Artikel Bahasa Arab Sebagai Akar Bias Gender Dalam Wacana Islam Full (Lanjutan)
Meskipun kebenaran
dan kebaikan yang disampaikan oleh al-Qur'an bersifat universal dan abadi akan
tetapi proses verbalisasinya berkaitan erat dengan kondisi masyarakat Arab pada
masa turunnya. Dalam nada yang lebih berani Ibnu Khaldun mengatakan bahwa
al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan disesuaikan dengan gaya retorika
mereka agar dapat dipahami. Rekaman dialog antara ayat-ayat al-Qur’an dengan
masyarakat Arab terutama yang berkaitan erat dengan persoalan personal mereka
adalah indikasi kuat bagi adanya relevansi proses pembahasaan kebenaran mutlak
Al-Qur’an dengan kondisi lokal bangsa Arab pada masa turunnya.
Namun demikian mayoritas Muslim memiliki kesadaran bahwa al-Qur’an (teks al-Qur’an) sama azali dan abadinya dengan Allah sehingga lahir kecenderungan untuk memahaminya secara tekstual. Keyakinan ini memunculkan problem serius karena teks-teks al-Qur’an adalah rekaman atas perubahan sosial yang berlangsung selama 23 tahun masa kerasulan Muhammad Saw. Oleh karena itu pendekatan tekstual akan mengesankan adanya ayat-ayat yng kontradiktif antara satu dengan lainnya. Problem ini oleh ulama diatasi antara lain melalui konsep naskh, yaitu menghapus atau menunda (hingga waktu tak tentu) beberapa ayat dengan memprioritaskan ayat lain untuk diberlakukan. Konsep ini mengisyaratkan bahwa teks al-Qur’an tidak bisa diterapkan secara serentak dan menyeluruh: sesuatu yang bertentangan dengan doktrin keabadian teks al-Qur’an.
Supremasi teks atas spirit atau ruhnya ini mengandung potensi besar bagi munculnya tafsir agama yang bias. Ayat tentang waris misalnya, pada saat turunnya mengandung spirit pemberdayaan perempuan secara ekonomi. Mereka yang tadinya diwariskan, lalu berubah menjadi mampu mewarisi atau memperoleh warisan dan akhirnya mampu pula mewariskan atau memberikan warisan. Dari transformasi ini dapat ditangkap bahwa bagian anak perempuan separo dari laki-laki mengandung tekanan pesan bahwa separo adalah jumlah minimal yang bisa diterima perempuan. Pada ayat yang sama bahkan disebutkan bahwa bagian perempuan (ibu) adalah sama dengan laki-laki (ayah):
Namun demikian mayoritas Muslim memiliki kesadaran bahwa al-Qur’an (teks al-Qur’an) sama azali dan abadinya dengan Allah sehingga lahir kecenderungan untuk memahaminya secara tekstual. Keyakinan ini memunculkan problem serius karena teks-teks al-Qur’an adalah rekaman atas perubahan sosial yang berlangsung selama 23 tahun masa kerasulan Muhammad Saw. Oleh karena itu pendekatan tekstual akan mengesankan adanya ayat-ayat yng kontradiktif antara satu dengan lainnya. Problem ini oleh ulama diatasi antara lain melalui konsep naskh, yaitu menghapus atau menunda (hingga waktu tak tentu) beberapa ayat dengan memprioritaskan ayat lain untuk diberlakukan. Konsep ini mengisyaratkan bahwa teks al-Qur’an tidak bisa diterapkan secara serentak dan menyeluruh: sesuatu yang bertentangan dengan doktrin keabadian teks al-Qur’an.
Supremasi teks atas spirit atau ruhnya ini mengandung potensi besar bagi munculnya tafsir agama yang bias. Ayat tentang waris misalnya, pada saat turunnya mengandung spirit pemberdayaan perempuan secara ekonomi. Mereka yang tadinya diwariskan, lalu berubah menjadi mampu mewarisi atau memperoleh warisan dan akhirnya mampu pula mewariskan atau memberikan warisan. Dari transformasi ini dapat ditangkap bahwa bagian anak perempuan separo dari laki-laki mengandung tekanan pesan bahwa separo adalah jumlah minimal yang bisa diterima perempuan. Pada ayat yang sama bahkan disebutkan bahwa bagian perempuan (ibu) adalah sama dengan laki-laki (ayah):
….Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak….(an-Nisa/4:11)
Pendekatan tekstual
terhadap ayat-ayat al-Qur’an mesti diwaspadai karena mempunyai kecenderungan
mengabaikan spirit pemberdayaan pada seluruh ayat-ayat yang berkaitan dengan gender.
Muhammad Abduh mensinyalir sebagian besar kata-kata al-Qur’an telah berubah
kandungan maknanya bahkan pada masa dekat setelah turunnya. Perubahan makna ini
dapat terjadi dalam bentuk pemahaman terhadap al-Qur’an yang bertentangan
dengan spirit awalnya.
Jika al-Qur’an yang diyakini tidak bermasalah dalam otentisitasnya saja sudah mengandung potensi lahirnya wacana agama yang bias gender, maka dapat diperkirakan seberapa besar potensi teks-teks religius lainnya seperti hadis, tafsir, fiqih, dll. dalam melahirkan wacana agama yang bias. Berbeda dengan teks al-Qur’an, hadis dapat bermasalah dari segi periwayatan maupun redaksinya (sanad dan matan). Oleh karena itu viliditas hadis bertingkat; shahih, hasan, dloif dan maudlu’ (palsu). Tingkatan hadis yang paling tinggi adalah hadis yang secara sanad maupun matannya tidak mengandung cacat.
Jika al-Qur’an yang diyakini tidak bermasalah dalam otentisitasnya saja sudah mengandung potensi lahirnya wacana agama yang bias gender, maka dapat diperkirakan seberapa besar potensi teks-teks religius lainnya seperti hadis, tafsir, fiqih, dll. dalam melahirkan wacana agama yang bias. Berbeda dengan teks al-Qur’an, hadis dapat bermasalah dari segi periwayatan maupun redaksinya (sanad dan matan). Oleh karena itu viliditas hadis bertingkat; shahih, hasan, dloif dan maudlu’ (palsu). Tingkatan hadis yang paling tinggi adalah hadis yang secara sanad maupun matannya tidak mengandung cacat.
Hadis yang mengandung bias
gender sangat mudah ditemukan. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini:
Di antara haknya adalah andaikata
di antara dua hidung suami mengalir darah dan nanah lalu istrinya menjilati
dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak suaminya. Seandainya manusia itu boleh
bersujud kepada manusia, niscaya aku perintahkan perempuan untuk bersujud pada
suaminya. (HR. al-Hakim).
Hadis ini dikutip Imam Nawawi dalam kitab Uqud
ad-Dulujain. Hingga kini, kitab tersebut masih dianggap sebagai rujukan
utama di beberapa pesantren di Indonesia. Hasil penelitian Forum Kajian Kitab
Kuning (FK3) menunjukkan bahwa kualtitas sanad hadis tersebut dloif (lemah)
karena terdapat perawi yang bermasalah, yaitu Sulayman bin Dawud dan al-Qasim.
Imam Nawawi juga mengutip tiga hadis di bawah ini:
Jika seorang istri
menghabiskan malam dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para
malaikat mengutuknya sampai pagi. (HR. Bukhari Muslim).
Andaikata seorang wanita menghabiskan waktu malamnya
untuk shalat, siang harinya untuk puasa, lalu suaminya memanggilnya ke tempat
tidur sedangkan istri menundanya sesaat, maka kelak pada hari kiamat ia akan
diseret dengan rantai dan belenggu, berkumpul dengan setan-setan hingga sampai
di tempat yang serendah-rendahnya.
Bahwasanya wanita
itu tidak dapat memenuhi hak Allah sebelum memenuhi hak-hak suaminya. Seumpama
suami minta pada istrinya sementara istri sedang berada di atas punggung onta,
maka ia tidak boleh menolak dirinya. (HR. Ath-Thabarani)
Hadis-hadis di atas
dan semacamnya pada umumnya bermasalah dalam sanad dan seluruhnya bermasalah
dari segi matan. Khalid M. Abu el Fadl menyebutkan tiga hal sebagai sebab tidak
validnya hadis-hadis tersebut menurut matan, yaitu bertentangan dengan
kedaulatan Tuhan dan Kehendak-Tuhan yang bersifat mutlak, tidak selaras dengan
diskursus al-Qur’an tentang kehidupan pernikahan, dan tidak sejalan dengan
keseluruhan riwayat yang menggambarkan perilaku Nabi terhadap istri-istrinya.
Beberapa faktor pendukung lain dalam lahirnya wacana agama yang bias adalah fakta bahwa perumusan ajaran agama sejak awal didominasi oleh bangsa Arab, sebuah bangsa yang memiliki pra asumsi bias dalam memandang perempuan. Hingga kini wacana Agama masih berkiblat ke negeri Arab, sehingga tidak hanya relasi yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan yang mereka tanamkan dalam kesadaran masyarakat Muslim di seluruh dunia, tetapi juga relasi tidak seimbang antara Muslim dan non Muslim berdasarkan pengalaman pahit yang merteka alami hingga kini di tanah Arab.
Beberapa faktor pendukung lain dalam lahirnya wacana agama yang bias adalah fakta bahwa perumusan ajaran agama sejak awal didominasi oleh bangsa Arab, sebuah bangsa yang memiliki pra asumsi bias dalam memandang perempuan. Hingga kini wacana Agama masih berkiblat ke negeri Arab, sehingga tidak hanya relasi yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan yang mereka tanamkan dalam kesadaran masyarakat Muslim di seluruh dunia, tetapi juga relasi tidak seimbang antara Muslim dan non Muslim berdasarkan pengalaman pahit yang merteka alami hingga kini di tanah Arab.
Beberapa
Upaya
Beberapa langkah yang bisa ditempuh
untuk menghindari bias gender dalam wacana agama adalah sebagai berikut:
1. mewaspadai pengaruh budaya dan bahasa Arab dalam wacana
agama.
2. membuat wacana agama yang mendukung keadilan gender
lebih popular daripada wacana agama yang mengandung bias.
3. Berperan aktif dan kritis dalam memproduksi wacana
agama menurut perspektif perempuan.
4. Menyuguhkan konteks teks dan konteks pembaca dalam
memproduksi wacana agama.
5. Menjadikan spirit keadilan sebagai payung dalam
memproduksi dan memahami wacana agama.
Sebagaimana bahasa pada
umumnya, bahasa Arab harus dipandang sebagai alat komunikasi. Alat ini sangat
penting artinya dalam menyampaikan pesan. Namun demikian, pentingnya alat tidak
kan pernah melampaui pentingnya tujuan dalam sebuah komunikasi, yaitu
sampaiknya pesan. Sebagai simbol, bahasa Arab mempunyai peranan penting dalam
menyampaikan pesan ilahi melalui al-Qur’an. Namun demikian, pentingnya simbol
tidak akan pernah melampaui pentingnya hal yang disimbolkan. Oleh karena itu,
bahasa Arab penting untuk dipelajari dalam memahami ajaran agama, namun bahasa
Arab tetap harus diwaspadai karakternya yang sangat bias agar ajaran agama tidak
justru digunakan sebagai alat diskriminasi terhadap perempuan atas nama agama.
DAFTAR LITERATUR
Albert C. Baugh dan Thomas Cable, A History of The English Language, Englewood Cliffs: Prentice
Hall Inc., 1978.
Al-Quzwaini, Al-Idloh fi Ulum il-Balaghah, Beirut: Dar
al-Jail, 1993.
At-Tabari, Jamiul Bayan,
Kairo: 1957-1969Ibnu Haldun, Muqaddimah,
Beyrut: Darul Fikir, tt
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi
Suami-Istri, Yogyakarta: LKiS, 2001
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana
Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya
Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, penerjemah Ilyas Hasan, Bandung: Mizan,
2003.
Khaled M. Abou el
Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Penerjemah
R. Cecep Lukman Hakim, Jakarta: Serambi, 2004.
Leonard Bloomfield, Language,
London: George Allen and Unwin Ltd., 1970.
Masdar Farid Mas'udi, Agama
Keadilan, Jakarta: P3M, 1993.
Muhammad Abduh, Al-Manar,
Kairo: Darul Manar, 1367, Jilid. I
Muhammad bin Iyas, Badaiz
Zuhur fi Waqaid Duhur, Beirut: Maktabah Saqafiyyah, tt.
Nasr Hamid Abu Zaid, Women
in the Discourse of Crisis, The Legal Research and Resource center for
Human Right pages. (LRRC). Cairo, Egypt.
Roger Trigg, Understanding Social Science, Oxford: Basic Blackwell, 1985.