Makalah Epistemologi Dalam Filsafat Ilmu (BAB II)
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Epistemologi
Epistemologi berasal
dari kata episteme dan logos, berasal dari bahasa Yunani. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Jadi Epistemologi
dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan (Theory of Knowledge).
Atau menurut Webster Third New International
Dictionary mengartikan epistemologi sebagai "The Study of method and ground of knowledge, especially with reference
to its limits and validity". Paul Edwards, dalam The Encyclopedia of
Philosophy, menjelaskan bahwa epistemologi adalah "the theory of knowledge." Pada tempat yang sama ia menerangkan bahwa epistemologi merupakan "the branch of philosophy which concerned
with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and the
general reliability of claims to knowledge."
Beberapa
tokoh juga mendefinisikan tentang Epistemologi antara lain kedua tokoh dari
Indonesia yaitu: P.Hardoyo Hadi menyatakan bahwa Epistemologi adalah cabang
filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skop pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta bertanggung jawab atas pernyataan
tentang pengetahuan yang dimiliki (Gallagher,1994:5). Sedangkan menurut D.W.
Hamlyn bahwasannya epistemologi adalah sebagai cabang dari filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengendalian-pengendaliannya serta secara umum hal itu dapat di andalkannya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan (Edward,1967:8-9).
Epistemologi juga
disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika
dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika
mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti
silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian
yang sama dengan lingkup epistemologi. Epistemologi
juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan
patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Jacques
Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal utama untuk menjawab
pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan
saya dapat tahu”, yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah
memiliki potensi untuk memeroleh pengetahuan.
B. Ruang Lingkup
Epistemologi
M.
Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber, dan
validitas pengetahuan. Mudlor Ahmad merinci menjadi enam aspek yaitu hakekat,
unsur, macam, tumpuan, batas dan sasaran pengetahuan, bahkan A. M. Saefuddin
menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah
ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun
ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai itu,
mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai
di manakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah
pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu (Saefuddin,1991:31).
M.
Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak
terbatas pada dataran asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara
konseptual-filosofis. Penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi
memudahkan pemahaman seseorang, terutama untuk tahapan pemula.
C. Aliran-aliran
Epistemologi
Ada beberapa aliran yang membicarakan
tentang ini yaitu:
1. Empirisme
Empirisme berasal dari kata yunani yaitu empeirikos yang berasal dari kata empiria, artinya pengertian. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan apabila dikembalikan pada kata Empiria maka pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi yaitu pendengaran, penglihatan dan lain-lain. Sehingga dapat dicontohkan bahwa manusia tahu tentang es dingin karena kita menyentuhnya.
1. Empirisme
Empirisme berasal dari kata yunani yaitu empeirikos yang berasal dari kata empiria, artinya pengertian. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan apabila dikembalikan pada kata Empiria maka pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi yaitu pendengaran, penglihatan dan lain-lain. Sehingga dapat dicontohkan bahwa manusia tahu tentang es dingin karena kita menyentuhnya.
John Locke (1632-1704) adalah bapak
aliran ini dan pada zaman modern mengemukakan sebuah teori yang bernama Tabula
Rasa yang secara bahasa berarti meja lilin. Maksud dari teori ini adalah
bahwa manusia pada mulanya kosong dari penetahuan, lantas pengalaman-pengalaman
manusia tersebut yang akan mengisi kekosongan tersebut. Mula-mula pengetahuan
yang di tangkap melalui indra manusia itu sederhana akan tetapi lama kelamaan
akan menjadi semakin ruwet baru akan tersusun pengetahuan yang hakiki. Ini
berarti bagaiman pun kompleks ruwetnya suatu pengetahuan manusia, Ia selalu
dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Dan dapat dikatakan sesuatu yang
tidak dapat diamati dengan indera bukan pengalaman yang benar. Jadi pengalaman
indera adalah pengetahuan yang sebenarnya.Oleh karena itu metode penelitian
yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen.
Kelemahan aliran ini cukup banyak. Kelemahan pertama adalah indera manusia sangatlah terbatas.Misalnya benda yang jauh kelihatan kecil dan apakah bendah tersebut kecil? Tentu tidak. Dari contoh diatas dapat dikatakan bahwa keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan objek tidak sebagaimana aslinya atau adanya. Dan dari sini akan menimbulkan suatu pengetahuan yang salah. Kelemahan yang kedua adalah indera manusia dapat menipu. Misalnya ketika seseorang sakit malariah gula rasanya pahit dan udara panas akan di anggapnya sangat dingin. Dan ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga. Kelemahan yang ketiga adalah objek yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarna tidak di tangkap oleh alat indera.
Kelemahan aliran ini cukup banyak. Kelemahan pertama adalah indera manusia sangatlah terbatas.Misalnya benda yang jauh kelihatan kecil dan apakah bendah tersebut kecil? Tentu tidak. Dari contoh diatas dapat dikatakan bahwa keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan objek tidak sebagaimana aslinya atau adanya. Dan dari sini akan menimbulkan suatu pengetahuan yang salah. Kelemahan yang kedua adalah indera manusia dapat menipu. Misalnya ketika seseorang sakit malariah gula rasanya pahit dan udara panas akan di anggapnya sangat dingin. Dan ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga. Kelemahan yang ketiga adalah objek yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarna tidak di tangkap oleh alat indera.
Karena objek tersebut membohongi
alat indra manusia maka dapat menimbulkan pengetahuan indrawi yang salah. Yang
kelemahan yang keempat berasal dari indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini
dapat di contohkan indera yang paling berperan adalah indera penglihatan tidak
mampu melihat seekor kerbau secara keseluruan dan kerbau itu juga tidak mampu
memperlihatkan badannya secara keseluruan.
Artinya jika kita melihat kerbau
tersebut dari depan maka yang hanya terlihat adalah kepalahnya saja dan kerbau
pada saat itu tidak dapat memperlihatkan ekornya. Dan dapat disimpulkan bahwa
empiris lemah karena keterbatasan indera manusia oleh karena itu, muncul aliran
resionalisme dan terdapat aliran yang mirip dengan empirisme yaitu
sensasionalisme. Sensasi artinya rangsangan inderawi dan secara kasar sensasi
adalah pengalaman inderawi.(Tafsir, 2003:24)
2. Rasionalisme
2. Rasionalisme
Secara singkat aliran ini menyatakan
bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Dan dapat di artikan pengetahuan
yang benar diperoleh dan diukir dengan akal. Manusia, menurut aliran ini
memperoleh pengetahuan dengan kegiatan akal dalam menangkap objek. Orang
mengatakan bahwa bapak dari aliran ini adalah Rene Descarte (1596-1650) akan
tetapi, sesunguhnya psham seperti ini sudah ada sejak dahulu. Dan ini
diwujudkan bahwa orang-orang yunani kuno telah meyakini juga bahwa akal adalah
alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar.
Rasionalisme tidak mengingkari
kegunan indera dalam memperoleh pengetahuan akan tetapi pengalaman indera
diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan akal agar dapat
berkerja secara baik. Tetapi Laporan indera menurut rasionalisme merupakan
bahan yang belum jelas.Bahan ini kemudian dipertimbangkan oleh akal melalui
pengalaman berpikir.Jadi akal bekerja karena danya bahan dari indera.Akan
tetapi akal juga dapat menghasilkan pengtahuan yang tidak berasalkan inderawi
sekalipun.Akan tetapi gabungan antara indera dan akal masih belum untuk mampu
memperoleh pengetahuan yang lengkap. Hal ini dikarenaka dengan indera manusia
hanya mampu mengetahui bagian-bagian tertentu tentang tentang objek.di bantu
degnan akal manusia juga belum mampu memperoleh pengetahuan yang utuh.
Kerjasama antara empirisme dan
rasionalisme inilah yang melahirkan pengetahuan sains(scientific Epistemol) yang dalam bahasa Epistemol diartikan sebagai
penetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan.dan lanjutannya empirisme dan
rasionalisme didalam filsafat pengetahuan adalah aliran pistemolo. (Tafsir,
2003:25)
3. Positivisme
Tokoh aliran ini adalah Aguste Compte (1798-1857). Ia adalah penganut alirab Empirisme. Ia berpandangan bahwa indera itu aman penting dalam memperoleh pengetahuan, akan tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Contoh simpelnya adalah panas di ukur dengan menggunaka derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat di ukur dengan neraca atau timbangan. Kita tidak dapat mengatakan kopi itu panas, panas sekali, atau tidak panas sebelum kita menelitinya. Dan dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dari akal, didukung bukti empiris yang terukur. “Terukur” itulah sumbangan Epistemologi.
Jadi, pada dasarnya positivme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurkan empirisisme dan rasionalisme. Yang saling berkerjasama. Dengan kata lain, ia menyampurkan metode ilmiah dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran. Jadi, pada dasarnya epistemologi itu sama dengan empirisme plus rasionalisme. (Tafsir, 2003:26)
4. Intuisionisme
Henri Bergson (1859-1941) adalah tokoh alian ini. Ia berpendapat bahwa tidak hanya indera, akal yang terbatas akan tetapi objek-objek yang kita tangkap selalu berubah. Jadi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal, Bergson mengembangkan satu pengetahuan tingkat pemahaman yang tinggi. Kemampuan itu mirip dengan instinct (instuisi) akan tetapi kemampuan ini memerlukan suatu usaha dan unik. Jadi indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangkan instuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap. (Encyclopedia Americana, 3:580-1).
5. Kritisme
Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru di mana seseorang ahli pemikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mencoba menyelesaikan persoalan di atas. Pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme tetapi terpengaruh oleh aliran empirisme. Akhirnya Kant mengakui peranan akal harus dan keharusan empiris, kemudian dia mencoba mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (Rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari pengalaman (empirisme).
6. Idelisme
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini dimiliki oleh plato dan pada filsafat modern.
Idealisme memunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi tergantung pada spirit tidak disebut idealisme karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh idealisme. Idealisme secara umum berhubungan dengan rasionalisme. Ini adalah mazhab epistemologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan deduktif dapat diperoleh dari manusia dengan akalnya.
3. Positivisme
Tokoh aliran ini adalah Aguste Compte (1798-1857). Ia adalah penganut alirab Empirisme. Ia berpandangan bahwa indera itu aman penting dalam memperoleh pengetahuan, akan tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Contoh simpelnya adalah panas di ukur dengan menggunaka derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat di ukur dengan neraca atau timbangan. Kita tidak dapat mengatakan kopi itu panas, panas sekali, atau tidak panas sebelum kita menelitinya. Dan dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dari akal, didukung bukti empiris yang terukur. “Terukur” itulah sumbangan Epistemologi.
Jadi, pada dasarnya positivme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurkan empirisisme dan rasionalisme. Yang saling berkerjasama. Dengan kata lain, ia menyampurkan metode ilmiah dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran. Jadi, pada dasarnya epistemologi itu sama dengan empirisme plus rasionalisme. (Tafsir, 2003:26)
4. Intuisionisme
Henri Bergson (1859-1941) adalah tokoh alian ini. Ia berpendapat bahwa tidak hanya indera, akal yang terbatas akan tetapi objek-objek yang kita tangkap selalu berubah. Jadi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal, Bergson mengembangkan satu pengetahuan tingkat pemahaman yang tinggi. Kemampuan itu mirip dengan instinct (instuisi) akan tetapi kemampuan ini memerlukan suatu usaha dan unik. Jadi indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangkan instuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap. (Encyclopedia Americana, 3:580-1).
5. Kritisme
Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru di mana seseorang ahli pemikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mencoba menyelesaikan persoalan di atas. Pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme tetapi terpengaruh oleh aliran empirisme. Akhirnya Kant mengakui peranan akal harus dan keharusan empiris, kemudian dia mencoba mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (Rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari pengalaman (empirisme).
6. Idelisme
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini dimiliki oleh plato dan pada filsafat modern.
Idealisme memunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi tergantung pada spirit tidak disebut idealisme karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh idealisme. Idealisme secara umum berhubungan dengan rasionalisme. Ini adalah mazhab epistemologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan deduktif dapat diperoleh dari manusia dengan akalnya.
D.
Kebenaran Pengetahuan
Jika seseorang memermasalahkan dan ingin
membuktikan apakah pengetahuan itu bernilai benar, menurut para ahli
epostemologi dan ahli filsafat, pada umumnya untuk membuktikan bahwa
pengetahuan bernilai benar, seseorang menganalisis terlebih dahulu cara, sikap
dan sarana yang digunakan untuk membangun suatu pengetahuan. Ada beberapa teori
yang menjelaskan tentang kebenaran (Surajiyo, 2005) antara lain sebagai
berikut:
1.
The
correspondence theory of truth (Teori Kebenaran Saling Berkesesuian)
Berdasarkan teori pengetahun Aristoteles yang menyatakan bahwa
kebenaran itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat
dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya..
2.
The
Semantic Theory of Truth (Teori Kebenaran berdasarkan Arti)
BerdasarkanTeori Kebenaran Semantiknya Bertrand Russell, bahwa
kebenaran (proposisi) itu ditinjau dari segi arti atau maknanya.
3.
The
consistence theory of truth (Teori Kebenaran berdasarkan Konsisten)
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan
itu bersifat konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar.
4.
The
pragmatic theory of truth (Teori Kebenaran berdasarkan Pragmatik)
Yang dimaksud dengan teori ini ialah bahwa benar tidaknya sesuatu
ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah tidaknya
ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam
kehidupannya.
5.
The
Coherence Theory of Truth (Teori Kebenaran berdasarkan Koheren)
Berdasarkan teori Koherennya Kattsoff (1986) dalam bukunya Element
of Philosophy, bahwa suatu proosisi itu benar, apabila berhubungan dengan
ide-ide dari proposisi terdahulu yang telah dan benar.
6.
The Logical
Superfluity of Truth (Teori Kebenaran Logis yang berlebihan)
Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Ayer, bahwa problema
kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan berakibatkan suatu
pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya
memiliki derajat logis yang sama yang masing-masing saling melingkupi.
7.
Teori
Skeptivisme
Suatu kebenaran dicari ilmiah dan tidak ada kebenaran yang
lengkap.
8.
Teori
Kebenaran Nondeskripsi
Teori yang dikembang oleh penganut filsafat fungsionalisme, yang
menyatakan bahwa suatu statemen atau pernyataan mempunyai nilai benar amat
tergantung peran dan fungsi dari pada pernyataan itu.
Kebenaran dapat dibuktikan secara : Radikal (Individu), Rasional
(Obyektif), Sistematik (Ilmiah), Semesta (Universal). Sedangkan nilai kebenaran
itu bertingkat-tingkat, sebagai mana yang telah diuraikan oleh Andi Hakim
Nasution dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai
tiga tingkatan, yaitu haq al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin. Adapun kebenaran menurut Anshari mempunyai empat
tingkatan, yaitu: Kebenaran wahyu, Kebenaran spekulatif filsafat, Kebenaran positif ilmu pengetahuan dan Kebenaran
pengetahuan biasa.
E.
Macam-macam Pengetahuan
Macam-macam pengetahuan menurut Imanuel
Kant ialah:
1.
Pengetahuan
Analitis: predikat sudah termuat dalam subyek. Predikat diketahui melalui suatu
analisis obyek. Misalnya, lingkaran itu bulat.
2.
Pengetahuan
Sintetis Aposteriori: predikat dihubungkan dengan subyek berdasarkan pengalaman
indrawi.
3.
Pengetahuan
Sintetis Apriori: Akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu
pesawat, ilmu pasti bersifat sintetis apriori. (Surajiyo, 2005).
F. Cara-cara memeroleh dan
mengembangkan pengetahuan
Dalam
filsafat ilmu, cara memeroleh dan mengembangkan pengetahuan adalah melaui
sebuah rangkaian prosedur atau metode/tekhnik tertentu yang lazimnya disebutnya
metode ilmiah.
1.
Pengertian metode Ilmiah
Menurut Soerjono Soemargono (1993 :
17), istilah metode berasal dari bahasa Latin methodos, yang secara umum artinya cara
atau jalan untuk memperoleh pengetahuan sedangkan metode ilmiah adalah
cara atau jalan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.
The Liang Gie
(1991 : 110), menyatakan bahwa metode
ilmiah adalah prosedur yang mencakupberbagai tindakan pikiran, pola
kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk
memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan
yang telah ada.
Dalam beberapa literatur
seringkali metode dipersamakan atau dicampuradukkan
dengan pendekatan maupun teknik. Metode (methode),
pendekatan (approach), dan teknik (technique) merupakan tiga hal yang
berbeda walaupun bertalian satu sama lain (The Liang Gie, 1991:116).
Dengan mengutip pendapat
benerapa pakar, The Liang Gie menjelaskan perbedaan ketiga
hal tersebut sebagai berikut. Pendekatan pada pokoknya adalah ukuran-ukuran
untuk memilih masalah-masalah dan data yang bertalian, sedangkan metode adalah
prosedur untuk mendapatkan dan mempergunakan data. Pendekatan dalam
menelaah suatu masalah dapat dilakukan berdasarkan
atau dengan memakai sudut tinjauan dari ilmu-ilmu
tertentu, misalnya psikologi, sosiologi, politik, dst.
Dengan pendekatan berdasarkan psikologi, maka masalah tersebut dianalisis dan
dipecahkan berdasarkan konsep-konsep psikologi. Sedangkan bila masalah tersebut
ditinjau berdasarkan pendekatan sosiologis, maka
konsep-konsep sosiologi yang dipakai untuk menganalisis dan memecahkan
masalah tersebut.
Pengertian metode juga tidak sama
dengan teknik. Metode ilmiah adalah berbagai prosedur yang mewujudkan pola-pola
dan tata langkah dalam pelaksanaan penelitian ilmiah.
Pola dan tata langkah prosedural tersebut dilaksanakan
dengan cara-cara operasional dan teknis yang lebih
rinci. Cara-cara itulah yang mewujudkan teknik. Jadi, teknik adalah suatu cara
operasional teknis yang seringkali bercorak
rutin, mekanis, atau spesialistis untuk memperoleh
dan menangani data dalam penelitian (The Liang Gie, 1991 :117).
2. Unsur-unsur metode ilmiah
Metode ilmiah yang
merupakan suatu prosedur sebagaimana digambarkan oleh The Liang Gie, memuat berbagai unsur
atau komponen yang saling berhubungan. Unsur-unsur
utama metode ilmiah menurut The Liang Gie
(1991 : 118) adalah pola prosedural, tata langkah,
teknik, dan instrument.
Pola prosedural, antara lain terdiri
dari: pengamatan, percobaan, peng-ukuran, survei, deduksi, induksi, dan analisis. Tata langkah, mencakup:
penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila perlu),
pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan
pengujian hasil. Teknik, antara lain terdiri dari: wawancara, angket, tes, dan
perhitungan. Aneka instrumen yang dipakai dalam
metode ilmiah antara lain: pedoman wawancara,
kuesioner, timbangan ataupun meteran.
3. Macam-macam Metode ilmiah
Johson (2005) dalam artikelnya
yang berjudul “Educational Research: Quantitative and
Qualitative”, yang termuat dalam situs internet
membedakan metode ilmiah menjadi dua metode deduktif
dan metode induktif. Menurut Johnson, metode deduktif terdiri
tiga langkah utama, yaitu: first, state
the hypothesis (based on theory or research literature); next, collect
data to test hypothesis; finally, make
decision to accept or reject the
hypothesis.
Sedangkan tahapan
utama metode induktif menurut Johnson adalah: first, observe the world; next, search for a
pattern in what is observed; and finally, make a generalization about what
is occuring. Kedua metode tersebut
selanjutnya oleh Johnson divisualisasikan sebagai berikut. Metode
deduktif merupakan metode ilmiah yang diterapkan dalam penelitian kuantitatif.
Dalam metode ini teori ilmiah yang telah diterima kebenarannya dijadikan acuan
dalam mencari kebenaran selanjutnya. Sedangkan metode induktif merupakan
metode yang diterapkan dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini dimulai
dengan pengamatan dan diakhiri dengan penemuan teori.
G.
Ilmu
Ialah Kumpulan pengetahuan secara
holistik yang tersusun sistematis yang teruji secara rasional dan terbukti
berdasarkan metode ilmiah.
H.
Klasifikasi Ilmu
Ada beberapa pandangan yang berkaitan
dengan klasifikasi ilmu pengetahuan sebagaimana yang terdapat dalam buku
Filsafat Ilmu (Rizal Mustansir, 2001), sebagai berikut:
1.
Menurut
Cristian Wolff, klasifikasi ilmu pengetahuan ialah:
a.
Ilmu
pengetahuan empiris:
1)
Kosmologi
empiris
2)
Psikologi
empiris
b.
Matematika
1)
Murni :
aritmatika, geometri aljabar
2)
Campuran :
mekanika, dll.
c.
Filsafat:
1)
Spekulatif
(metafisika)
a)
Umum-ontologi
b)
Khusus:
psiokologi, kosmologi, theologi
2)
Praktis:
a)
Intelek-logika
b)
Kehendak :
ekonomi, etika, politik
c)
pekerjaan
fisik : teknik.
2.
Auguste
Comte, klasifikasi ilmu pengetahuan ialah :
a.
Ilmu pasti
(matematika)
b.
ilmu
perbintangan (astronomi)
c.
ilmu alam
(fisika)
d.
ilmu kimia
e.
ilmu hayat
(biologi atau fisiologi)
f.
ilmu fisika
sosial (sosiologi)
3.
Karl
Raimund Popper, mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi:
a.
Dunia I :
Kenyataan fisik dunia.
b.
Dunia II :
Kenyataan psikis dari dalam diri manusia.
c.
Dunia III :
Hipotesis, hukum, Teori (ciptaan manusia) yaitu: Karya ilmiah, Studi ilmiah dan
Penelitian ilmiah.
4.
Jurgen
Habermas, mengklasifikasi ilmu pengetahuan sebagai berikut:
a.
Ilmu
bersifat empiris-analitis : ilmu alam dan sosial empiris.
b.
Ilmu
bersifat historis-hermeneutis : Humaniora.
c.
Ilmu yang
bersifat sosial-kritis : Ekonomi,sosiologi dan politik.
I.
Tahap-Tahap Ilmu
Dalam perkembangnnya, ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu :
1.
Tahap
Sistematika
Pada tahap ini, ilmu menggolongkan obyek empiris ke dalam
kategori-kategori tertentu untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum yang
merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenal dunia fisik.
2.
Tahap
Komparatif
Pada tahap ini manusia mulai membandingkan antara kategori yang
satu dengan kategori yang lain.
3.
Tahap
Kuantitatif
Pada tahap ini manusia mencari hubungan sebab akibat, tidak lagi
berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek
yang sedang disediki.
Pada ini juga, berperannya matematika sebagai bahasa verbal dengan
sejumlah lambang-lambang yang mengandung informasi tentang obyek tertentu dalam
dimensi-dimensi pengukuran. Di samping itu juga, matematika merupakan bahasa
artifisial yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahwa verbal yang
bersifat alamiah (Jujun SS., 2003).
DAFTAR
PUSTAKA
Surajiyo. 2005, Ilmu Filsafat suatu Pengantar, Jakarta:
Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam perspektif. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003.