Artikel Ontologi Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu (PEMBAHASAN DAN PENUTUP)
Ontologi merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat
ilmu yang menetapkan batas lingkup teori tentang hakikat realitas yang ada
(being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisika (ma ba’da
al-Thobi’ah). Selain itu, ontologi merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa
hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak
terlepas dari perspektif filsafat tentang apa yang dikaji atau hakikat realitas
yang ada yang memiliki sifat universal.
Istilah
ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “on” atau “ontos” artinya yang berada
dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian secara
etimologi, ontologi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada.
Sedangkan yang dimaksud ontologi dalam pengertian terminologisnya adalah kajian
tentang hakikat segala sesuatu atau realitas yang ada yang memiliki sifat
universal, untuk memahami adanya eksistensi. Istilah ontologi
dipopulerkan oleh Christian Wolff (1679-1714).
Ontologi
yakni hakikat apa yang dikaji, penyelidikan prinsip-prinsip realita. Menurut
Syam (1988) ontologi kadang-kadang disamakan dengan metafisika. Sebelum
menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu. Dalam
berinteraksi dengan alam semesta, manusia melahirkan berbagai pertanyaan
filosofis, di antaranya ; apakah sesungguhnya hakikat realita yang ada ini,
apakah realita yang nampak ini suatu realitas materi saja, ataukah ada sesuatu
dibalik realita itu, satu "rahasia" alam. Apakah wujud semesta ini
bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah hakikat semesta ini adalah
perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk satu unsur (monisme), dua
unsur (dualisme), ataukah lebih dari dua unsur (pluralisme).
Ontologi
dipersamakan dengan istilah “metafisika”. Para ahli yang mempersamakan ontologi
dengan metafisika adalah Nicolai Hartmann seorang ahli ontologi dan Gottfried
Martin di dalam bukunya “Allgemein Metaphysic”. Nina Syam (2010:92) memaparkan
bahwa ontologi merupakan metafisika umum yang membicarakan tentang hal ‘ada’ (being). Metafisika sendiri berasal dari
bahasa Yunani, meta dan taphisica, diartikan sebagai yang ada dibalik atau
dibelakang benda-benda fisik. Aristoteles tidak menggunakan istilah metafisika
melainkan proto philosophia (filsafat pertama).
Beberapa karakteristik ontologi seperti diungkapkan
Bagus, antara lain dapat disederhanakan sebagai berikut:
1. Ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial”
dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal
yang ada secara khusus.
2. Cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas
dalam arti seluas mungkin.
3. Cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat ada yang
terakhir.
4. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas
apakah nyata atau semu.
Louis
O. Kattsoff membagi ontology dalam 3 (tiga) bagian: ontology bersahaja,
ontology kuantitatif, dan ontology monistik. Dikatakan ontology bersahaja sebab
segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan
ontologi kuantitatif karena dipertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya.
Sedangkan ontology monistik melahirkan monism atau idealism. Ada beberapa
pertanyaan ontologis yang melahirkan aliran-aliran filsafat. Misalnya
pertanyaan apakah yang ada itu? (what is
being?) Bagaimanakah yang ada itu? (how
is being?) Dan dimanakah yang ada itu? (where
is being?).
Secara
sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau
kenyataan konkret secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi,
yakni realisme, naturalisme, empirisme. Dalam
hal ini Kattsoff (1987) memberikan banyak term dasar mengenai bidang ontology,
misalnya:
1. Yang-ada
(being)
2. Kenyataan/realitas
(reality)
3. Eksistensi
(existence)
4. Esensi
(essence)
5. Substansi
(substance)
6. Perubahan
(change)
7. Tunggal
(one)
8. Jamak
(many)
Hakekat
kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut
pandang:
1. Kuantitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak
2. Kualitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga
mawar yang berbau harum.
Secara ontologis, ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya
hanya pada daerah-daerah yang berbeda dalam jangkauan pengalaman manusia.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah
merupakan konsistensi pada asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya
verifikasi secara empiris dalam proses penyusunan pernyataan yang benar secara
ilmiah (Jujun, 1990:3).
B.
PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa ontologi yaitu
merupakan suatu teori/ilmu yang mengkaji tentang wujud atau ‘ada’ dan asal mula
hakikat suatu kehidupan di dunia yang bersifat realitas dengan melihat dari
sisi belakang atau dibalik benda-benada fisik, serta ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan ultimate
reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak.
DAFTAR PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri. 1996. Ilmu dalam Perspektif
Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini.
Jakarta : Gramedia.
Jujun S. Suriasumantri. 2005. Filsafat Ilmu : Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan.
Nina W. Syam. 2000. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media
Syah, Hidayat. 2000, Filsafat Pendidikan Islam. Pekanbaru: LP2S Indrasakti
The Liang Gie. (1991) Pengantar Filsafat Ilmu.
Yogyakarta : Liberty.