Artikel Agency Theory
Pemisahan pemilik dan
manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency Theory
(teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam
perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model
akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model
ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemegang
saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara pemilik
dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang
saling bertentangan (Conflict of Interest).
Pertentangan dan tarik menarik
kepentingan antara prinsipal dan agen dapat menimbulkan permasalahan yang dalam
Agency Theory dikenal sebagai Asymmetric Information (AI) yaitu
informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi
informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Ketergantungan pihak
eksternal pada angka akuntansi, kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan
sendiri dan tingkat AI yang tinggi, menyebabkan keinginan besar bagi manajer
untuk memanipulasi kerja yang dilaporkan untuk kepentingan diri sendiri.
Dengan
adanya hal tersebut, dalam praktik pelaporan keuangan sering menimbulkan
ketidak transparanan yang dapat menimbulkan konflik principal dan agen. Akibat
adanya perilaku manajemen yang tidak transparan dalam penyajian informasi ini
akan menjadi penghalang adanya praktik GCG (Good Corporate Governance) pada
perusahaan-perusahaan karena salah satu prinsip dasar dari GCG adalah
Transparency (keterbukaan).
Berdasarkan
uraian diatas, dapat dikatakan bahwa dalam rangka menegakan prinsip GCG pada
perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya prinsip transparasi dan
akuntabilitas,penyajian informasi akuntasi yang berkualitas dan lengkap dalam
laporan tahunan sangat diperlukan. Hal ini akan memberikan manfaat yang optimal
bagi pemakai laporan keuangan dalam pengambilan keputusan. Untuk itu dalam
uraian berikut ini akan dibahas tentang Agency
Theory sebagai awal timbulnya isu tentang Good Corporate Governance (GCG),
kemudian Good Corporate Governance beserta prinsip-prinsip yang melandasi dan
peran akuntan dalam menegakkan prinsip GCG di Indonesia. Konsepsi CG dalam
bahasan ini didasarkan sudut pandang organisasi perusahaan privat sebagai open
system. Burrel dan Morgan (1979)
menyatakan bahwa suatu organisasi mempunyai fungsi yang sama dengan organisme
yang berhadapan dengan lingkungannya. Untuk dapat bertahan hidup,organisasi
tersebut harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana organisasi tersebut
berada (misal budaya masyarakat,pemerintah,aturan dan regulasi lainnya)
Bahasan Agency Theory
Pemilik
atau pemegang saham sebagai prinsipal,sedangkan managemen sebagai agen. Agency Theory mendasarkan hubungan
kontrak agar anggota-anggota dalam perusahaan, dimana prinsipal dan agen
sebagai pelaku utama. Prinsipal merupakan pihak yang memberikan mandat kepada
agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang
diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban
untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal
kepadanya.
Aplikasi
agency theory dapat terwujud dalam
kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak
dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja
merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik
yang berupa keuntungan,return maupun resiko-resiko yang disetujui oleh
prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat
fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara
matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan
pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti
dari Agency Theory atau teori
keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan
prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997).
Menurut
Eisenhard (1989), teori keagenan
dilandasi oleh 3 buah asumsi yaitu:
1.
Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi
tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas
(bounded rationality), dan tidak menyukai resiko (risk aversion).
2.
Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi
keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,efisiensi sebagai
kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric
Information (AI) antara prinsipal dan agen.
3.
Asumsi tentang informasi.
Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai
barang komoditi yang bisa diperjual belikan.
Baik prinsipal maupun agen,
keduanya mempunyai bargaining position. Prinsipal sebagai pemilik modal
mempunyai hak akses pada informasi internal perusahaan, sedangkan agen yang
menjalankan operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan
kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, namun agen tidak mempunyai wewenang
mutlak dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang bersifat strategis,
jangka panjang dan global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan
tersebut tetap menjadi wewenang dari prinsipal selaku pemilik perusahaan.
Adanya posisi, fungsi, kepentingan
dan latar belakang prinsipal dan agen yang berbeda saling bertolak belakang
namun saling membutuhkan ini, mau tidak mau dalam praktiknya akan menimbulkan
pertentangan dengan saling tarik menarik pengaruh dan kepentingan antara satu
sama lain. Apabila agen (yang berperan sebagai penyedia informasi bagi
prinsipal dalam pengambilan keputusan) melakukan upaya sistematis yang dapat
menghambat prisipal dalam pengambilan keputusan strategis melalui penyediaan
informasi yang tidak transparan, sedang di lain pihak prinsipal selaku pemilik
modal bertindak semaunya atau sewenang-wenang karena ia merasa sebagai pihak
yang paling berkuasa dan penentu keputusan dengan wewenang yang tak terbatas,
maka kemudian yang terjadi adalah pertentangan yang semakin tajam yang akan
menyebabkan konflik yang berkepanjangan yang pada akhirnya merugikan semua
pihak. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang ekonomik (homo
economicsus) yang berperilaku ingin memaksimalkan kepentingannya
masing-masing.
Dalam konsep Agency Theory, manajemen sebagai agen semestinya on behalf the best interest of the
shareholders, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan manajemen hanya
mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan utililitas. Manajemen
bisaa melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara
keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan.
Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak
menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan
kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan Agency Problem yang salah satunya
disebabkan oleh adanya Asimmetric
Information.
Asimmetric
Information (AI), yaitu informasi yang tidak
seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama
antara prinsipal dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh
informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari
usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilanyang diperoleh
oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang
diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan
kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang
dipercakan kepada agen.
Akibatnya adanya informasi yang
tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2 (dua) permsalahan yang
disebabkan adanya kesulitan prisipal untuk memonitor dan melakukan kontrol
terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan
permasalahan tersebut adalah :
1. Moral Hazard
Yaitu permasalahan yang muncul jika
agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak
kerja.
2. Adverse Selection
Yaitu suatu keadaan dimana prinsipal
tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen
benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi
sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
Adanya agency problem di atas,
menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari :
1. The monitoring expenditures by
the principle
Biaya monitoring dikeluarkan oleh
prinsipal untuk memonitor prilaku agen, termasuk juga usaha untuk mengendalikan
(control) perilaku agen melalui budget restriction, compensation policies.
2. The bonding expeditures by the
agent
The bonding cost dikeluarkan oleh
agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan menggunakan tindakan tertentu yang
akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin bahwa prinsipal akan diberi
kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan.
3. The residual loss
Merupakan penurunan tingkat
kesjahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya agency relationship.
Dari penambahan diatas, bila
dibuatkan ringkasan tentang asumsi dan penerapan agency theory dalam organisasi akan tampak dalam label 1 dibawah
ini :
Aplikasi Agency Theory pada
Pengelolaan Perusahaan
Konsep
pemisahan antara kepemilikan (ownership)
para pemegang saham dan pengelolaan (management)
para agen atau manger dalam perusahaan telah menjadi kajian sejak tahun
1930-an. Manajemen perusahaan publik yang besar biasanya bukan pemilik. Bahkan
sebagaian besar manjemen puncak (top
mangement) hanya memiliki saham nominal dalam peerusahaan yang mereka
kelola.
Bila
dilihat dari perkembangan teori perusahaan dan hubungannya dengan kebutuhan
GCG, dari perspektif Agency Theory,
Tabel 2 berikut ini menunjukan perkembangan akan kebutuhan GCG pada teori
korporasi klaasik.modern,dan post-modern.
Dalam uraian
diatas tentang Agency Theory diatas
disebutkan bahwa adanya perilaku dari manager/agen untuk bertindak hanya untuk
menguntungkan dirinya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak
lain/pemilik, dapat terjadi karena manjer mempunyai informasi yang lengkap
mengenai perusahaan, sedangkan informasi tersebut tidak dimilki oleh pemilik
perusahaan (dalam hal ini timbul Asymmetric
Information atau AI).
Adanya AI dan Self Serving Behavior pada manager/agen, memungkinkan mereka untuk
mengambil keputusaan dan kebijakan yang kurang bermanfaat bagi perusahaan.
Adanya kondisi ini menimbulkan tata kelola perusahaan yang kurang sehat karena
tidak adanya keterbukaan dari manajemen untuk mengungkapkan hasil kinerjanya
kepada prinsipal sebagai pemilik perusahaan. Agency Theory menganalisis dan mencari solusi atas dua permasalahan
yang muncul dalam hubungan antara para prinsipal (pemilik/pemegang saham) dan
agen (manajemen).
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
Drs.M.Com. (hons,), Akt.Ph.D. (2005) Tinjauan Perspektif Teori Keagenan (Agency Theory) ‘Pidato Pengusulan
Jabatan Guru Besar. Universitas Diponegoro. Semarang.
Soegiharto. (2005). ‘Peran Akuntan Dalam Menegakkan
Good Corporate Governance’ Auditor. Edisi 18. Hal. 38 – 41.