Makalah Landasan Etik Dan Estetika Pendidikan (BAB II)
PEMBAHASAN
A.
Landasan Etik dalam
Pendidikan
1. Pengertian Etika
Etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat
kebiasaan, dalam istilah lain para ahli dalam bidang etika menyebutkan dengan moral.
Etika merupakan salah satu teori yang dibicarakan ketika membahas teori tentang
nilai dan ilmu kesusilaan yang membahas perbuatan baik dan melakukan kebenaran.
Sedangkan moral itu sendiri adalah bentuk pelaksanaannya dalam kehidupan.
Adapun menurut Burhanuddin Salam, istilah
etika berasal dari kata latin, yakni “ethic”,
yaitu a body of moral
principle or values. Ethic, arti sebenarnya adalah kebiasaan, habit.
Jadi dalam pengertian aslinya, apa yang disebutkan baik itu adalah yang sesuai
dengan kebiaasaan masyarakat (pada saat itu). Lambat laun pengertian etika
berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia. Perkembangan etika
tidak lepas dari substansinya, bahwa etika merupakan suatu ilmu yang
membicarakan masalah perbutan dan tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik
dan buruk. Istilah lain dari etika adalah moral, susila, budi pekerti atau
akhlak. Etika dalam bahasa Arab disebut Akhlaq,
merupakan jamak dari kata khuluq yang
berarti adat kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab dan agama.
Menurut etimologi, kata akhlak berasal dari
bahasa yang berarti “budi pekerti”. Sinonimnya adalah etika dan moral.
Etika berasal dari bahasa latin yaitu: etos yang berarti
“kebiasaan” dan moral berarti juga mores yang dalam bahasa latinnya
juga berarti “kebiasaannya.”
2. Sifat Dasar Etika
Sifat etika sangat mendasar, yaitu bersifat
kritis. Etika memersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku; menyelidiki
dasar-dasar norma tersebut; memersoalkan hak dari setiap lembaga seperti
orang tua, sekolah, negara dan agama untuk memberi perintah atau larangan yang
harus ditaati. Hak dan wewenang untuk menuntut ketaatan dari lembaga
tersebut harus dan perlu dibuktikan. Dengan demikian etika menuntut orang agar
bersikap rasional terhadap semua norma.
3. Pendekatan etika dalam
pendidikan
Djahiri
(1992) mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikan moral, yaitu:
a. Evocation: yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan
keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap
stimulus yang diterimanya.
b. Inculcation: yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus
yang diarakan menuju kondisi siap.
c. Moral Reasoning: yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual
taksonomik tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah.
d. Value Clarification: yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar
siswa diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral.
e. Value Analysis: yaitu pendekatan yang dilakukan agar peserta didik
diransang untuk melakukan analisis nilai moral.
f. Moral Awarness: yaitu pendekatan agar peserta didik diransang
menerima stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu.
g. Commitment Approach: yaitu pendekatan agar siswa sejak awal diajak
menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai.
h. Union Approach: yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk
melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan.
Antara ilmu/pendidikan dan etika memiliki
hubungan yang sangat erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia melalui perilaku dan tindakannya dalam sosialisasi kehidupan dalam
upaya menemukan kebenaran.
Dewasa ini kemerosotan moral menjadi
santapan keseharian masyarakat kita, pun dalam konteks dunia
pendidikan kita yang kemudian dengan serta merta berbagai perilaku yang
melanggar norma secara terang-terangan ikut pula mencoreng nilai-nilai luhur
yang dijunjung tinggi sebagai nilai kebenaran yang di satu sisi tidak dapat
ditawar-tawar lagi, (wajib) untuk dipatuhi.
Landasan etik dalam proses kegiatan
pendidikan merupakan salah satu kunci keberhasilan membina, memberdayakan, dan
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, terutama kualitas akhlaknya.
Peletakan landasan moral ini sangat strategis dan bermakna, karena kepribadian
individu harus berakar pada “akhlak mulia” yang sudah pasti menjadi kebahagiaan
bagi yang bersangkutan.
B. Landasan Estetik dalam Pendidikan
1. Pengertian Estetika
Estetika berasal dari bahasa Yunani
“aisthetika” pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gotlieb
Baumgarten pada 1735 yang diartikan sebagai ilmu tentang hal yang bisa
dirasakan lewat perasaan. Secara sederhana diartikan estetika adalah ilmu yang
membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk dan bagaimna seseorang bisa
merasakan estetika sebagai hal yang memelajari nilai-nilai sensoris yang kadang
dinggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa.
Kant dalam studi ilmiah psikologi tentang
estetika menyatakan, akal itu memiliki indera ketiga atas pikir dan
kemauan yaitu indera rasa yang memiliki kekhususan, yaitu kesenangan estetika.
2. Estetika dalam Pendidikan
John Dewey berpendapat bahwa seorang dapat
memahami sesuatu sebagai sains melalui penggunaan intelegensinya namun hal itu
akan lebih mendalam jika disentuh dengan praktik lain yaitu seni. Bagi Dewey
kehadiran seni itu menjadi alat bagi akal manusia untuk memandang dunia yang
satu dalam kaitannya dengan dunia yang lain. Seni selalu tampil dalam wujud
kreatifitas manusia dalam manipulasi suatu realitas ke realitas yang lain
sesuai dengan citra fasa yang diinginkan bahkan secara tegas ia menyatakan bahwa
keseluruhan aktifitas intelek manusia baik dalam level proses produktifitas dan
konsumsi maupun pada level kritik sesungguhnya merupakan tindakan seni.
Adapun yang mendasari hubungan antara
estetika dan pendidikan adalah lebih menitikberatkan kepada “predikat”
keindahan yang diberikan kepada hasil seni. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga
interpretasi tentang hakikat seni:
a.
Seni sebagai penembusan
terhadap realitas selain pengalaman.
b.
Seni sebagai alat kesenangan.
c.
Seni sebagai ekspresi yang
sebenarnya tentang pengalaman.
Cita rasa keindahan biasa dikatakan memiliki
nilai estetika adalah bagian dari kehidupan manusia karena makhluk manusialah
yang hanya memiliki cita rasa keindahan. Cita rasa keindahan melibatkan semua
domain yang ada pada diri seseorang yang paling dominan adalah aspek perasaan.
Maxine Greene mengupas secara detil mengenai
komponen-komponen estetika beserta implikasinya terhadap pendidikan. Ia
menyatakan bahwa nilai estetik perlu dibelajarkan kepada peserta didik agar
mereka mengetahui bagaimana cara belajar yang bermakna. Dalam pendidikan nilai,
baik guru maupun siswa. Melibatkan proses pemahaman rasa, pilihan pribadi, dan
tatanan bentuk yang erat kaitannya dengan karakterisktik estetika. Pembelajaran
estetika menurutnya mesti memiliki vital
center sebagai fokus, yakni suatu titik ketika proses belajar diperlakukan
sebagai ajang penyadaran nilai-nilai keindahan dan penyertaan timbangan rasa
secara optimal. (Mulyana, 2007: 65). Diharapkan di dalam dunia pendidikan,
estetika akan mampu menciptakan dan membentuk kepribadian yang mampu bersikap
kreatif dan bermoral sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi
dengan segala kepatutan keindahan dan seni. Dengan
demikian tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berkualitas akan
terwujud dengan baik sesuai dengan konsep idealisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Tim Pengembangan Ilmu
Pendidikan (FIP-UPI). Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan, Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu. Jakarta: PT. Intima,
2007.