Makalah Tentang Hukum Taklifi Dalam Ilmu Fiqh Full (Lanjutan)
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Taklifi
Secara
garis besar para ulama’ ushul fiqh membagi hukum syara’ pada dua macam, yaitu
Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Hukum Taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh
adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan langsung dengan perbuatan
orang mukallaf, baik perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk
tidak melakukan, atau dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau
tidak berbuat.
Hukum
Taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. Hal senada juga diungkapkan
oleh Chaerul Uman dkk, bahwa hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah yang
berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha’
atau atas dasar takhyir.
Untuk
memperjelas pembahasan, kami akan menyajikan definisi hukum wadh’i secara
sekilas. Hal ini perlu disampaikan
karena antara hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i mempunyai hubungan yang sangat
erat. Hukum Wadh’i adalah hukum ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab,
syarat dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan
hukum Taklifi).
Jadi,
jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah, larangan atau
pilihan antara perintah dan larangan. Sedangkan hukum Wadh’i adalah hukum yang
menjelaskan hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa
shalat wajib dilaksanakan umat islam, hukum Wadh’i menjelaskan bahwa waktu
tenggelamnya matahari pada waktu sore hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya
seseorang menunaikan shalat maghrib.
Lebih
lanjut, bisa dijelaskan bahwa hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu
berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf, sedangkan hukum wadh’i sebagaian
ada yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.
Contoh,
seperti firman Allah SWT. Yang bersifat menuntut untuk melakukan sesuatu
perbuatan:
Artinya:
“Dan dirikanlah Shalat, tunaikan zakat
dan taatilah rasul supaya kamu diberi rahmat”. (QS. An-Nur: 56).Ayat ini
menunjukkan kewajiban shalat, menunaikan zakat dan mentaati Rasul. Sedangkan
Firman Allah yang bersifat memilih (fakultatif), yaitu:
Artinya:
“ dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. (QS. Al-Baqarah: 187).
B. Pembagian Hukum Taklifi Dan Macam-Macam
Dari Masing-Masing Pembagiannya.
Memang
di kalangan para penulis ushul fiqh terjadi perbedan penggunaan istilah dalam
menjelaskan spesifikasi hukum taklifi. Seperti rachmat Syafe’i menggunakan
istilah bentuk-bentuk hukum Taklifi, Chaerul Uman dkk menggunakan pembagian macam-macam
hukum taklifi. Sedangkan Satria Efendi lebih menggunakan kata Pembagian untuk
menunjuk spesifikasi hukum Taklifi. Akan tetapi apapun istilah yang digunakan
oleh para penulis tersebut yang jelas bahwa hukum Taklifi memiliki
spesifikasi-spesifikasi yang disebut dengan pembagian. Masing-masing pembagian
tersebut memiliki jenis-jenis sesuai dengan klasifikasi masing-masing.
Sehingga
bisa dijelaskan bahwa pembagian hukum Taklifi ada lima, yang juga disebut
dengan maqashid As-Sari’ah al-Khamsah yaitu:
1. Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk
perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang
mengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab adalah sesuatu yang
berahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan. Seperti firman Allah:
Artinya: “Dan
dirikanlah shalat dan tunaikalah zakat”. (QS. An-Nur: 56).
2. Nadb (Sunnah), yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu
perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga
seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Misalnya, surat Al-Baqarah:
282, Allah SWT berfirman:
Artinya: “
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untik
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Al-Baqarah: 282).
3. Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadits yang melarang
secara pasti untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain,
Tahrim adalah antonim dari wajib. Dikerjakan mendapat siksa/berdosa sedangkan
ditinggalkan mendapat pahala. Seperti firman Allah:
Artinya: “Diharamkan
bagimu ( memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan yang disembelih
atas nama selain Allah”. (QS. Al-Maidah: 3).
4. Karahah, yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk
meningalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Karahah adalah antonim dari
Nadb. Seperti hadits Nabi:
Artinya: “ Dari Ibnu Umar ra. Dia berkata bahwa Nabi SAW. Melarang untuk membeli
suatu barang yang masih dalam tawaran orang lain daan melarang seseorang untuk
meminang seorang wanita yang ada dalam pinangan orang lain sampai mendapat izin
atau telah dirnggalkannya”. (HR. al-Bukhari)
5. Ibahah, yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan
seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, dikerjakan tidak
mendapat apa-apa sedangkan ditinggalkan juga tidak mendapat apa-apa disisi
Allah. Seperti firman Allah:
Artinya:” Apabila
kamu telah selelsai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu.
(QS. Al-Maidah: 2).
Selanjutnya,
dari masing-masing pembagian hukum Taklifi tersebut memiliki pembagian lagi.
Pembagian-pembagian tersebut akan kami jelaskan secara rinci sebagai berikut:
1. Ijab
Sebagaimana yang telah kami singgung di muka,
bahwa masing-masing pembagian hukum Taklifi memiliki pembagian lagi. Termasuk
juga Ijab. Para ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bias
dibagi dari berbagai segi, yaitu dilihat dari segi waktunya, wajib dibagi menjadi
dua, yaitu:
a. Wajib Muthlaq, yaitu sesuatu yang dituntut syar’i untuk
dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Mislanya, kewajiban
membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya.
b. Wajib Muwaqqat, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan
orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan.
Shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Demikian halnya puasa
Ramadhan, sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada. Kemudian
wajib Muwaqqat dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :
1) Wajib Muwassa’ (kewajiban yang mempunyai batas waktu
lapang), yaitu waktu yang tersedia untuk melaksanakan perbuatan yang diwajibkan
itu lebih luas dari pada waktu mengerjakan kewajiban itu. Umpamanya, waktu
shalat Dzuhur lebih luas dari pada waktu mengerjakan shalat Dzuhur.
2) Wajib Mudhayyaq (kewajiban yang memunyai batas waktu
sempit), yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukkan bagi suatu
amalan, dan waktunya itu tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain yang
sejenis. Maksudnya, waktu yang tersedia persis sama dengan waktu mengerjakan
kewajiban itu, seperti puasa bulan Ramadhan.
3)
Wajib Dzu Asy-Syibhaini, yaitu kewajiban yang mempunyai
waktu yang lapang, tetapi tidak bisa digunakan untuk melakukan amalan sejenis
secara berulang-ulang. Misalnya, waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa
melaksankan beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali, tetapi yang
diperhitungkan syara’ hanya satu saja. Akan tetapi ulama’ syafi’iyyah
berpendapat bahwa untuk ibadah haji, termasuk dalam wajib muthlaq, karena
seseorang boleh melaksanakannya kapanpun ia mau selama hidupnya. Juga dalam pembahasan wajib Muwaqqat, ulama’
syafi’iyyah mengemukakan tentang persoalan ‘Ada’, I’adah dan Qadha. ‘Ada’ menurut
Ibnu Hajib adalah melaksanakan suatu amalan untuk pertamakalinya pada waktu
yang diitentukan syara’. I’adah adalah suautu amalan yang diekrjakan untuk
kedua kalinya untuk waktu yang telah ditentukan, karena amalan yang dikerjakan
pertama kali tidak sah atau mengandung uzur. Qadha’, adalah suatu amalan yang
dikerjakan dluar waktu yang telah
ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti. Seperti puasa ramadhan tidak bisa
dikerjakan oleh wanita yang haid pada bulan ramadha itu, tetapi harus menggantinya
pada waktu lainnya.
Chaerul Uman, dkk menjelaskan pembagian wajib dari segi
waktunya menjadi dua, yaitu: wajib alal
faur dan wajib alat tarakhi.
Wajib ‘Alal Faur adalah apabila telah tercapai semua syarat, wajib segera
dilaksanakan tanpa menunda. Seperti, melaksanakan zakat wajib segera
dikueluarkan apabila haul dan nisab sudah terpenuhi. Sedangkan wajib ‘Alat
Tarakhi adalah pelaksanaan kewajiabn itu masih dapat ditunda selama syarat
wajibnya tidak akan hilang dari diri orang yang diwajibkan untuk melakukan
perbuatan itu. Seperti haji.
Wajib dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban
hukum, dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Wajib Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada
setiap orang yang sudah baligh berakal (mukallaf), tanpa kecuali. Misalnya,
shalat fardhu lima waktu. Kaitannya dengan wajib ‘Ain, muncul suatu pertanyaan
di waktu tidak mampu melaksanakan sendiri atau telah meninggal dunia, apakah
bisa gugur kewajiban itu dengan dilaksanakan orang lain?. Ulama’ ushul fiqh
membagi hal itu menjadi tiga kategori. Pertama,
yang berhubungan dengan harta, seperti kewajiban membayar zakat atau kewajiban
mengembalikan titipan orang lain kepada pemiliknya. Kewajiban seperti ini
disepakati pelaksanaanya bisa digantikan orang lain; Kedua, kewajiban dalam bentuk ibadah Mahdhah, seperti Shalat dan
Puasa. Kewajiban seperti ini, disepakati tidak bisa digantikan oleh orang
lain.; dan Ketiga, kewajiban yang
mempnyai dua dimensi, yaitu dimensi ibadah fisik dan dimensi harta. Dalam hal
ini ulama’ berbeda pendapat. Ada yang berpendapat tidak sah digantikan orang
lain, dan yang lainnya yaitu mayoritas ulama’ berpendapat Haji sah digantikan
orang lain.
b. Wajib kifayah yaitu
perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif.
Ditinjau dari segi kuantitasnya
a. Wajib Muhaddad yaitu
kewajiban yang ditentukkan batas kadarnya (jumlahnya).
b. Wajib qhairu muhaddad yaitu
kewajiban yang tidak ditentukkan batas kadarnya.
Ditinjau
dari segi kandungan perintah
a. Wajib mu’ayyan yaitu suatu
kewajiban yang objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Seperti membayar
zakat.
b.
Wajib mukhayyar yaitu
kewajiban yang objeknya dapat dipilih dari alternative yang ada. Seperti,
membayar kafarat, boleh dengan member makan sepuluh orang miskin, atau memberi
pakaian, atau memerdekakan budak.
2.
Nadb (Sunnah)/mandub, macam-macamnya yaitu:
Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam:
a. Sunnah Mu’akkadah yaitu
perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh Rasul. Seperti, shalat sunnah
qobliyah dan ba’diyah yang mengiringi shalat fardhu lima waktu.
b. Sunnah Ghairu Mu’akkadah
yaitu segala perbuatan tidak wajib kadang-kadang dikerjakan oleh rasul,
kadang-kadang saja ditinggalkan. Seperti, puasa setiap hari senin dan kamis.
c. Sunnah al-Zawaid yaitu
mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasul sebagai manusia. Seperti, cara makan,
cara tidur, dan cara berpakaian rasul.
3.
Tahrim (haram), menurut para ulama’ Ushul Fiqh antara
lain Abdul Karim Zaidan, membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:
a. Haram Li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh
syariat karena esensinya mengandung
kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak dapat terpisah
dari zatnya. Misalnya, larangan meminum khamr.
b. Haram Lighairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan
karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudharaatan, namun
dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal
yang membawa pada sesuatu yang dilarang secara esensial. Seperti, larangan
berjual beli/ transaksi bisnis waktu adzan shalat jum’at.
4.
Karahah (Makruh), macam-macamnya yaitu:
a. Makruh Tanzih ialah
perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan diberi pahala tetapi bila
dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa. Seperti memakan daging kuda
dan meminum susunya dikala sangat butuh diwaktu peperangan.
b. Makruh Tahrim ialah perbuatan yang
dilakukan namun dasar hukukmnya tidak pasti. Seperti, larangan mengkhitbah
wanita yang sedang dalam khitbahan orang lain.
5. Ibahah (kebolehan)/ Mubah. Pembagian mubah menurut Abu
Ishaq Asy-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi Mubah kepada tiga macam,
yaitu:
a. Mubah yang berfungsi mengantarkan seseorang pada
sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya, makan dan minum merupakan suatu hal
yang mubah, namun berfungsi mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan
kewajiban-kewajiban yang telah
dibebankan kepadanya. Seperti, shalat. Demikian Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam
menjelaskan, hanya dianggap mubah dalam hal memilih makanan halal mana yang
akan dimakan. Akan tetapi seseorang tidak diberi kebebasan untuk memilih antara
makan atau tidak, karena meninggalkan makan samasekali dalam hal ini akan
membahayakan dirinya.
b. Sesuatu baru dianggap Mubah hukumnya bilamana dilakukan
sekali-kali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Seperti,
bermain atau mendengarkan nyanyian hukumnya adalah mubah bila dilakukan
sekali-kali, tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain atau
mendengarkan nyanyian.
c. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk
mencapai sesuatu yang mubah pula. Mislanya, membeli perabot rumah tangga hanya
untuk kepentingan kesenangan (tersier).
Pada
dasarnya, pembagian mubah didasarkan atas pertimbangan sejauhmana
keterkaitannya dengan kemudharatan atau kemanfaatannya. Sehingga dua
pertimbangan tersebut menyebabkan implikasi hukum mubah pada hukum lain.
Demikian
macam-macam hukum Taklifi serta pembagiannya menurut mayoritas Fuqahah’. Namun
demikian, sebagai bandingan saja, kami sampaikan bentuk-bentuk hukum taklifi
menurut ulama’ Hanafiyah sebagai berikut:
1.
Iftiradh.
2.
Ijab.
3.
Ibahah.
4.
Karahah Tanziyyah.
5.
Karahah Tahrimiyyah.
6.
Tahrim.
Kesimpulan
Hukum Taklifi adalah hukum yang berisi perintah, larangan atau pilihan
antara berbuat atau tidak berbuat. Hukum taklifi erat kaitannya dengan
maqaashid syariah yang lima. Yaitu, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Masing-masing dari kelima tersebut memiliki pembagian ditinjau dari beberapa
segi oleh beberapa imam.
DAFTAR PUSTAKA
H.Ssatria Efendi,
M Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana,
2009.
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka
Setia, 1999.
Chaerul Uman, Ushul Fiqh 1, Bandung: CV Pustak Setia,
1998.