Makalah Tentang Muhkam Dan Mutasyabih Full (BAB II)
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Muhkam Dan
Mutasyabih
1.
Makna Secara Lughawi (Bahasa)
Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm
berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah
orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai.
Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan
membedakan antara yang hak dan batil.
Mutasyabih secara lughawi berasal dari kata syabaha, yakni
bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal
itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara
keduanya secara konkrit atau abstrak.
2.
Makna Secara Istilah
Banyak sekali
pendapat para ulama tentang pengertian muhkam dan mutasyabih,
salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang diberikan Zarqani adalah
sebagai berikut:
a. Muhkam
ialah ayat-ayat yang jelas
maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih
ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli
maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya,
seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih
al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab
Hanafi.
b. Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara
nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah
yang mengetahui maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal,
huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat (fawatih al-suwar)
pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih di
kalangan mereka.
c.
Muhkam
ialah ayat-ayat yang tidak
mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah
ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini
dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
d.
Muhkam
ialah ayat yang berdiri sendiri
dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak
berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain
diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya
perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad. r.a.
e. Muhkam
ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya
yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih
ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila
ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk
ke dalam mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan
kepada Imam Al-Haramain.
f. Muhkam
ialah ayat yang jelas maknanya
dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya muhkam atas ism-ism
(kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah
(samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
g. Muhkam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash
dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya
tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat
ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.
Subhi ash-Shalih
merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa muhkam adalah ayat-ayat
yang bermakna jelas. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maknanya
tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang
kuat.
B. Sebab-Sebab Terjadinya Tasyabuh Dalam Alqur’an
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i meringkas ada 3 sebab
terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an.
1.
Disebabkan oleh ketersembunyian pada lafal
Ar-Raghib al-Asfhani membagi mutasyabihat dari
segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad dan murakkab. Mutasyabih lafal mufrad adalah tinjauan dari segi
kegaribannya, seperti kata yaziffun,
al-abu; Isytirak, seperti kata al-yadu, al-yamin.
Tinjauan lafal murakkab berfaedah untuk meringkas
kalam, seperti: wa in khiftum alla tuqsitu fil yatama fankhihu ma taba
lakum...., untuk meluruskan kalam, seperti: laisa kamislihi syai’un, untuk
mengatur kalam, seperti: anzala ‘ala ‘abdihil kitaba walam yaj’al lahu ‘iwaja..
2.
Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna
3.
Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna dan lafal
Orang yang tidak
mengetahui adat-istiadat bangsa arab pada masa jahiliyah, tidak akan paham
terhadap maksud ayat tersebut. Sebab, kesamaran dalam ayat tersebut terjadi
pada lafalnya, karena terlalu ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk
adat kebiasaan khusus orang arab, yang tidak mudah diketahui oleh bangsa-bangsa
lain.
Jika ayat
tersebut diperluas sedikit dengan ditambah ungkapan in kuntum muhrabaini
bihajji au umratin (Jika kalian sedang melakukan ihram untuk haji atau untuk
umrah) tentulah maksud ayat tersebut akan mudah dimengerti. Apalagi bila orang
yang sudah mengetahyui berbagai syarat dan rukun ihram, sehingga tidak aka ada
masalah lagi baginya.
C. Pandangan Ulama Dalam Menghadapi Ayat-Ayat Mutasyabih
1.
Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani
sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah
sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil
ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta
menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka
menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka
disebut pula mazhab Mufawwidah atau Tafwid (menyerahkan kepada Allah). Ketika
Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata
”Istiwa`
itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah
(mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini
dari majlis saya.”
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas
diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti
bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih
(penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu,
bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya,
mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari’at
dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at
Ibnu Abbas.
”Dan tidak
mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam
ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya
dari al-Hakim dalam mustadraknya).”
2.
Mazhab Khalaf,
yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna
yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau
Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang
abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa
kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah
berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu
tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat “mata” dengan
pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa. Demikian sistem
penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf.
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat,
menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari
keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan
lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna
yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.
Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal),
mereka juga mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya
adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir
“Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan tidak
mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”.
Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.(H.R. Ibnu al-Mundzir)
Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti
bahwa Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di
atas. Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf
(tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan
serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya.
Adapun penulis makalah ini sendiri lebih sepakat dengan
mazhab kedua, mazhab khalaf.
Karena pendapat mazhab khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan
kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang, dengan syarat
penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang yang benar-benar tahu isi
Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah ar-rasikhuna fil ‘ilmi dan
dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu Abbas.
Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab
salaf dikatakan lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam
penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan
lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.
D. Hikmah
Keberadaan Ayat-Ayat Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an
Para
Ulama telah banyak mengkaji hikmah dan rahasia keberadaan ayat-ayat baik Muhkam
maupun mutasyabihat dalam Al-Qur’an empat di antaranya disebutkan oleh
Al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan.
1. Ayat-ayat mutasyabihat ini
mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga
menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
2. Sekiranya Al-Qur’an seluruhnya
muhkam tentunya hanya ada satu mazhab.
Sebab ,kejelasannya akan membatalkan semua mazhab di luarnya. Sedangkan yang demikian tidak dapat diterima semua mazhab dan tidak memanfaatkannya.Akan tetapi jika Al-Qur’an mengandung muhkam dan mutasyabih maka masing-masing dari penganut mazhab akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya.Selanjutnya ,semua penganut mazhab akan memperhatikan dan merenungkannya .Sekiranya mereka terus menggalinya maka ayat-ayat Muhkamat menjadi penafsirnya.
Sebab ,kejelasannya akan membatalkan semua mazhab di luarnya. Sedangkan yang demikian tidak dapat diterima semua mazhab dan tidak memanfaatkannya.Akan tetapi jika Al-Qur’an mengandung muhkam dan mutasyabih maka masing-masing dari penganut mazhab akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya.Selanjutnya ,semua penganut mazhab akan memperhatikan dan merenungkannya .Sekiranya mereka terus menggalinya maka ayat-ayat Muhkamat menjadi penafsirnya.
3. Jika Al-Qur’an Mengandung
ayat-ayat mutasyabihat ,maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan
tajrih antar satu dengan lainnya.Hal ini memerlukan berbagai ilmu ,seperti ilmu
bahasa ,gramatika, ma’ani, ilmu bayan,ushul fiqih dan sebagainya. Sekiranya hal
itu tidak demikian sudah barang tentu ilmu –ilmu tersebut tidak muncul.
Al-Qur’an berisi
da’wah terhadap orang- orang tertentu dan umum.Orang-orang awam biasanya tidak
menyukai hal-hal yang bersifat abstrak.Jika mereka mendengar pertama kalinya
tentang sesuatu wujud tetapi tidak berwujud fisik dan berbentuk,mereka
menyangka bahwa hal itu tidak benar ada dan akhirnya mereka terjerumus ke dalam
ta’thil (peniadaan sifat-sifat Allah). Karena itu, sebaiknyalah kepada mereka
disampaikan lafal-lafal yang menunjukkan pengertian- pengertian yang sesuai dengan
imajinasi dan khayal mereka.Ketika itu bercampur antara kebenaran empirik dan
hakikat. Bagian pertama adalah ayat-ayat mutasyabihat yang dengannya mereka
diajak bicara pada tahap permulaan. Pada akhirnya, bagian kedua berupa
ayat-ayat muhkamat menyingkapkan hakikat sebenarnya.