Makalah Tentang Hubungan Agama Dengan Kebudayaan Di Indonesia Full (BAB II)
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti
tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu
yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas
dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya,
dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai
kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang
agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya.
Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang
moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion
(bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar
pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat
peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan
realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara
horizontal.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari
kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul
Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga
Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang
diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu
hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama
berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat
seperti yang dikutip oleh Muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih
memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau
kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang
agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama
memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini
dan diseberang sana.
B.
Agama dan Budaya
Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem,
gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang
dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani,
bertukang, berrelasi dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan
tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam
fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, etos kerja dan
pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya
manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada
pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada
bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan.
Lebih tegas
dikatakan Geertz, bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak
manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau
kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga
wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni
suara, ukiran, bangunan.
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama
timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil
daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya,
yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya
agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh
karena itu agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan
yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara
pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang
tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak.
Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India,
Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga
mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang
sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan
penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa
agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti
mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk
etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada
pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia
sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi
dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru
berdasarkan inspirasi agama.
C.
Agama dan budaya Indonesia
Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak
budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama
pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia
telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang
perbedaan agama, suku dan ras.
Di samping pengembangan budaya immaterial tersebut
agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti
candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu
dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang
budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah
Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda
dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu
menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has
Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus
di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam dan Hindu. Masjid
Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan
hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah
Minangkabau.
Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset
bangsa, sebab agama-agama itu telah memberikan sesuatu bagi kita sebagai
warisan yang perlu dipelihara. Kalau pada waktu zaman lampau agama-agama
bekerja sendiri-sendiri maka dalam zaman milenium ke 3 ini agama-agama perlu
bersama-sama memelihara dan mengembangkan aset bangsa tersebut. Tetapi yang
sering terjadi adalah sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai aset itu
bagii pengembangan budaya
Indonesia.
Agaknya setiap kelompok agama di Indonesia sudah waktunya
bersama-sama membicarakan masalah-masalah bangsa dan penanggulangannya.
D.
Proses masuknya Islam Ke Indonesia
Berbicara tentang Islamisasi di Nusantara, pertanyaan kita
adalah bilamana Islam masuk ke Nusantara dan siapa yang membawa atau
menyebarkannya. Pertanyaan kemudian, Islam seperti apa yang masuk dan bagaimana
bentuknya yang sekarang? Pertanyaan pertama dan kedua dapat dijawab secara
teoritis melalui bukti-bukti arkeologi mutakhir yang sampai kepada kita,
sedangkan pertanyaan berikutnya dapat dijawab melalui kacamata budaya yang
masih dapat disaksikan di beberapa tempat di Nusantara.
Hingga saat ini tidak ada satupun bukti tertulis yang secara
tersurat menyatakan bahwa Islam masuk di Nusantara pada tahun atau abad sekian
dan yang membawa masuk adalah si Nasruddin (misalnya). Kajian mengenai dugaan
masuknya Islam di Nusantara hingga saat ini baru didasarkan atas bukti tertulis
dari nisan kubur serta beberapa naskah yang menuliskan para pedagang Islam.
yang ditemukan di beberapa tempat di Nusantara, seperti di Aceh, Barus (pantai
barat Sumatra Utara) dan Gresik (Jawa Timur).
Islamisasi di Nusantara erat kaitannya dengan sejarah Islam
yang hingga kini penulisannya belum “lengkap” dan sifatnya masih parsial.
Keadaan seperti ini jauh-jauh hari sudah disinyalir oleh Presiden Soekarno yang
menyatakan bahwa sikap ulama Indonesia kurang atau bahkan tidak memiliki
pengertian perlunya penulisan sejarah. Di samping sikap ulama Indonesia
tersebut, masih ada kendala lain untuk menuliskan sejarah. Kendala itu antara
lain kurangnya data atau sumber-sumber tertulis, serta luasnya geografis
Indonesia sehingga untuk mengintegrasikan data dari berbagai daerah juga sulit.
Mengenai dari mana
Islam masuk Nusantara, ada beberapa pendapat dengan argumennya masing-masing.
Ada yang berteori bahwa Islam datang dari Arab, Persia, India, bahkan ada yang
menyatakan dari Tiongkok. Meskipun pendapat mengenai asalnya Islam
berbeda-beda, namun ada kesamaan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui
“perantaraan” kaum saudagar. Mereka berniaga sambil menyebarkan syi‘ar Islam.
Hal ini sesuai dengan Hadist: “Sampaikanlah dari saya ini walau hanya satu
ayat”. Kemudian sesampainya di Nusantara, barulah disebarkan oleh ulama-ulama
lokal atau para wali seperti di Tanah Jawa ada Wali Songo.
E.
Pertemuan Islam dan Budaya Nusantara
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima
akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan
norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila
dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu
diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas
budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan
great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya
disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi
local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi
Islam.
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam
yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat
pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam
konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan
pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan
center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of
influence kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great
tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam
pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan
manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya
local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu
kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap
pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik,
yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada
sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan
terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya
luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli;
dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan
budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas
masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam
konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat
Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak
otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus
dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian
melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam
antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa.
Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi
seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional
suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak
menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan
warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga
di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain
kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang
cukup besar dalam pengembangan budaya lokal.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat
material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap
tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan
ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi
masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai
ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun
tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian
bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel,
dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina:
Cek-ban Cut.
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam
Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten
sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype
kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan
Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat
kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana
penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat
perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan
kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu
tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa
muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar
kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan
gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim
yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa
membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten
terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di
kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa
Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan
bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda
keyakinan.
Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat
dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk.
Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan
dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni
beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan
unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki
kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada
acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi
ke-4 hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan
ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan
peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.