Artikel Tentang Kedudukan Wanita Dalam Islam Full (Lanjutan)
A.
Peran Perempuan dalam Pandangan Islam
Perempuan dan laki-laki berbeda dalam kodratnya. Allah
menegaskan dalam Al Quran pada peristiwa kelahiran Maryam dalam Surat Ali Imron
ayat 36
“Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan
anaknya, dia pun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya
seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu;
dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah
menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak
keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk."
Perbedaan
secara kodrati ini tidak membedakan perempuan dan laki-laki dalam hal kedudukan
namun menentukan perannya dalam kehidupan. Dari segi fungsi reproduksi
perempuan memungkinkan mengandung calon keturunannya karena perempuan memiliki
rahim yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Demikian juga dalam hal pengasuhan
dan keberlangsungan bayi saat masih kecil, perempuan dianugerahi kemampuan
untuk menyusui dan perasaan kasih sayang dan ketahanan tubuh yang lebih
dibandingkan dengan laki-laki. Menurut al-‘Allamah al- Nasafi dalam Munawar, “kelebihan
pria atas wanita adalah pada: akalnya, keteguhan hati, pola pikir, kekuatan
fisik, kemampuan perang, kesempurnaan puasa dan shalat, adzan, khutbah,
jama’ah, takbir pada hari tasyrik , kesaksian dalam kasus pidana dan qishas dua kali lipat dalam bagian waris, hak nikah dan talak. (2004:214).
Dari
perbedaan itulah maka perempuan dan laki-laki memiliki peran yang saling
melengkapi. Dalam perbedaan peran ini bukan berarti perempuan harus menggantikan
peran laki-laki ataupun sebaliknya, karena masing-masing memiliki proporsi yang
berbeda sesuai dengan kodratnya.
Sesunguhnya
perempuan dan laki-laki diciptakan untuk diuji siapa yang paling baik amalnya.
Dengan beramal perempuan akan memperoleh pahala. Selain itu perempuan adalah
separoh dari masyarakat. Apabila perempuan tidak melakukan amalan niscaya dunia
ini akan beku.
Al-Quran berbicara tentang perempuan
dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi
kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang
menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama
atau kemanusiaan (Shihab, 2004:272)
Secara
garis besar perempuan memiliki dua peran yaitu peran sebagai anggota keluarga
dan peran sebagai anggota masyarakat.
1.
Perempuan
sebagai Anggota Keluarga
Di dalam keluarga perempuan dapat
berperan sebagai ibu, istri, anak. Semua peran tersebut menuntut adanya tugas
sesuai dengan perannya.
a. Perempuan
sebagai Ibu
Sebagai ibu tugas perempuan yang pertama dan utama
yang tidak diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru.
Mereka memang disiapkan oleh Allah
untuk tugas itu,
baik secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak
boleh dilupakan atau diabaikan oleh
faktor material dan kultural
apa pun.
Selain itu tugas perempuan adalah Beribadah
kepada Allah subhanahu wata’ala. Tinggalnya ia di dalam rumah merupakan alternatif terbaik
karena memang itu perintah dari Allah subhanahu wata’ala dan dapat
beribadah dengan tenang. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
"Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.”
b. Perempuan
sebagai Istri
Perempuan sebagai istri memiliki
peran yang sangat penting. Istri yang bijaksana dapat menjadikan rumah
tangganya sebagai tempat yang paling aman dan menyenangkan bagi suami. (Alfan,
tanpa tahun: 25) Istri dapat berperan sebagai teman baik, tempat suami
mencurahkan perasaan hatinya. Mendinginkan suasana ketika hati sedang panas.
Sehingga suami memperoleh motivasi baik dalam hal mencari nafkah maupun
beribadah.
Telah
termaktub dalam Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang datang dari
Rabbull Alamin Allah Yang Maha Memilki Hikmah:
“Dan
tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al Ahzab: 33)
Maha
benar Allah subhanahu wata’ala dalam segala firman-Nya, posisi perempuan
sebagai sang istri atau ibu rumah tangga memilki arti yang sangat urgen, bahkan
dia merupakan salah satu tiang penegak kehidupan keluarga dan termasuk pemeran
utama dalam mencetak “tokoh-tokoh besar”. Sehingga tepat sekali ungkapan:
“Dibalik setipa orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”
Asy
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkta: “Perbaikan
masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama: perbaikan secara dhahir, di
pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara dhahir. Ini
didominasi oleh lelaki karena merekalah yang bisa tampil di depan umum.
Kedua:
perbaikan masyarakat dilakukan yang di rumah-rumah, secara umum hal ini
merupakan tanggung jawab kaum wanita. Karena merekalah yang sangat berperan
sebagai pengatur dalam rumahnya. Sebagaiman Allah subhanahu wata’ala
berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 33 di atas.
Dengan peran perempuan sebagai
istri maka ada beberapa kewajiban istri terhadap suami. Kewajiaban pertama,
adalah taat sempurna kepada suaminya dalam
perkara yang bukan maksiat bahkan lebih utama daripada melakukan ibadah-ibdah
sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak boleh
seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah
mendapat izin suaminya.”(Muttafaqun ‘alaihi)
Al
Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada
istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya
sunnah. Karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih
didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah”. (Fathul Bari 9/356).
Menjaga
rahasia suami dan kehormatannya dan juga menjaga kehormatan diri sendiri di saat
suaminya tidak ada di tempat. Sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara
penuh terhadapnya. Menjaga harta suami. Rasulullah bersabda:
“Sebaik-baik
wanita penunggang unta, adalah wanita yang baik dari kalangan quraisy yang
penuh kasih sayang terhadap anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh
suami.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Mengatur
kondisi rumah tangga yang rapi, bersih dan sehat sehingga tampak menyejukkan
pandangan dan membuat betah penghuni rumah.
2.
Perempuan
sebagai Anggota Masyarakat
Peranan perempuan dalam masyarakat merupakan pokok persoalan. Oleh karena kecenderungan penilaian bahwa normativitas Islam menghambat
ruang gerak perempuan dalam masyarakat. Hal ini didukung
oleh pemahaman bahwa tempat terbaik bagi perempuan
adalah di rumah, sedangkan di luar rumah banyak terjadi
kemudharatan.
Pandangan yang paling umum
adalah bahwa keluarnya perempuan dari rumah untuk maksud
tertentu dihukumi dengan subhat, antara diperbolehkan dan
tidak. Dalam bahasan fiqh ibadah, jika subhat lebih baik
ditinggalkan. Sedangkan dalam fiqh muamallah bisa dijalankan dengan rukhshah darurat. Akan tetapi menurut pandangan Qardhawy (1997:231)
bahwa keluarnya perempuan dari rumah untuk keperluan tertentu
adalah diperbolehkan. Bahkan menahan perempuan di dalam rumah
hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka waktu tertentu sebagai bentuk
penghukuman. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah
telah mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (Muttafaqun ‘alahi)
Perempuan sebagai bagian tak
terpisahkan dari umat mendapat perlakuan yang
sama persis dengan laki-laki. Baik dalam urusan ibadah dan Muamallah,
tiada kelebihan laki-laki atas perempuan. Dengan demikian perempuan mempunyai
hak yang sama dalam usaha melakukan perbaikan (ishlah) dalam masyarakat.
Namun demikian ada profesi yang
masih menjadi perdebatan diantara para ulama, bahwa perempuan tidak bisa
menduduki dua profesi yaitu sebagai pemimpin dalam pengertian al-wilayatul-kubra
atau al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi) dan qodhi.
Dalam bidang kepemimpinan Islam
bertolak dari status manusia sebagai khalifah di muka bumi. Akhir Surat Al
Ahzab mempertegas kekhalifahan manusia di muka bumi ini sebagai pengembang
amanat Allah SWT untuk mengolah, memelihara dan mengembangkan bumi. Inilah
tugas pokok manusia tidak berbeda antara perempuan dan laki-laki. Ini yang
dalam hukum Islam disebut taqlidiyyah (Munir, 1999:69)
Namun kepemimpinan perempuan
merupakan persoalan pelik yang sampai saat
ini terus menjadi
perbincangan. Lingkup perbincangan tersebut bermula
dari tatanan syari'ah yang memberikan barrier berupa
sinyalemen hadits bahwa tidak akan beruntung suatu masyarakat jika kepemimpinan
diserahkan kepada wanita. (Hr. Bukhari)
Menurut Yusuf Qardhawy, hadits ini
adalah Shahih sebab periwayatannya dari Abu Bakrah yang
kemudian dikutip Bukhari. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
termasuk ke dalam hadist yang shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan,
ada yang difahami secara tekstual, ataupun difahami secara kontekstual.
Pemahaman secara tekstual akan menyimpulkan bahwa haram hukum wanita menjadi kepala
pemerintahan. Sedangkan pemahaman secara kontekstual, bahwa hadits
tersebut berkaitan dengan diangkatnya seorang wanita
Persia menjadi pemimpin meski disekitarnya terdapat
banyak calon pemimpin yang memadai, hanya
karena hukum kerajaan menghendaki demikian.
(Qardhawy,1997:246)
Jumhur ulama sepakat akan haramnya perempuan
memegang kekuasan dalam al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin
tertinggi). Dimana perempuan berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam urusan
pemerintahan. Sebab dalam matan hadits tersebut terdapat kata "Wallu
Amrahum" (Yang Memerintah Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah
dalam sistem politik Islam. Sehingga jumhur ulama memberikan pengharaman pada
wanita. Hampir ulama klasik memandang perlu untuk mengetengahkan
hawa hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita. Ini diungkapkan
baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun (Azhar:1996)
Sedangkan dalam hal Qadhi atau yudikatif perempuan tidak diperbolehkan menduduki jabatan tersebut, Adapun pendapat yang mendukung penolakan perempuan menjadi hakim secara mutlak mengatakan bahwa perempuan dilarang menjadi qodhi (yudikatif) menurut syara’sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat (olah pikir), pada hal perempuan umumnya lemah akalnya, di mana Rasulullah menafsirkan sifat ketidak sempurnaan akalnya ini bahwa kesaksian perempuan nilanya setengah dari kesaksian laki-laki. (Bahnasawi.1996: 293-204)
Sedangkan dalam hal Qadhi atau yudikatif perempuan tidak diperbolehkan menduduki jabatan tersebut, Adapun pendapat yang mendukung penolakan perempuan menjadi hakim secara mutlak mengatakan bahwa perempuan dilarang menjadi qodhi (yudikatif) menurut syara’sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat (olah pikir), pada hal perempuan umumnya lemah akalnya, di mana Rasulullah menafsirkan sifat ketidak sempurnaan akalnya ini bahwa kesaksian perempuan nilanya setengah dari kesaksian laki-laki. (Bahnasawi.1996: 293-204)