Makalah Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh Full (BAB II)
A.
Pengertian
Sebagai studi ilmu agama pada
umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi.
Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu
kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah
dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari
qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang
berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa
berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar),
al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
”Allah
akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”. (Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan terminologi
kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh
Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah : ”Kaum yang bersifat universal
(kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”. Sedangkan
mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : ”Hukum yang biasa berlaku
yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”. Sedangkan arti fiqh ssecara
etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
”Untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
(Q.S. At-Taubat : 122)
Sedangkan menurut istilah, Fiqh
adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah
(praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Jadi,
dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah
umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak
yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”. Dari pengertian diatas
dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah
fiqh dari berbagai bab.
B.
Sejarah Perkembangan Qawaidul
Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan
Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu:
1. Fase
pertumbuhan dan pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga
abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi
pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW,
yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H/12 SH-10 H), dan zaman
tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M/100-351
H). Tahun 351 H/1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi
ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir
al-Thabari (310 H/734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau
dari dua segi, yaitu :
a. Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh
karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat
b. Segi cakupan makna dan bentuk
kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi
cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah
fiqh, yaitu: ”pajak itu disertai imbalan jaminan”, ”Tidak boleh menyulitkan
(orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap
sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat
berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para
sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah
murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang
wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj,
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj,
kaidah-kaidah yang disusun adalah : ”Harta setiap yang
meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal” Kaidah
tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu
lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau
mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu : ”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu : ”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu : ”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu : ”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
2.
Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman
taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan)
pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah
bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada
masa-masa berikutnya. Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam
kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu
pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
a. Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn
wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
b. Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri
al-maliki (W. 750 H)
c. Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid
al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
d. Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn
rajab al-Hambali (W. 795 H)
3.
Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh,
meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh
pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H
adalah “seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin
dari pemiliknya” Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih
menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah : “seseorang tidak
diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”
C.
Pembagian Kaidah Fiqh
Cara
membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
1. Segi
Fungsi
Dari segi
fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal.
Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki
cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra
al-Asasiyyat, umpamanya : ”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum” kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal,
diantaranya : ”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah
ditentukan sebagai syarat” ”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti
ditetapkan dengan naskh”. Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal
adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak
dihadapkan dengan furu’.
2.
Segi Mustasnayat
Dari
sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah
yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah fiqh
yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah
: ”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat” Kaidah
fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong
pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3.
Segi kualitas
Dari segi
kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
a. Kaidah kunci
Kaidah
kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat
dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
b. Kaidah asasi
Adalah
kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam.
Kaidah fiqh tersebut adalah : ”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”.
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”. ”Kesulitan mendatangkan kemudahan”. ”Adat
dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hokum.
c. Kaidah fiqh yang diterima oleh semua
aliran hukum sunni
Kaidah
fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam
al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.
D.
Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1.
Dengan
kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu
dari masalah-masalah fiqh.
2.
Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah
yang dihadapi.
3.
Dengan
kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda.
4.
Meskipun
kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Menurut
Imam Ali al-Nadawi (1994)
1.
Mempermudah
dalam menguasai materi hukum
2.
kaidah
membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
3. Mendidik
orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4.
mempermudah
orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan
mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik.
5.
Meringkas
persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk
menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih
besar.
Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan
kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam