Artikel Budaya Menyontek Di Kalangan Pelajar
PENDAHULUAN
Kata
menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Setiap
orang pasti ingin mendapat nilai yang baik dalam ujian, dan sudah tentu
berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Masalah menyontek
selalu terkait dengan tes atau ujian. Banyak orang beranggapan menyontek
sebagai masalah yang biasa saja, namun ada juga yang memandang serius masalah
ini.
Fenomena
ini sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah,
tetapi jarang kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup
diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau
madrasah itu sendiri.
Sudah
dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk
mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari
afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas,
tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek mencontek.
Proses
belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi (2005),
biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak
melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk
mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau
pilihan berganda (kognitif). Pelajaran agama, KWN, dan musik yang seharusnya
melibatkan aspek afektif, ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan)
sehingga tidak ada proses refleksi dan apresiasi.
Karena,
menghafal buku teks (yang memang diwajibkan untuk bisa menjawab soal ujian), adalah
skill yang paling tidak penting bagi manusia . Jadi, mereka didik hanya menjadi
robot; tidak ada inisiatif, dan pasif. Manusia ini biasanya tidak dapat
berpikir kritis, dan tidak dapat menganalisis permasalahan, apalagi mencari
solusinya, sehingga mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal
yang negatif. (Megawangi, 2005).
Pengalaman
penulis ketika di Sekolah Dasar budaya menyontek sudah mulai ada, ketika
latihan menjawab soal-soal matematika,beberapa teman-teman sudah berani melihat
jawaban temanya dan menyalinnya. Di Sekolah Menengah Pertama, penulis menjadi
korban teman yang nakal dan malas yang secara tiba-tiba mengambil jawaban
penulis dan menyalinnya di lembar jawabannya, perbuatan ini tidak bisa dicegah
karena ada rasa takut dan kasihan dengannya. Bahkan terkadang mereka tanpa
takut dan malu melihat buku catatan dan meminta jawaban kepada teman yang
dianggap pintar ketika ujian. Perbuatan ini mungkin saja diketahui oleh
pengawas atau guru mata pelajaran yang diujikan, atau mungkin pula mereka
pura-pura tidak tahu, entahlah yang jelas nilai ujian mereka ternyata hasilnya
cukup baik.
Anehnya
perbuatan menyontek tersebut dibiarkan saja oleh pengawas ujian (pada waktu itu
ulangan umum), tidak dilaporkan kepada guru, Meskipun ada guru yang
mengetahuinya, mereka tidak menanggapinya dengan serius, tidak memberi teguran
serta sanksi sama sekali, mungkin hal tersebut adalah hal biasa saja dan bagian
dari usaha para siswa.
Jika
tidak ada sanksi, maka orang akan cenderung mengulangi lagi. Jelas ini
merugikan siswa-siswi yang rajin belajar, karena objektifitas penilaian tidak
ada sama sekali yang dilihat hasil ujian bukan keseluruhan proses dalam
pembelajaran. Dan pernah terjadi siswa yang jujur dalam menjawab pertanyaan
nilainya lebih rendah daripada siswa yang jelas-jelas menyontek siswa yang
jujur tersebut. Akibatnya ia menjadi prustasi, dendam dan marah kepada diri
sendiri yang mudah sekali dicontek teman, marah kepada teman yang menyonteknya,
marah kepada guru yang memberi nilai yang tidak obyektif. Penulis pernah merasa
kecewa sekali ketika ujian salah satu mata pelajaran yang penulis sendiri yakin
akan kebenaran jawaban itu tiba-tiba ada pengawas yang menuliskan jawaban itu
di papan tulis. Tentu mengembirakan siswa-siswi yang tidak bisa menjawab tetapi
mengecewakan siswa-siswi yang benar menjawabnya.
Tetapi
ada juga guru yang mempunyai pengalaman yang luas dan mengetahui karakteristik
siswanya, sang guru akan curiga jika siswa yang sehari-harinya biasa-biasa
saja, ketika ulangan atau ujian nilainya bagus semua, dan semakin curiga lagi
jika jawaban siswa tersebut sama persis dengan buku catatan dan sama dengan
jawaban anak yang pintar dan duduk didekat atau disebelahnya.
Ketika
penulis berada di Sekolah Menengah Atas, masalah ini semakin banyak saja, dan
suatu peristiswa yang penulis saksikan seorang juara kelas dibuat malu oleh
gurunya karena dicurigai bekerjasama dalam ulangan harian sehingga harus
ulangan harian lagi bersama-sama siswa-siswi yang dicurigai menyontek atau
bekerja sama. Padahal menurut penulis pada waktu itu tidak mungkin seorang
juara kelas menyontek, pasti jawabannya yang dicontek teman yang lain sehingga
jawaban mereka sama semua.
Dan
masih di sekolah tersebut teman penulis yang nilainya pas-pasan pada semester
pertama, dan mendapat rangking di atas 40 dari 50 siswa, tiba-tiba masuk
sepuluh besar di kelas itu disebabkan ketika ulangan umum semester kedua ia
duduk sebangku dengan juara kelas. Apakah ini adil dan obyektif. Dimana
pengamatan guru selama ini terhadap siswa-siswinya.
Masih
masalah menyontek ternyata di perguruan tinggi semakin canggih lagi, karena ada
istilah dikalangan mahasiswa “ngakal tetapi berakal, menyontak pakai otak”.
maksudnya menyontek itu tidak sama dengan menyalin pelajaran, ambil intinya
saja, atau menggunakan kata-kata lain yang maksudnya sama dengan yang ada di
buku dan jawaban teman.
Anehnya
perbuatan contek menyontek dikalangan pelajar sampai saat ini masih saja ada,
tidak pernah terdengar ada sanksi, skorsing, pengurangan nilai atau pembatalan
kenaikan kelas bagi siswa-siswi yang ketahuan menyontek dalam ulangan. Tidak
pernah ada dalam rapat orang tua, guru, kepala sekolah, pengawas, dan pembina
pendidikan membicarakan masalah menyontek, sekolah seakan menutup diri,
seolah-olah semua siswa-siswinya bersih dalam praktek menyontek.
Satu
hal lagi yang merugikan para siswa adalah sistem penilaian guru sangat
subyektif, kebanyakan menilai jawaban siswa saja, tanpa melihat proses
bagaimana ia mendapatkan nilai tersebut, sehingga menimbulkan kerugiaan tidak
hanya pada siswa yang pintar tetapi juga pada siswa yang malas.
Jika ini terus dibiarkan saja oleh kita sebagai guru, orang tua murid, pemerhati pendidikan, pejabat pemerintah dan semua komponen masyarakat lainnya, maka dunia pendidikan tidak akan maju, malahan menciptakan manusia tidak jujur, malas, yang cenderung mencari jalan pintas dalam segala sesuatu dan akhirnya menjadi manusia yang menghalalkan segala cara untukmencapai tujuan yang diinginkannya
Jika ini terus dibiarkan saja oleh kita sebagai guru, orang tua murid, pemerhati pendidikan, pejabat pemerintah dan semua komponen masyarakat lainnya, maka dunia pendidikan tidak akan maju, malahan menciptakan manusia tidak jujur, malas, yang cenderung mencari jalan pintas dalam segala sesuatu dan akhirnya menjadi manusia yang menghalalkan segala cara untukmencapai tujuan yang diinginkannya