa
diharapkan akan selalu bertindak dengan cara rasional. Dengan demikian akibat
yang ditimbulkan pun tentu bukanlah sesuatu yang seperti selalu diharapkan dan
hampir pasti menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan. Oleh karena pornografi
dianggap sebagai sesuatu yang mungkin akan memunculkan dampak buruk dari
stimulasi yang ditimbulkan, maka perlu adanya batasan dan aturan main. Jadi
sangat mungkin jika seseorang atau banyak orang memahami bahwa pornografi
bukanlah sesuatu yang sehat bagi masyarakat dan dirinya, maka sikap kritis akan
perlunya regulasi mengenai pornografi ini bukan lagi dipandang sebagai bentuk
pengekangan kebebasan pribadi.
Pornografi,
Eksploitasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan
Keindahan perempuan dan kekaguman lelaki terhadap perempuan
adalah kisah klasik yang tidak akan pernah habis. Dua hal ini jugalah yang
menjadi inspirasi bagi banyak kaum pekerja seni dari masa ke masa. Namun ketika
perempuan menjadi symbol dalam seni yang bersifat komersial, maka kekaguman
tersebut akan berubah menjadi suatu diskriminasi, bersifat sangat
tendensius sekaligus menjadi subordinasi dari symbol kekuatan laki-laki.
Ketika karya-karya seni sampai pada tahap sebagai kebutuhan dan menjadi bagian
dari orientasi bisnis, maka posisi perempuan menjadi sangat potensial untuk
dikomersialkan dan dieksploitasi karena perempuan dianggap sebagai sumber
inspirasi sekaligus ditempatkan sebagai sumber keuntungan yang tidak ada
habisnya.
Keindahan perempuan menempatkan perempuan dalam stereotip
keperempuanannya dan membawa mereka ke dalam sifat-sifat dasar di sekitar
batasan apa yang dimaksud dengan keindahan itu sendiri. Perempuan kerapkali
dicitrakan harus berpenampilan menawan dan menjadi pusat perhatian kaum
lelaki melalui penampilan fisiknya dengan mempertegas sifat kewanitaannya
secara biologis: cantik, berbadan langsing, berkulit putih, berambut panjang,
berkaki jenjang yang kesemuanya itu berangkat sesuai bingkai berpikir dan
selera pria.
Pornografi pada dasarnya memberi ruang yang luas terhadap
penonjolan seksualitas dan unsur erotisme. Dan pada kenyataannya yang lebih
banyak menjadi objek eksploitasi dari kegiatan ini adalah perempuan. Tidak
memungkiri kenyataan bahwa ada juga pria yang dijadikan objek pornografi, tapi
dari presentasi dan lingkup pemasarannya tidaklah seluas dibandingkan
perempuan, sehingga dapat dikatakan bahwa pornografi adalah bentuk media yang
memang diciptakan dan diperuntukkan bagi kaum pria walau tidak bisa dikatakan
juga bahwa pornografi tidak menarik perhatian perempuan. Yang membedakan di
sini adalah bahwa tingkat ketertarikan perempuan terhadap pornografi tetaplah
tidak sebesar ketertarikan kaum pria. Dan ketika perempuan kerapkali dan secara
intens ditampilkan sebagai objek seks, maka opini pria akan menganggap bahwa
perempuan pada dasarnya adalah kaum yang fungsi dan perannya semata hanya
sebagai pemuas nafsu pria sehingga mereka merasa sah dan wajar untuk terus
memperalat perempuan dan menjadikannya bagian dari imajinasi kaum pria.
Cara pandang yang demikian pada gilirannya akan mendorong kaum pria
memperlakukan perempuan sebagai kaum yang derajatnya lebih rendah dan ini akan
menyebabkan banyaknya praktek pelecehan seksual yang dilakukan dengan rasa tidak
bersalah dan tanpa beban.
Eksploitasi dalam pornografi tidaklah dilihat dalam suatu
pemahaman sempit mengenai bagaimana proses keikutsertaan atau keterlibatan
perempuan di dalamnya. Pada banyak kasus para perempuan yang terlibat dalan
pornografi kemungkinan besar berangkat dari keinginan/kesadaran sendiri dan
tidak dipaksa yang di latarbelakangi banyak faktor, misal masalah ekonomi,
ingin terkenal, jalan pintas untuk populer dan sebagainya. Namun yang dimaksud
eksploitasi disini adalah lebih pada gagasan yang dibawa oleh pornografi itu
sendiri, artinya melalui pornografi kaum perempuan secara konsisten dan
berkelanjutan ditampilkan dalam posisi yang rendah. Perempuan dianggap sebagai
mahkluk yang hanya bermodalkan daya tarik seksual semata. Kaum perempuan yang
tampil dalam media pornografi secara tidak langsung telah mempertegas
eksploitasi terhadap kaumnya sendiri dan memperkokoh cara pandang bahwa pada
dasarnya perempuan hanyalah sebatas obyek seks semata. Akibat yang ditimbulkan
dari cara pandang yang demikian adalah makin subur dan langgengnya berbagai
bentuk pelecehan, penindasan dan eksploitasi perempuan baik yang bersifat fisik
maupun non-fisik. Dengan kata lain media pornografi dianggap memberi
justifikasi terhadap perendahan martabat perempuan.
Satu hal yang secara nyata mempertegas argumen ini adalah
maraknya pemberitaaan dengan menggunakan tubuh perempuan di media massa
merepresentasikan telah berkembangnya suatu political economi of the body,
yakni perempuan dijadikan komoditi atau alat untuk kepentingan ekonomi yang
didasarkan pada konstruksi sosial dan ideology tertentu. Dimana hal ini berarti
bahwa penggunaan tubuh perempuan di media sebagai salah satu ajang pornografi
merupakan suatu hal yang dipolitisir untuk tujuan ekonomi dengan aturan yang
telah diatur sedemikian rupa berdasarkan kepentingan pasar (economic
interest), misal iklan, kalender, video klip, majalah, tabloid dsb.
Kebudayaan patriarkis yang melembaga dalam masyarakat kita ikut mengambil peran
munculnya eksploitasi terhadap perempuan di berbagai media dikarenakan anggapan
masyarakat bahwa pria berhak memenuhi kebutuhannya dan menganggap
perempuanlah solusinya, tentu ini sangat merugikan kaum perempuan.
Argumentasi bahwa pornografi merupakan bentuk eksploitasi
perempuan antara lain karena secara sosial-ekonomi, pornomedia/pornografi
dianggap mempunyai sifat mendua. Satu sisi, dalam banyak kasus pornografi
perempuan sebagai objek pornografi/pornomedia dan/atau penciptanya memperoleh
bayaran yang cukup besar atas pemuatan gambar/foto/film porno miliknya yang
dimuat di media massa. Di sini pornografi/pornomedia dianggap sebagai kegiatan
yang menghasilkan sejumlah uang dan menjadi sumber penghasilan bagi individu-individu
tersebut. Di sisi lain, keberadaan pornografi/pornomedia diyakini ada karena
diinginkan oleh masyarakat sendiri, artinya masyarakat mengambil bagian yang
besar terhadap munculnya pornografi/pornomedia ini. Keadaan demikian turut
menyebabkan longgarnya kontrol sosial masyarakat terhadap pornografi atau
pornomedia disamping pemerintah sendiri tidak dapat berbuat banyak karena
minimnya peraturan. Dengan demikian fungsi kontrol yang seharusnya ada pada
masyarakat dan pemerintah menjadi sesuatu yang absurd. Oleh karenanya sifat
ambivalen inilah disinyalir makin memperkuat bentuk eksploitasi
perempuan di media.
Pornografi merupakan salah satu bentuk eksploitasi seks dan
karenanya mempunyai korelasi dengan kekerasan terhadap perempuan karena pornografi
berdampak pada kekerasan domestik dan trafficking, pornografi sendiri merupakan
bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menempat perempuan sebagai
korban, namun pada saat yang bersamaan pornografi memposisikan perempuan
sebagai pelaku (kriminalisasi) walau sebenarnya perempuan adalah sebagai korban
(reviktimisasi).
Lebih jauh lagi secara khusus- pornografi juga dianggap
sebagai salah bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan di media massa karena:
(a) media dengan sengaja menggunakan objek perempuan untuk keuntungan bisnis
mereka, dengan demikian penggunaan pornomedia dilakukan secara terencana untuk
mengabaikan, menistakan dan mencampakkan harkat manusia, khususnya perempuan,
(b) objek pornomedia (umumnya tubuh perempuan) dijadikan sumber kapital yang
dapat mendatangkan uang, sementara perempuan sendiri menjadi subjek yang
disalahkan, (c) media massa telah mengabaikan aspek-aspek moral dan
perusakan terhadap nilai-nilai pendidikan dan agama serta tidak
bertanggungjawab terhadap efek negatif yang terjadi di masyarakat, (d) selama
ini berbagai pendapat yang menyudutkan perempuan sebagai subyek yang
bertanggungjawab atas pornomedia tidak pernah mendapat pembelaan dari media
massa dengan alasan pemberitaan dari media harus berimbang, (e) media massa
secara politik menempatkan perempuan sebagai bagian dari kekuasaan mereka
secara umum (Burhan Bungin, 2003:234).
Ketentuan
Mengenai Pornografi
Sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini dalam
beberapa undang-undang tidak ditemukan rumusan mengenai apa yang dimaksud
dengan pornografi atau bentuk porno yang lain secara spesifik, secara umum
pasal-paal dalam beberapa undang-undang hanya menyebut soal kesusilaan
sehingga hal ini mengakibatkan sulitnya menentukan suatu kegiatan/aktifitas
tertentu tergolong pornografi/bentuk porno yang lain atau tidak. Argumentasi
yang sama kemudian sering dipakai untuk menghindar dari jeratan hukum dengan
mendalilkan/menyamakan bentuk kreatifitas tersebut sebagai sebuah seni/art. Hal
inilah yang mempersulit pemberantasan berbagai bentuk porno di masyarakat.
Sebenarnya dalam beberapa undang-undang terdapat pasal-pasal
yang bisa menjerat “pornografi”, antara lain KUH Pidana. Dari KUH Pidana ini
pasal yang digunakan adalah pasal mengenai kesusilaan, antara lain Pasal 282
KUH Pidana : “barangsiapa yang menyiarkan….gambar atau benda yang telah
diketahui isinya melanggar kesusilaan atau barang siapa…… membikin tulisan,
gambaran atau benda tersebut…atau memiliki persediaan….atau mengedarkan….
menawarkan… atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh….diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan…” Selain itu Pasal 533
KUH Pidana: “ diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan….barang
siapadengan terang-terangan mempertunjukkan….gambar atau benda yang mampu
membangkitkan nafsu birahi remaja….” Apa yang dituangkan dalam pasal-pasal
tersebut menunjukkan bahwa aktivitas yang dimaksud termasuk pada pornografi
terkait dengan kegiatan membuat, menyimpan, menyiarkan dan mengedarkan.
Ancaman terhadap tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
pornografi ditemukan juga dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang
Pers yang dinyatakan: “Pers Nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan
opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat”.
Kemudian pelarangan yang berkaitan dengan pemuatan pornografi di media, di atur
dalam Pasal 13 huruf (a) undang-undang ini: “perusahaan pers dilarang memuat
iklan yang… bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat”. Selain
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, ketentuan yang secara khusus terkait
pornografi dengan media audio visual diatur dalam Undang-Undang Perfilman serta
Undang-Undang Penyiaran. Dalam Pasal 33 Undang-Undang Perfilman dinyatakan:
“setiap film dan reklame film yang akan diedarkan atau dipertunjukkan di
Indonesia wajib sensor terlebih dahulu”. Pelanggaran atas pasal ini diancam
hukuman pidana kurungan 5 (lima) tahun dan atau paling banyak di denda lima
puluh juta rupiah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 undang-undang ini. Dalam
hal ini lembaga yang diserahi wewenang melakukan sensor adalah Lembaga Sensor
Film (LSF) dengan berdasar pada Peraturan Pemerintah yang berlaku. Selain itu
dalam Undang-Undang Penyiaran Pasal 36 ayat (5) menyatakan : ”bahwa isi siaran
televisi dan radio dilarang menonjolkan unsur cabul“, sedangkan dalam Pasal 36
ayat (6) dinyatakan melarang memuat hal yang merendahkan, melecehkan dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia”.
Pelanggaran atas ketentuan Pasal 36 tersebut di atas dihukum
pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau denda maksimal satu milyard rupiah
untuk radio dan pidana maksimal 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal sepuluh
milyard untuk televisi. Ketentuan yang diatur dalam beberapa undang-undang di
atas hanya mengatur pelarangan kegiatan yang disinyalir memuat unsur
pornografi, namun tidak sampai menyentuh mengenai objek dari pornografi itu
sendiri dalam hal ini perempuan, belum jelasnya batasan tentang pornografi dan
jenis porno yang lain serta aspek pornografi sebagai bentuk kekerasan terhadap
perempuan. Berdasarkan pada hal di atas dan juga melihat banyak kasus kekerasan
terhadap perempuan yang diakibatkan pornografi serta merujuk pada Pasal 1 jo
Pasal 2, Pasal 5 huruf (a) dan Pasal 6 Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang
ratifikasi CEDAW, maka disusunlah RUU tentang Anti Pornografi dan Anti
Pornoaksi.
Pengertian pornografi dalam konsep RUU ini dinyatakan dalam
Pasal 1 ayat (1) yang memberikan batasan sebagai : “suatu substansi dalam media
atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan tentang seks dengan
cara mengeksploitasi seks, kecabulan dan/atau erotika”. Banyak kritikan yang
dialamatkan pada RUU ini oleh sejumlah lembaga juga aktivis perempuan berkenaan
dengan ketentuan yang termuat dalam RUU ini. Beberapa yang dikritisi dari RUU
ini antara lain mengenai definisi yang tidak jelas yang mengaburkan batasan
antara pornografi dengan kecabulan dan erotika; batasan yang belum jelas
mengenai media serta kerancuan tentang aspek publikasi dalam batasan
pornografi; kriminalisasi terhadap korban; tidak masuknya unsur kekerasan
terhadap perempuan dalam konteks pornografi; spesifikasi tentang apa yang
dimaksud dengan barang pornografi; penentuan yang dimaksud subjek hukum
kegiatan pornografi; batasan yang berkait dengan karya seni yang bersifat
pornografik dan masih kaburnya batasan tentang pornoaksi.
Pembahasan atas RUU ini masih berlangsung, debat mengenai
substansi dari RUU ini masih terus berlanjut dan kita juga belum dapat
memastikan kapan akan menemukan titik temu untuk merumuskan konsep
undang-undang yang benar-benar merepresentasikan banyak hal. Namun kita boleh
berharap bahwa apa yang akan dihasilkan nanti akan sungguh menentramkan banyak
kegundahan dan memberikan keseimbangan bagi banyak kepentingan. Kesadaran bahwa
penghormatan terhadap perempuan tidak hanya terbatas pada kekaguman akan
keindahan, kecantikan dan kelembutan akan memberikan ruang yang lebih bagi
perempuan untuk merepresentasikan diri secara lebih manusiawi.
Penutup
Pemikiran yang menginginkan pengaturan atas
pornografi/pornomedia hendaknya tidak hanya bersifat situasional dan
hanya sebatas formalitas semata, namun harus dibahas secara serius dan terarah. Jelas tujuan dan mampu melindungi perempuan, dapat mereduksi unsur
perendahan martabat perempuan serta menghilangkan kesan mensubordinasi
perempuan melalui proses stereotipikasi peran seks dan pengkondisian gender.
Daftar
Pustaka
Armando,Ade.
Mengupas Batas Pornografi. Jakarta: Meneg Pemberdayaan Perempuan, 2004.
Bungin,Burhan.
Pornomedia: Kontruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di
Media Massa. Jakarta: Kencana, 2003.
____________.
Imaji Media Massa,Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam
Masyarakat Kapitalistik. Yogyakarta: Jendela, 2002.
____________.
Erotika Media Massa. Surakarta: MUP, 2001
Fakih,
Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Jakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Gunawan,Rudi
dan Seno Joko S. Wild Reality: Refleksi Kelamin dan Sejarah Pornografi. Jakarta:
Indonesia Tera dan Gagas Media, 1992.
Itzin,Chaterine
(ed). Pornography: Women Violence and Civil Liberties-A Radical New View.
Oxford: Oxford University Press, 1992.
Lipsitz
Bem,Sandra. The Lenses of Gender: Transforming the Debate on Sexual Inequality.
New Haven and London : Yale University Press, 1993.
Piliang,Yasraf Amir. Perempuan dan
Pornografi: Komodifikasi Perempuan dalam Bahaya Kapitalisme, makalah
disampaikan pada Diskusi Publik ‘Menguak Pornografi’, diselenggarakan oleh
Institut Perempuan bekerjasama dengan LBH Bandung,
Bandung: 20 Juli 2002.