Makalah Income Smoothing (BAB II)
PEMBAHASAN
Perataan laba dalam
laporan keuangan merupakan hal yang biasa dan dianggap masuk akal (Bartov,
1993). Praktik perataan laba didorong oleh berbagai faktor.
Faktor-faktor pendorong perataan laba dapat dibedakan atas faktor konsekuensi
ekonomi dari pilihan akuntansi dan faktor-faktor laba. Faktor-faktor
konsekuensi dari pilihan akuntansi merupakan kondisi yang dipengaruhi oleh
angka-angka akuntansi , sehingga perubahan akuntansi yang
mempengaruhi angka-angka akuntansi akan mempengaruhi kondisi itu. Sedangkan
faktor-faktor laba adalah pengaruh dari angka-angka laba periodik yang dengan
sendirinya juga mendorong perilaku perataan laba. Perataan laba tidak akan
terjadi jika laba yang diharapkan tidak terlalu berbeda dengan laba yang
sesungguhnya (Prasetio, dkk., 2002 ).
Jenis
Perataan Laba
Ada dua jenis perataan
laba, yaitu (Riahi-Belkaoui, 2004):
- Intentional atau designed smoothingIntentional atau smoothing ialah keputusan atau pilihan yang dibuat untuk mengatur fluktuasi earnings pada level yang diinginkan.
- Natural Smoothing
- Natural smoothing adalah income generating process yang natural, bukan dari hasil tindakan yang diambil manajemen.
Faktor
Pendorong Perataan Laba
Tidak semua Negara melarang
dilakukannya perataan laba (Harahap, 2005). Seperti Swedia misalnya, di negara
ini perataan laba diperbolehkan, asalkan perataan laba ini dilakukan dengan
transparan.
Beberapa factor yang mendorong
manajemen melakukan perataan laba adalah (Sugiarto, 2003):
1. Kompensasi bonus
1. Kompensasi bonus
Pada
penelitiannya, Healy menemukan bukti bahwa manajer yang tidak dapat memenuhi
target laba yang ditentukan akan memanipulasi laba agar dapat mentransfer laba
masa kini menjadi laba masa depan. Selain itu, menurut Harahap(2005),
pentingnya laporan keuangan mengundang manajemen untuk meratakan laba demi
mendapatkan bonus yang tinggi.
2. Kontrak Utang
2. Kontrak Utang
Defond
dan Jimbalvo (1994) dengan menggunakan model Jones, mengeveluasi tingkat akrual
perusahaan yang tidak dapat memenuhi target laba. Mereka menemukan bahwa perusahaan
yang melanggar perjanjian utang telah merekayasa labanya, satu periode sebelum
perjanjian utang itu dibuat.
3. Faktor Politik
3. Faktor Politik
Jones
(1991) meneliti perusahaan yang sedang diinvestigasi oleh International Trade
Commision (ITC). Ia menemukan bukti bahwa produsen domestic cenderung
menurunkan laba dengan teknik discretionary accrual untuk mempengaruhi
keputusan regulasi impor. Naim dan Hartono (1996) meneliti perusahaan yang
diduga melakukan monopoli dan menemukan bahwa manajer perusahaan melakukan perataan
laba untuk menghindari UU Anti-Trust.
4. Pengurangan Pajak
4. Pengurangan Pajak
Perusahaan
melakukan perataan laba untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan
kepada pemerintah (Arens, Elder, Beasley, 2002)
5. Perubahan CEO
5. Perubahan CEO
Pouciao
(1993) menemukan bukti bahwa perekayasaan laba dilakukan dengan meningkatkan
unexpected accruals pada periode satu tahun sebelum penggantian eksekutif tak
rutin.
6. Penawaran saham perdana
6. Penawaran saham perdana
Clarkson
et al (1992) menyatakan ada reaksi positif dari pengumuman earnings forecast
yang ada di prospektus dengan tingkat penjualan saham, karena public hanya
melihat laporan keuangan yang dilaporkan pada regulator. Banyak perusahaan yang
melakukan perataan laba demi mendapatkan dan mempertahankan investor (Jones,
2005).
Faktor yang
diasumsikan menyebabkan manajer melakukan perataan laba menurut buku Accounting
Theory (Riahi-Belkaoui, 2004:451), ialah :
1. Mekanisme pasar kompetitif, ysng mengurangi pilihan-pilihan yang tersedia untuk manajemen.
2. Skema kompensasi manajemen, yang terkait langsung dengan kinerja perusahaan.
3. Ancaman pergantian manajemen.
1. Mekanisme pasar kompetitif, ysng mengurangi pilihan-pilihan yang tersedia untuk manajemen.
2. Skema kompensasi manajemen, yang terkait langsung dengan kinerja perusahaan.
3. Ancaman pergantian manajemen.
Teknik
Perataan Laba
Berbagai teknik yang dilakukan
dalam perataan laba diantaranya ialah (Sugiarto, 2003:
1. Perataan melalui waktu terjadinya transaksi.atau pengakuan transaksi. Pihak manajemen dapat menentukan atau mengendalikan waktu transaksi melalui kebijakan manajemen sendiri (accruals) misalnya biaya riset dan pegembangan.
2. Perataan melalui alokasi untuk beberapa periode tertentu. Manajer mempunyai wewenang untuk mengalokasikan pendapatan atau beban untuk periode tertentu. Misalnya: jika penjualan meningkat maka manajemen dapat membebankan biaya riset dan pengembangan serta amortisasi goodwill pada periode itu untuk menstabilkan laba.
3. Perataan melalui klasifikasi. Manajemen memiliki kewenangan untuk mengklasifikasikan pos-pos rugi laba dalam kategori yang berbeda. Misalnya jika pendapatan non-operasi sulit didefinisikan, maka manajer dapat mengklasifikasikan pos itu pada pendapatan operasi atau pendapatan non-operasi.
1. Perataan melalui waktu terjadinya transaksi.atau pengakuan transaksi. Pihak manajemen dapat menentukan atau mengendalikan waktu transaksi melalui kebijakan manajemen sendiri (accruals) misalnya biaya riset dan pegembangan.
2. Perataan melalui alokasi untuk beberapa periode tertentu. Manajer mempunyai wewenang untuk mengalokasikan pendapatan atau beban untuk periode tertentu. Misalnya: jika penjualan meningkat maka manajemen dapat membebankan biaya riset dan pengembangan serta amortisasi goodwill pada periode itu untuk menstabilkan laba.
3. Perataan melalui klasifikasi. Manajemen memiliki kewenangan untuk mengklasifikasikan pos-pos rugi laba dalam kategori yang berbeda. Misalnya jika pendapatan non-operasi sulit didefinisikan, maka manajer dapat mengklasifikasikan pos itu pada pendapatan operasi atau pendapatan non-operasi.
Keleluasaan
untuk memakai teknik-teknik akuntansi dalam mencatat terbukti telah
disalahgunakan oleh manajemen untuk melakukan perataan laba. Bahkan disinyalir
bahwa perataan laba banyak dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik akuntansi
yaitu dengan merubah kebijakan akuntansi (Koeh, 1981). Berdasarkan hal tersebut
maka penelitian tentang perataan laba ini dilakukan dengan mengambil perubahan
kebijakan akuntansi sebagai objek dihubungkan dengan antisipasi laba masa depan
untuk menghindari pemecatan.
Penelitian ini merupakan replikasi dan
pengembangan (expand replicant) dari penelitian Yusuf dan
Soraya (2004). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah :
1. Sampel penelitian tidak hanya terbatas pada perusahaan manufaktur, tetapi juga perusahaan keuangan (Finansial). Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa jumlah perusahaan publik yang termasuk dalam sektor manufaktur dan keuangan terlihat mendominasi keseluruhan perusahaan yang terdaftar di BEJ (Murtanto, 2004). Selain itu, berdasarkan hasil penelitian terdahulu, terbukti bahwa kedua sektor perusahaan tersebut paling banyak melakukan praktik perataan laba (Salno dan Baridwan, 2000; Samlawi dan Sudibyo, 2000).
2. Penelitian ini menambahkan variabel sektor industri sebagai salah satu variabel yang diduga dapat mempengaruhi praktik perataan laba. Hal ini berbeda dengan penelitian Yusuf dan Soraya (2004) yang hanya menguji 4 variabel, yaitu : ukuran perusahaan, profitabilitas, Leverage operasi dan status perusahaan.
1. Sampel penelitian tidak hanya terbatas pada perusahaan manufaktur, tetapi juga perusahaan keuangan (Finansial). Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa jumlah perusahaan publik yang termasuk dalam sektor manufaktur dan keuangan terlihat mendominasi keseluruhan perusahaan yang terdaftar di BEJ (Murtanto, 2004). Selain itu, berdasarkan hasil penelitian terdahulu, terbukti bahwa kedua sektor perusahaan tersebut paling banyak melakukan praktik perataan laba (Salno dan Baridwan, 2000; Samlawi dan Sudibyo, 2000).
2. Penelitian ini menambahkan variabel sektor industri sebagai salah satu variabel yang diduga dapat mempengaruhi praktik perataan laba. Hal ini berbeda dengan penelitian Yusuf dan Soraya (2004) yang hanya menguji 4 variabel, yaitu : ukuran perusahaan, profitabilitas, Leverage operasi dan status perusahaan.
Variabel leverage dalam
penelitian ini diukur dengan financial leverage bukan operating
leverage. Hal ini berdasarkan alasan bahwafinancial leverage menunjukkan
seberapa efisien perusahaan memanfaatkan ekuitas pemilik dalam rangka
mengantisipasi hutang jangka panjang dan jangka pendek perusahaan sehingga
tidak akan mengganggu operasi perusahaan secara keseluruhan dalam jangka
panjang (Andhini, 2005). Hutang yang besar berarti rasio leverage yang
besar. Hutang yang besar mengakibatkan risiko semakin meningkat. Jadi semakin
besar leverage, maka risiko yang ditanggung oleh pemilik modal juga
akan semakin meningkat (Widyaningdyah, 2001). Rasio leverage yang
besar menyebabkan turunnya minat investor untuk menanamkan modalnya pada
perusahaan tersebut, sehingga dapat memicu adanya tindakan perataan laba
(Narsa,dkk. ,2003).