Penyetaraan Pendidikan Di Indonesia

Pendidikan Indonesia Yang Setara Dan Merata Untuk Semua
Dalam arti luas pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang bersifat genetis, yang menolong membentuk fikiran, karakter, atau kapasitas fisik seseorang. Proses tersebut berlangsung seumur hidup, karena kita harus mempelajari proses berfikir dan bertindak yang baru dalam setiap perubahan besar dalam hidup kita. Dalam arti sempit pendidikan adalah penanaman pengetahuan, keterampilan dan sikap masing-masing generasi dengan menggunakan pranata-pranata, seperti sekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan tersebut (Kneller, 1965:9).
Tentu saja diantara kita telah mengetahui arti penting pendidikan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Pendidikan dijadikan sebagai suatu keharusan bagi setiap individu manapun. Pendidikan menjadi hal yang sangat penting dikarenakan, melaluinya seorang individu tumbuh berbaur kedalam cara hidup masyarakat. Tanpa itu semua manusia tak jauh beda seperti sebuah patung yang diketahui keberadaannya namun tak ada kontribusi bagi kehidupan sosial masyarakat.
Sejak kecil, seorang anak sudah di beri pendidikan dalam keluarga, mulai dari bagaimana cara berpakaian, bagaimana cara makan, bagaimana harus beretika, dll. Anak-anak tersebut dipersiapkan oleh orang tuanya untuk berbaur dengan orang-orang yang ada di sekeliling mereka. Namun, dari semua hal yang diajarkan di atas tak pernah lepas dari kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Pada hakikatnya pendidikan merupakan bagian dari  kebudayaan. Dalam hal ini kehidupan seorang anak dapat menggambarkan latar belakang kebudayaannya. Kita ketahui bersama bahwa, sejak kecil ia telah diberikan pendidikan oleh orang tuanya. Dari situlah seorang anak mulai belajar kebudayaan orang tuanya. Dari sini dapat di lihat kebudayaan sangat berpengaruh pada tumbuhkembang seorang anak. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang memperhatikan akan pentingnya kebersihan maka akan secara otomatis sang anak akan meniru perilaku orang tuanya yang memang meremehkan kebersihan. Disinilah proses seorang anak yang sedang tumbuh diinisiasikan kedalam cara hidupnya.
Seiring dengan perkembangan, pendidikan seorang anak diserahkan kepada sekolah. Orang tua menyekolahkan ketika di rasa tak mampu lagi untuk memberikan ilmu tambahan kepada anaknya, atau setidaknya ketika dirasa si anak telah pantas untuk masuk ke sekolah. Pendidikan di sekolah memberikan pengetahuan yang tidak dapat di peroleh dari orang tua di rumah. Pendidikan di sekolah memungkin menanamkan suatu kualitas tertentu pada anak-anak, seperti berfikir bersih dan pertimbangan bebas. Di sini, peran sekolah menjadi sangat sentral bagi pendidikan seorang anak.
Pendidikan nasional mendengungkan filosofi “Education For All” alias Pendidikan Untuk Semua”. Dijelaskan bahwa ruh dari filosofi ini adalah pendidikan mampu menjangkau segala lapisan masyarakat. Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menjanjikan pendidikan akan menjangkau anak usia sekolah yang selama ini tak terjangkau. Beberapa pokok permasalahan yang menyebabkan  terjadinya kesenjangan pelayanan pendidikan oleh pemerintah ialah adanya latar belakang sosial, geografis, ataupun latar belakang budayanya.
Wilayah geografis Indonesia tidak hanya sebatas di pulau Jawa saja namun terbentang dari sabang sampai merauke. Dengan adanya wilayah seluas itu mengakibatkan belum meratanya pelayanan pendidikan yang diberikan pemerintah kepada masing-masing daerah. Daerah satu dengan daerah yang lainnya belum sama tingkat kesejahteraannya. Sebagai contoh, antara Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan daerah di pedalaman Papua tidak sama tingkat kesejahteraannya. Hal tersebut mengakibatkan bentuk pelayanan pendidikan di daerah pedalaman Papua tertinggal dibanding dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Dari segi latar belakang kebudayaan memunculkan persoalan yang menarik dalam pendidikan di Indonesia. Beberapa suku pedalaman akan berbeda sekali dengan masyarakat perkotaan ketika memandang pentingnya pendidikan untuk anak-anak atau generasi penerus mereka. Salah satu contoh yang terjadi ialah pada “Orang Rimba” di daerah Jambi tepatnya di pedalaman Taman Nasional Bukit Duabelas pada suku Anak Dalam.. Pada mulanya, “suku anak dalam” menganggap bahwa pendidikan formal tidak begitu penting pada proses kehidupan mereka. “Suku anak dalam” menganggap bahwa apabila seseorang menjadi pintar maka kepintaran tersebut dikhawatirkan dapat digunakan untuk membodohi orang lain.  Namun dengan adanya ekspansi industrialisasi membuat “Orang Rimba” menyadari pentingnya pendidikan formal dalam kehidupan mereka.
Dengungan filosofi “Education For All” menjadi sangat menarik ketika kita berkaca pada bentuk masyarakat modern dan sederhana. Keduanya merupakan persoalan yang muncul dikarenakan oleh latar belakang sosial. Masyarakat modern dan sederhana memiliki karakter masing-masing yang tentu saja sangat berpengaruh pada pelaksanaan program pendidikan untuk semua. Bentuk masyarakat modern dan sederhana memberikan persoalan tersendiri dalam dunia pendidikan.
Dalam masyarakat modern, kepercayaan yang paling fundamental ialah adanya kemajuan (progress). Kemajuan tersebut dapat dicapai dengan adanya kesadaran akan pendidikan setinggi-tingginya. Tak tanggung-tanggung, para orang tua menginfestasikan senilai jutaan rupiah hanya untuk pendidikan anak-anak mereka. Para orang tua pada masyarakat modern berlomba untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah yang berkualitas, dari yang berstandar nasional sampai dengan yang berkualitas internasional.
Tak jauh halnya dengan masyarakat industri modern, kompleksitas strata sosial dalam masyarakat ikut menentukan kualitas pendidikan yang di peroleh oleh masing-masing individu. Sebagai contoh, orang yang memiliki strata sosial atas tak mungkin menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan yang memiliki akreditasi B. Mereka lebih memilih untuk menempatkan anak pada sekolah yang berstandar internasional, minimal RSBI. Namun sebaliknya, orang yang memiliki strata sosial bawah akan sangat sulit sekali menyekolahkan anaknya pada sekolah yang bertaraf internasional, bilamana adapun itu hanya sebagian kecil. Tak jarang orang-orang menyebutnya beruntung belaka. Masyarakat industri modern memaksa terjadinya spesialisasi-spesialisasi dalam hal penentuan bidang mana atau apa yang ia tekuni yang tentu saja memberikan keterangan tentang pendidikan apa yang masing-masing spesialis peroleh. Logikanya adalah, mana mungkin seorang yang mengenyam pendidikan rendah (lulusan SD) akan menjadi seorang direktur utama di perusahaan bertaraf Internasional. Dalam gambaran masyarakat industri moden sangat memungkinkan terjadinya ledakan penduduk yang tak terkendali. Bagi siapa yang memperoleh pendidikan rendah maka sangat mungkin sekali akan terjadi diskriminasi bahkan sering sekali teralienasi. Dengan demikian dapat dilihat bahwa semakin tinggi pendidikan yang ia peroleh maka semakin tinggi pula strata sosial maupun spesialisasi yang ia miliki.
Konsep klasik masyarakat sederhana yang diperlihatkan oleh Robert Redfield adalah “Folk Society” sebagai bentuk ideal yang kira-kira mendekati berbagai bentuk masyarakat non urban. Masyarakat yang demikian adalah kecil, terasing, tidak atau setengah melek huruf, homogen, sangat terintegrasi, bersifat konsensus, dengan solidaritas kelompok yang tinggi dan pembagian kerja yang sederhana. Banyak dari perilakunya bersifat kekeluargaan, tradisional, dan relatif statis (Kneller, 1965:9).
Sebuah pengalaman pribadi penulis ketika melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKN) di suatu wilayah di pulau Jawa tepatnya di Kabupaten Brebes Kecamatan Bantarkawung Desa Cibentang Dusun Cipancur pada bulan November sampai dengan Desember 2011 menggambarkan bagaimana bentuk masyarakat sederhana memandang tentang pendidikan. Wilayah dusun Cipancur terletak di daerah Cibentang atas. Cibentang atas berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap dan terletak di antara perbukitan. Ketinggian wilayah  pemukiman warga kurang lebih 1000 meter diatas permukaan laut. Sebagian besar wilayahnya ditumbuhi dengan pohon-pohon pinus milik perhutani. Pertanian merupakan mata pencaharian mayoritas penduduk wilayah Cibentang atas. Akses jalan transportasi kebanyakan adalah tanah berbatu, sehingga apabila musim hujan tiba rawan sekali adanya tanah longsor. Kendaraan umum yang digunakan penduduk untuk menuju ke pasar adalah mobil bak terbuka. Jika hujan tiba dan jalanan becek maka ban mobil tersebut harus dililitkan alat bantu berupa rantai sepeda motor yang dirangkai sedemikian rupa sehingga apabila terdapat kubangan lumpur ban mobil tidak selip. Lebar jalan hanya sebatas ukuran lebar sebuah mobil bak terbuka. Untuk dapat sampai di wilayah Cibentang bagian atas harus melewati rindangnya hutan pinus, perbukitan serta jalan tanah berbatu berjarak kurang lebih tujuh kilometer. Waktu tempuh menggunakan sepeda motor lebih dari dua jam perjalanan.
Pada program KKN yang dilakukan, penulis melaksanakan program Pemberantasan Buta Aksara (PBA). Perserta program PBA adalah para warga berumur 15-45 tahun yang belum dapat melakukan Calistung (Membaca, Menulis, Berhitung). Banyak warga di daerah tersebut belum dapat melakukan Calistung. Dari 6.684 jumlah warga desa Cibentang yang tercatat dalam data dinamis desa, sebanyak 165 warga berumur 15-45 tahun di wilayah Cibentang atas belum dapat melakukan Calistung. Dengan banyaknya warga berumur 15-45 tahun yang belum dapat melakukan Calistung cukup menggambarkan potret buram pendidikan di Indonesia.
Setiap tiga hari dalam seminggu (senin, selasa, rabu) kami melakukan proses pembelajaran. Kami belajar bagaimana membaca dan menulis huruf, merangkai huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat. Selain itu, kami juga belajar bagaimana membaca angka, menulis angka, berhitung satu di tambah satu samadengan dua dan seterusnya. Sebuah pengalaman belajar yang sangat mengesankan. Salah satu kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran adalah persoalan bahasa. Bahasa yang digunakan oleh penduduk setempat adalah Sunda. Penulis sebagai orang Jawa yang belum pernah belajar bahasa Sunda cukup kewalahan menghadapi peserta yang semuanya tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa selain Sunda. Sebagai solusi, penulis didampingi beberapa warga setempat yang dapat berbahasa Indonesia sebagai penerjemah bahasa Sunda ke Indonesia.
Penulis mencoba menelusuri penyebab serta alasan banyaknya warga usia 15-45 tahun belum dapat melakukan Calistung. Dari beberapa keterangan tokoh masyarakat yang ditemui serta beberapa kabar yang beredar dari mulut ke mulut menyatakan bahwa mayoritas warga Dusun Cipancur menganut aliran Tasawuf. Beberapa hal penting yang perlu di garis bawahi ialah pertama, adanya pernyataan yang menyebutkan bahwa program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan oleh pemerintah tidak pernah dilaksanakan. Tak heran bila pada saat penulis berada di Dusun Cipancur, terlihat beberapa anak kisaran kelas satu SD sudah menggendong adiknya yang masih kecil. Jarak kelahiran anak satu dengan anak dibawahnya dalam satu keluarga kurang lebih hanya satu tahun. Tak jarang jumlah anggota dalam beberapa nuclear family sepuluh sampai empatbelas orang  bahkan lebih. Kedua, banyaknya anak di bawah kelas tiga SD yang putus sekolah. Beberapa penyebabnya ialah tidak dilaksanakannya program KB oleh warga memungkinkan terjadinya kasus tersebut, karena banyak anak di usia tersebut harus ikut merawat adik-adiknya yang masih bayi, kemudian penyebab lain dari banyaknya anak putus sekolah dibawah kelas tiga SD adalah  adanya anggapan bahwa bila anak sudah dapat membaca dan menulis dirasa sudah cukup untuk mengenyam bangku sekolah, dan yang paling penting adalah dapat membaca Arab. Satu cerita yang paling menarik yang penulis dengar dari salah seorang guru di sekolah Satu Atap ialah, sebagian anak-anak lebih memilih memberi makan ternak-ternak mereka ketimbang sekolah. Pada saat musim panen tiba, mendadak beberapa siswa membolos sekolah dikarenakan membantu orang tuanya di ladang.
Beberapa siswa-siswi sekolah Satu Atap yang penulis tanya tentang kendala apa yang menyebabkan mereka tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi adalah adanya faktor ekonomi, sosial, maupun budaya. Tobiah dan Imaniah menceritakan bahwa persoalan yang mengganjal mereka untuk sekolah adalah harus membantu orang tuanya di rumah baik itu memasak, mencuci, bersih-bersih rumah, sampai dengan berladang. Sohabah menerangkan bahwa orang tuannya tidak mampu lagi membiayai keinginannya untuk melanjutkan sekolah. Ketika Siti Fatimah giliran menjelaskan persoalan yang mengganjal keinginannya untuk sekolah, ia menerangkan bahwa orangtuanya tidak memiliki modal untuk menuruti keinginannya. Namun, keterangan yang dikemukakan Amalia cukup berbeda dari teman-teman perempuan lainnya, ia lebih memilih untuk melanjutkan pendidikannya sebagai santriwati di pondok pesantren daripada berada di sekolah formal. Beda keterangan dengan Amalia, Tion menceritakan bagaimana keluarganya lebih menyarankan dirinya untuk bekerja selesainya dari SMP. Dari pengalaman penulis diatas, setidaknya sudah dapat menggambarkan bagaimana pendidikan yang terjadi di beberapa tempat Indonesia.
Memang benar adanya jika pemerintah sudah berkomitmen untuk memajukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Komitmen pemerintah tersebut diwujudkan kedalam berbagai strategi pembelajaran yang di terapkan di sekolah-sekolah. Berbagai macam model belajar turut berperan dalam upaya mencerdaskan anak bangsa. Anggaran Negara sebesar 20% untuk pendidikan ikut mewarnai keseriusan pemerintah. Namun jika kita melihat beberapa kasus diatas perlu adanya solusi yang lebih mendalam. Beberapa solusi yang sekiranya perlu dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat adalah: 1) Perlu adanya penanaman pentingnya pendidikan untuk anak dalam keluarga sehingga terjadi perubahan pola pikir dalam masyarakat secara meluas. 2) Perlu adanya pemahaman dalam masyarakat bahwa bukan hanya pendidikan formal saja satu-satunya sarana dalam tumbuh kembang anak. 3) Perlu adanya pemerataan pendidikan yang di peroleh peserta didik di masing-masing  daerah. 4) Penghapusan stratifikasi institusi pendidikan, sehingga akan terjadi percepatan pemerataan kualitas sekolah. contoh, SSN, RSBI, SBI. 5) Perlu adanya pendekatan secara budaya di samping berbagai metode maupun model dalam pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Kneller, G. F. 1965. Anthropologi Pendidikan. Translated by Manan, Imran. 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaaga Kependidikan.
Febriyanto, Alfian. et al. 2011 Laporan Pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Penuntasan Buta Aksara (PBA) Di Desa/Kelurahan Cibentang Kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes: Universitas Negeri Semarang.
Description: Penyetaraan Pendidikan Di Indonesia
Rating: 4.5
Reviewed by: Rumah Makalah
On: 21.04.00

1 komentar:

Terimakasih, artikelnya sangat menarik dan bermanfaat. Jika anda ingin membaca artikel jurnal dari mahasiswa/i Universitas Gunadarma, silahkan kunjungi website ini http://wartawarga.gunadarma.ac.id/

TOP