Makanan Daerah Di Pulau Jawa (BAB II)
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Jawa
Jawa
adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia,
dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi membentuk
jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa
utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian
besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual,
yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama
maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun
terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di
pulau ini.
Pulau
ini secara administratif terbagi menjadi empat provinsi, yaitu Jawa Barat,
Jawa
Tengah, Jawa
Timur, dan Banten;
serta dua wilayah khusus, yaitu DKI Jakarta
dan DI
Yogyakarta.
Pulau
ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda,
yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus,
yang populer dijuluki "Si Manusia Jawa",
ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan
tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau. Situs Sangiran
adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik
telah ditemukan di pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja
batu, dan piramida berundak yang
lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di
situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat.
Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur
monolit, teras batu, dan sarkofagus. Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli
Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan
Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban
Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan
Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir
utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara.
Pulau Jawa yang sangat subur dan
bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah,
sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin
kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan
kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya
yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior
pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar.
Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme
Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan utama perhubungan masyarakat, meskipun
kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi
sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut
terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.
Diperkirakan suatu sistem perhubungan
yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta pos pungutan cukai
telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad ke-17. Para
penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim hujan yang
lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan
jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah
dikatakan bahwa perhubungan antar penduduk pulau Jawa pada masa itu adalah
sulit.
Suku Jawa
Suku
Jawa (Jawa ngoko:
wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan
suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah,
Jawa Timur,
dan Yogyakarta.
Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga
propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera
Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon.
Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.
Kepercayaan
Orang
Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada
juga yang menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut
agama Buddha dan
Hindu juga
ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa
yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan
pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme
kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai
Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.
Profesi
Mayoritas
orang Jawa berprofesi sebagai petani, namun di perkotaan mereka mendominasi
pegawai negeri sipil, BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat eksekutif, pejabat
legislatif, pejabat kementerian dan militer. Orang Jawa adalah etnis paling
banyak di dunia artis dan model. Orang Jawa juga banyak yang bekerja di luar negeri,
sebagai buruh kasar dan pembantu rumah tangga. Orang Jawa mendominasi tenaga
kerja Indonesia di luar negeri terutama di negara Malaysia, Singapura,
Filipina, Jepang, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Taiwan, AS dan
Eropa.
Masakan Jawa
Pulau Jawa mempunyai pelbagai kumpulan
etnik: Jawa, Sunda di Jawa Barat dan Madura di pulau Madura di Jawa Timur. Kumpulan etnik ini mempunyai masakan
berlainan mereka sendiri.
Masakan Jawa (tidak
termasuk orang Sunda dan Madura) secara besar dibahagikan ke dalam tiga
kumpulan utama:
1. Masakan Jawa Tengah
2. Masakan Jawa Timur
3. Hidangan Jawa umum
Ada kemiripan pada masakan-masakan
tersebut tetapi perbezaan utama terletak pada perisanya. Masakan Jawa Tengah
adalah lebih manis dan kurang pedas, sementara masakan Jawa menggunakan kurang gula dan lebih cili, kemungkinan dipengaruhi oleh masakan Madura.
Nasi adalah makanan asasi yang umum, dan
disertakan dengan setiap hidangan. Gaplek, atau ubi kayu kering, kadang-kadang dicampur ke dalam nasi atau mengganti
nasi. Roti dan biji-bijian adalah tidak umum, walaupun mi dan kentang sering
dihidang sebagai iringan pada nasi.
Hampir 90% orang Jawa beragama Islam, dan akibatnya, kebanyakan dari
masakan Jawa tidak menggunakan daging babi. Hanya sedikit etnik di Indonesia
menggunakan daging babi (dan sumber protein lain yang dianggap
"haram" di bawah hukum pemakanan Islam) dalam masakan mereka, yang
paling ketara masakan Bali, masakan
Cina Indonesia, dan masakan Manado.
Masakan Di Jawa
Tengah
Makanan di Jawa Tengah dipengaruhi oleh dua kerajaan kuno Yogyakarta dan Surakarta (juga secara umum digelarkan Solo). Banyak dari hidangan
khusus Jawa Tengah mengandungi nama-nama kawasan di mana makanan pertama
menjadi masyhur. Contohnya:
1. Gudeg Yogya: Nangka muda, ayam dan rebusan telur
rebus, hidangan ini mempunyai rasa manis dan menyelerakan yang unik. Ini
biasanya diiringkan dengan sebuah hidangan tepi kulit dalam daging lembu pedas
& rebusan tauhu.
2. Bakso Solo: Bakso secara harfiah bermakna
bola daging, diperbuat dari daging lembu, dan dikhidmat dalam sup panas masak
dengan mi mung bean-thread, sayur-sayuran hijau, kubis cencang, dan pelbagai
kuah (cili, tomato). Versi ini dari solo mempunyai bola daging saiz besar, saiz
bola tenis. Juga digelarkan Bakso Tenis. Bakso adalah hidangan berpengaruh Cina,
tetapi menjadi sebuah snek masyhur di sepanjang Indonesia.
3. Ayam goreng Kalasan/Klaten: Ayam, direbus dalam rempah (ketumbar, bawang putih, candlenut, dan ciri air kelapa secara kuat)
kemudian digoreng dalam hingga rangup. Dihidang dengan sambal dan ulam sayur
mentah.
4. Timlo Solo: Sebuah sup daging lembu dan
sayur-sayuran.
5. Soto Kudus: Soto adalah sebuah sup Indonesia
dicampur dengan kunyit, dan dapat dibuat dengan ayam, daging
lembu, atau daging kambing. Versi dari Kudus, sebuah bandar JAwa Tengah, dibuat
dari ayam.
6. Jenang Kudus: Sebuah daging manis dibuatkan dari
tepung beras, gula melaka dan santan.
7. Lumpia Semarang: Popia goreang atau kukus. Intipatinya berbeza, tetapi
terdiri terutamanya dari daging dan pucuk rebung. Ia dihidang dengan kacang
soya ditapai manis (taucu) atau sos bawang putih manis. Suatu
lagi iringan adalah acar dan cili
8. Sate Blora: Satay ayam
9. Swikee Purwodadi: Kaki katak dimasak dalam sup kacang
soya ditapai (taucu).
10. Srabi Solo: Sebuah pancake dibuatkan dari santan, dicampur dengan
sedikit tepung beras sebagai pemekat. Srabi dapat dihidang sederhana, atau
dengan atasan seperti pisang dibelah, nangka dicencang, taburan coklat (muisjes), atau keju.
11. Nasi Bogana Tegal: Sebuah hidangan nasi putih dibalut
dalam daun pisang dan dihidang dengan kepelbagaian hidangan tepi.
12. Teh poci Tegal: Teh brewed dalam sebuah teko tanah
liat, dihidang dengan gula rock. Tegal, sebuah bandar Jawa Terngah,
adalah sebuah penghasil utama teh berkualiti tinggi.
13. Wingko babat: Sebuah kek dibuat secara
besar dari pulut dan kelapa desiccated, toasted and
sold warm.
14. Madu mongso: Suatu daging manis dibuat
dari pulut hitam ditapai, dimasak dalam santan dan gula. Ia melekat dan sangat
manis, dan dibalut dalam husk jagung.
15. Bakpia: Sebuah pastri manis dengan pes
mung bean bergula.
16. Tongseng: Suatu kari kuat rempah tulang
mendalam daging kambing, yang cepat-cepat digoreng ringan sewaktu menjual
dengan menambah sayur-sayuran.
17. Bakmoy: ketulan kecil tauhu goreng,
ayam dan telur rebus dengan rebusan ayam & penyeleraan dibuat dari kicap
manis.
Masakan Jawa Timur
Masakan Jawa Timur secara besar
dipengaruhi oleh masakan Madura - Madura menjadi sebuah penghasil
utama garam, oleh itu tinggalnya gula dalam banyak hidangan. Banyak hidangan
Jawa Timur adalah biasanya Madura, seperti Soto Madura dan Sate Madura, biasanya dijual oleh peneroka
Madura.
Walaupun adanya banyak hidangan dari
nama bandar bercantum pada mereka, versi tempatan ini diadakan dalam setiap
bandar. Hidangan berkaitan bandar termasyhur adalah:
1. Pecel Madiun: Suatu ulam sayur-sayuran, Ia biasnaya
dihidang sebagai suatu iringan dengan nasi. Keropok kacang atau ikan
kering/udang (rempeyek) dihidang di tepi. Jangan dikelirukan dengan pecel lele, yang adalah ikan sembilang tempatan goreng dalam dihidang dengan sambal.
2. Soto Madura: Suatu sup daging lembu asas kunyit
asas dan bahagian dalam binatang yang disembelih, dihidang dengan telur rebus,
dan sambal.
3. Sate Madura: Satay ayam.
4. Soto Lamongan: Soto ayam berasal dari bandar
Lamongan.
5. Rujak CingurSemanggi
6. Lontong balap
7. Tahu campur
8. Tahu tek
9. Gado-gado
10. Ronde
11. Ayam penyet.
12. Bebek goring
13. Klepon
14. Jajan pasar
15. Cwie mie
16. Sop buntut
17. Kripik tempe
Hidangan Jawa Umum
Hidangan umum Jawa, yang dapat dijumpa
di sepanjang Jawa tanpa berkenaan lokasi.
1. Sayur asem: Sayur-sayuran dalam sup
perisa asam jawa. Dapat dihidang panas atau sejuk.
2. Pepes: Daging, ayam, atau ikan air
tawar/makanan laut dicampur dengan pes rempah, dibalut dalam daun pisang,
kemudian dikukus atau bakar.
3. Tumis sayuran: Sayur-sayuran goreng
ringan, baisanya dicampur dengan cili dan pes rempah.
4. Sayur lodeh: sayur campuran, direbus
dalam santan.
Konsep Rumah Dijawa Yang Mempengaruhi Pola Makan
Secara umum, konsep ruang makan tidak
ada di kalangan orang Jawa. Arsitektur rumah lama di Jawa tidak menyediakan
tempat khusus untuk ruang makan. Ruang tamu, ruang untuk makan, dan ruang untuk
keluarga bercampur.
Kultur agraris memperlihatkan makan
pagi dilaksanakan di sawah atau ladang. Para petani harus sudah keluar dari
rumah sebelum matahari menyengat. Akibatnya, mereka tidak bisa makan pagi di
rumah. Setidaknya pengamatan Thomas Stamford Raffles dalam History of Java (1817) juga menyebutkan hal seperti
itu. Bahkan pengamatan Augusta de Wit yang datang pada 1890-an dalam Java:
Facts and Fancies menyebutkan, orang Jawa makan pagi di sungai setelah mandi.
Ahli kebudayaan Jawa dari Universitas
Negeri Semarang, Teguh Supriyanto, mengatakan, orang Jawa memang tidak mengenal
ruang makan. Kebiasaan agraris menjadikan orang Jawa tidak memerlukan ruang
makan secara khusus. Makan siang pun kadang dilakukan di sawah.
Kebiasaan makan di sawah atau kebun
mengakibatkan sikap tubuh saat makan di rumah pun persis seperti di sawah.
Duduk dengan jegang (kaki naik), duduk bersila, sambil makan tanpa sendok mudah
terlihat, bahkan hingga sekarang sekalipun.
Rumah tanpa ruang makan ini masih bisa
ditemui di beberapa tempat seperti di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Arsitektur rumah tidak menyediakan ruang makan secara khusus. Bahkan, meja
untuk menaruh makanan pun kadang tidak ada. Keluarga yang mau mengambil nasi
ataupun sayur dan lauk mengambil langsung di dapur. Setelah itu, mereka makan
di sembarang tempat.
Pergeseran mulai terjadi di
keluarga-keluarga yang tinggal di kota kecamatan. Mereka sudah mulai memiliki
ruang makan tetapi masih bercampur dengan dapur. Kedua ruangan ini tidak ada
sekatnya. Mereka masih menaruh berbagai benda, seperti sepeda motor, jemuran
pakaian, dan gabah, di ruangan itu. Keadaan ini bisa ditemukan di sebuah
keluarga di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.
Makanan kadang tersedia di meja makan,
tetapi ini pun dilakukan bila ada tamu. Bila tidak ada tamu, anggota keluarga
tetap saja mengambil makanan langsung dari perapian atau dapur. Setelah itu,
mereka tetap saja makan di sembarang tempat, mulai dari ruang tamu hingga
dapur. Posisi badan bisa duduk di kursi, amben, dan lantai.
Bila ada tamu, kadang mereka menemani
makan. Namun tidak sedikit si empunya rumah tidak menemani makan para tamu.
Bagi para tamu yang terbiasa dengan kehangatan di meja makan, hal ini kadang
membuat canggung. Bagaimana mungkin saat tamu makan tetapi tuan rumah malah
tidak makan? Bagi orang Jawa sendiri, hal ini untuk menghormati tetamunya,
tetapi belum tentu diterima oleh tamunya. Masih lumayan tuan rumaqh mau
menemani sambil mengobrol meski dia tidak makan.
Berikutnya kita bisa menemukan rumah
yang memiliki ruang makan yang tidak tergabung dengan dapur. Akan tetapi, ruang
makan ini seadanya saja. Ada meja makan dan ditata layaknya ruang untuk makan.
Meja hanya berfungsi untuk meletakkan makanan. Berbagai peralatan ada di meja
makan, tetapi terkesan seadanya.
Ruang makan berikutnya berada di
keluarga yang secara serius merancang ruang makan ketika rumahnya dibangun. Di
ruang makan terdapat berbagai peralatan dan dilengkapi berbagai atribut,
seperti telapak meja dan satu set alat makan. Alat makan seperti garpu sudah
digunakan setiap kali makan.
Di kota besar, ruang makan kadang
terbuka dan tanpa sekat dengan dapur dan ruang tamu. Mereka yang duduk di ruang
tamu bisa melihat meja makan dan isinya. Perubahan ini sangat mungkin terkait
dengan minimnya tanah, tetapi bisa juga karena perubahan gaya hidup. Mereka
makin terbuka. Di sisi lain mereka ingin menampilkan gaya hidup terbaru. Mereka
ingin menunjukkan pilihan desain ruangan dan menu makanan yang sesuai dengan
gaya yang paling baru. Identitas mereka juga ingin ditunjukkan melalui penataan
ruang makan.
Meski banyak orang Jawa telah memiliki
ruang makan dan mengetahui tata sopan santun makan, tetap saja sikap-sikap
orang agraris masih melekat. Meski mereka makan di meja makan dengan berbagai
peralatan, tetap saja ada kerinduan untuk makan di tempat yang
"bebas" seperti warung kaki lima. Mereka juga kadang ingin makan
dengan tangan langsung alias tanpa sendok. Mereka juga mengunjungi rumah makan
tradisional yang kadang tak memerlukan sikap badan yang penuh dengan sopan
santun.
Masih melekatnya sifat-sifat agraris
dalam hal makan dan pemahaman keberadaan ruang makan hingga sekarang sebenarnya
merupakan perjalanan panjang orang Jawa dari sekadar makan untuk mengisi perut
hingga mereka mengenal tata cara makan dan ruang makan.
Pengenalan itu hingga sekarang belum
selesai. Sikap-sikap tubuh dalam makan masih saja menunjukkan kebiasaan makan
masyarakat agraris. Tidak sedikit yang merasa ruang makan juga masih terasa
asing. Ruang makan masih dianggap pelengkap sebuah rumah atau sekadar ruangan
yang bermeja untuk menaruh makanan.
Pengenalan orang Jawa mengenai konsep
ruang makan sangat mungkin terkait dengan keberadaan orang Belanda di
Nusantara. Keluarga-keluarga Belanda mempekerjakan penduduk setempat untuk
menjadi pembantu. Para pembantu inilah kemudian mengenal berbagai jenis makanan
orang Belanda, tata cara makan, dan ruang makan.
Akan tetapi, pengenalan yang lebih
masif terjadi sekitar abad ke-19 saat Belanda memberi kesempatan bagi penduduk
untuk mulai masuk dalam sejumlah kehidupan orang Belanda, seperti menjadi
pejabat dan kesempatan bersekolah. Analisa pengenalan kebudayaan Belanda ini
setidaknya terdapat dalam buku Dutch Culture Overseas karya Frances Gouda.
Penduduk pribumi kemudian mengenal gaya hidup orang Belanda. Pola-pola peniruan
gaya hidup ini merasuk hingga soal kebutuhan ruang makan dan juga menu yang
ditampilkan.
"Konsep ruang makan dan tata cara makan memang dipengaruhi oleh Belanda," kata Teguh. Sejak saat itu, orang Jawa mengenal ruang makan. Meski demikian, orang Jawa tetap tidak mudah untuk akrab dengan ruang makan. Di keluarga modern pun kadang kaki bisa diangkat ke kursi saat makan. Ruang makan masih menjadi ruangan yang asing bagi orang Jawa.
"Konsep ruang makan dan tata cara makan memang dipengaruhi oleh Belanda," kata Teguh. Sejak saat itu, orang Jawa mengenal ruang makan. Meski demikian, orang Jawa tetap tidak mudah untuk akrab dengan ruang makan. Di keluarga modern pun kadang kaki bisa diangkat ke kursi saat makan. Ruang makan masih menjadi ruangan yang asing bagi orang Jawa.