Artikel Sejarah Munculnya Mazhab-Mazhab Dalam Islam
Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti
jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik
konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara
atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan
mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran
dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman
yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
1. Titik Tolak atau Sejarah Pembentukan
Madzhab
Sebagaimana
diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak
sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru.
Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan
sesuatu masalah sulit dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim
Abdul Aziz Khomis menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf(perbedaan pendapat) di kalangan
sahabat ada tiga yakni :
a. Perbedaan
para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
b. Perbedaan
para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
c. Perbedaan
para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Sementara Jalaluddin
Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia
berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah
prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada
zaman Rasulullah SAW.
Setelah berakhirnya
masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it
Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi
penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada
waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah
dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana
pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Dari mata rantai
sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin
hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. Dari sini pula kita
dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab
muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab-Mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’ie dan Hambali-seperti yang ada sekarang.
Dr. Thaha Jabir Fayyadh
al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul sekitar tiga belas
mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang “Ahlu Sunnah”, tetapi
hanya delapan atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas
dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab
itu adalah : Imam Abu Sa’id bin Yasar al-Bashir (wafat 110 H.), Imam Abu
Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi (wafat 150 H.), Imam Auza’ie Abu Amr
Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said bin
Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin Sa’d (wafat 157 H.), Imam Malik
bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.),
Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie (wafat 204 H.), dan Imam Ahmad bin Muhammad
bin Hambal (wafat 241 H.)
Muhammad Khudari Beik
(ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu
Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih,
Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan
yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih.
2. Periode risalah.
Periode ini dimulai
sejak kerasulan Muhammad S.A.W. sampai wafatnya Nabi S.A.W. (11 H./632 M.).
Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah
S.A.W. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi S.A.W.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi S.A.W lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi S.A.W lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
3. Periode al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai
sejak wafatnya Nabi Muhammad S.A.W sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang
tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini,
disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi S.A.W., juga ditandai dengan munculnya
berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan
ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini,
khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad
sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang
muncul di tengah masyarakat.
4. Periode awal pertumbuahn fiqh.
Masa ini dimulai
pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan
titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam.
Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur
Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644
M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah
tersebut.
5. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada
pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini
termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama. Seperti periode sebelumnya, ciri
khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan
ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang.
Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga
dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang
naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi
keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap
berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat
mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna
menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa
Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid
(memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin
dan al-Ma'mun.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya
penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal
disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam
asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab
usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam
asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan,
seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
6. Periode tahrir, takhrij, dan tarjih
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai
pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih
adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari,
memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan
melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak
berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing,
sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada
ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab
yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid
fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada
dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan
ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik
buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan
mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan
bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu
ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong
munculnya pernyataan tersebut.
a. Dorongan
para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di
pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah
saja.
b. Munculnya
sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan
berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid
imam mazhab.
c. Munculnya
gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk
memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi
masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul
sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih
jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
7. Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai
munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani)
pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan
dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode
ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara
membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan
penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab
masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari
buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir
(memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab),
tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa
Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol
pada periode ini.
a. Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa,
sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai
pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab.
b. Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan
penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum
(kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam
menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan
penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun
ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, Muncul
ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah
ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang
berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu
dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka
transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi
tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang
berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan
utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak
mau melunasi utang tersebut.
Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi
Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim
[1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum
(fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa
pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang
merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki
Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.Semasa Rasulullah s.a.w. hidup, beliau
merupakan madrasah utama umat islam dalam mempelajari segla urusan agama dan
yang berhubungan dengan urusan agama dan dunia. Oleh karena itu, pada masa
Rasulullah s.a.w. tidaklah terjadi perselisihan, khilaf, baik dalam bidang
pokok agama maupun dalam bidang cabang-cabang agama.
Sesudah Rasulullah s.a.w. wafat barulah timbul
perselisihan dalam kalangan umat islam di bidang ushul dan bidang furu’.
Perselisihan yang terjadi dikalangan sahabat ialah mengenai pendapat bahwa :
“apakah Nabi benar-benar meninggal atau hanya diangkat Allah saja”. Sedang
dibidang amaliyah, perselisihan para sahabat ialah dalam hal pemerintahan yaitu
mengenai khlifah dan sekitar kaum yang murtad. Akan tetapi, perselisihan-perselisihan
yang timbul itu merupakan titik tolak bagi lahirnya berbagai madzhab dikemudian
hari.
Ada dua golongan sahabat yang melakukan usaha pemebntukan madzhab :
a. Golongan para sahabat yang berani membahas dan
menganalisa, dan berani memberi fatwa baru tanpa ragu. Golongan sahabat ini
merupakan mereka yang memahami, mendalami di jiwa syari’at.
b. Golongan para sahabat yang tidak berani memberi fatwa-fatwa
terhadap kejadian-kejadian yang baru. Golongan para sahabat ini merupakan
mereka yang membatasi diri dalam petunjuk lafaz saja dan mereka hanya menyebut
makna yang lahir saja (jelas adanya).
8. Faktor-faktor yang menimbulkan madzhab
Secara umum penyebab muncul adanya madzhab adalah disebabkan
oleh tiga faktor yang sangat menentukan bagi perkembangan hukum Islam sesudah
wafatnya Rasulullah yaitu :
a. Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup
wilayah-wilayah di semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dll.
b. Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang
ditaklukkannya, mereka berbaur dengan budaya, adat-istiadat, serta tradisi
bangsa tersebut.
c. Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari
pemerintahan Islam, membuat para Gubernur, Qadi, dan para Ulama harus melakukan
ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah baru yang
dihadapi.
Pada masa tabi’in, ijtihad sudah mempola dua bentuk
yaitu yang lebih banyak menggunakan ra’yu yang ditampilkan “Madrasah Kufah”,
dan yang lebih banyak menggunakan hadis atau sunnah yang ditampilkan “Madrasah
Madinah”. Masing-masing madrasah menghasilkan para mujtahid kenamaan.
Pada masa ini para mujtahid lebih menyempurnakan lagi
karya ijtihadnya antara lain dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip
pokok dalam berijtihad yang kemudian disebut “ushul”. Langkah dan metode yang
mereka tempuh dalam berijtihad melahirkan kaidah-kaidah umum yang dijadikan
pedoman oleh generasi berkutnya dalam mengembangkan pendapat pendahulunya.
Dengan cara ini, setiap mujtahid dapat menyusun pendapatnya secara sistematis,
terinci, dan operasional yag kemudian disebut “fiqh”. Mujtahid yang
mengembangkan rumusan ilmu ushul dan metode tersendiri disebut “mujtahid
mandiri”.
Dalam berijtihad, mereka langsung merujuk pada dalil syara’ dan menghasilkan temuan orisinil. Karena antar para mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang mereka capai juga tidak terlalu sama. Jalan yang ditempuh seorang mujtahid dengan menggunakan ilmu ushul dan metode tertentu untuk menghasilkan suatau pendapat tentang hukum, kemudian disebut ‘mazhab’ dan tokoh mujtahidnya dinamai ‘imam mazhab’.
Dalam berijtihad, mereka langsung merujuk pada dalil syara’ dan menghasilkan temuan orisinil. Karena antar para mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang mereka capai juga tidak terlalu sama. Jalan yang ditempuh seorang mujtahid dengan menggunakan ilmu ushul dan metode tertentu untuk menghasilkan suatau pendapat tentang hukum, kemudian disebut ‘mazhab’ dan tokoh mujtahidnya dinamai ‘imam mazhab’.