Makalah Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh Full (BAB II) Lanjutan
Kaidah fiqh dikatakan penting
dilihat dari dua sudut :
1.
Dari
sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan
menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama
dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.
2.
Dari
segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan
belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu
alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau
kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa
hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam
undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar
telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan
qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu
adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai
klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang
pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk
mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi
kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang
fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena
jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan
dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah
tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
F.
Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua,
yaitu :
1.
Kaidah
fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang
dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya,
artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2.
Kaidah
fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang
berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri.
Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil
mandiri.
Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn
al-juwayni. Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh
tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada
umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai
pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak
mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak
dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih
bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul
sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad
ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja
tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap
bercerai berai.”
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah
mencakup dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua
bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang
bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan
mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya
tidak terbatas.
G.
Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan
pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah
asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan
kekuatannya. Jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
1.
Segala
macam tindakan tergantung pada tujuannya
2.
Kemudaratan
itu harus dihilangkan
3.
Kebiasaan
itu dapat menjadi hukum
4.
Yakin
itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5.
Kesulitan
itu dapat menarik kemudahan. Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada
pahala kecuali dengan niat.” Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang
merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap
diakui.
H.
Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah
Fiqh
1.
Kaidah
ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang
sama.
2.
Kaidah-kaidah
ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah
furu’.
3.
Kaidah-kaidah
ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil
yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut.
Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
I.
Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
1. Meraih kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi
mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik
dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada
yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh
maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang
oleh syari’ah.
2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah
asasi) Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
a. Kaidah asasi pertama “segala perkara
tergantung kepada niatnya” Niat sangat penting dalam menentukan kualitas
ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu
dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi
laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang
lain.
b. Kaidah asasi kedua “keyakinan tisak
bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
c. Kaidah asasi ketiga “kesulitan
mendatangkan kemudahan” Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang
dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka
syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.
d. Kaidah asasi keempat “kemudhoratan
harus dihilangkan” Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid
al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan
atau setidak-tidaknya meringankannya.
e. Kaidah asasi kelima “adat kebiasaan
dapat dijadikan (pertimbangan) hukum” Adat yang dimaksudkan kaidah diatas
mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang
dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.
J.
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri
dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
1. “Ijthat yang telah lalu tidak bisa
dibatalkan oleh ijtihat yang baru” Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin
Khattab : “itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang
kami putuskan sekarang”
2. “Apa yang haram diambil haram pula
diberikannya” Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi
atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam
dosa.
3. “Apa yang tidak bisa dilaksanakan
seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
4. “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur
yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil” Maksud kaidah ini adalah ada
hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang
menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada
pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah
pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil
curian.
5. “Barang siapa yang mempercepat
sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu
tersebut” Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita
puasa sebelum maghrib tiba.
K.
Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih
sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku
dalam cabang fioqh tertentu, yaitu :
1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang
ibadah mahdah “Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah
pula digunakan shalat fardhu”
2. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang
al-Ahwal al-Syakhshiyah Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi :
pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan
keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu “Hukum asal pada masalah seks
adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
3. Kaidah fiqh yang khusus di bidang
muamalah atau transaksi “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya” Maksud dari kaidah ini adalah
bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti : jual beli,
sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang
mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
4. Kaidah fiqh yang khusus di bidang
jinayah Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan
dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu
kaidah khusus fiqh jinayah adalah : “Tidak boleh seseorang mengambil harta
orang lain tanpa dibenarkan syari’ah” Pengambilan harta orang lain tanpa
dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada
sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya :
petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib
mengeluarkan zakat.
5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang
siyasah “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada
kemaslahatan” Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada
kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya
maupun golongannya.
6. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara) Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu : “Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
6. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara) Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu : “Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.